Sang Rajawali: Ketika Seorang Kesatria Melangkah atas Nama Kehormatan

Seorang kesatria berkuda tengah bermain bersama putranya. Tubuh tinggi menjulang menghalangi sinar senja matahari yang berusaha menyentuh wajah anak itu. Sesekali dia berputar, mempertemukan wajahnya dengan wajah putranya, kemudian kembali tertawa mengangkat sebuah mainan kayu kecil berbentuk burung. Dia membimbing burung itu terbang bersama seluruh kehormatan seorang kesatria, membawanya menemui matahari, lalu mendaratkannya di atas tangan mungil seorang anak laki-laki. Anak itu tersenyum. Sinar senja melebur.
“Aku komandan baru kalian. Namaku adalah Marcus Flavius Aquilla.”
“Apakah kau adalah putra pengecut Legiun ke-9?”  seorang prajurit dari barisan belakang terdengar melecehkan Aquilla.
“Ya, Komandan. Apakah kau hendak membawa kembali kesialan duapuluh tahun silam?”
“Apakah kita semua akan menjadi budak bangsa Inggris?
“Sahabatku, sesungguhnya kau tak akan pernah menemukan air yang sama dalam sebuah sungai yang mengalir. Sebab, Allah akan senantiasa menurunkan bulir air yang jernih untuk menyingkirkan bulir air yang keruh. Allah tidak dapat membiarkanmu hidup kecuali atas kasih sayang-Nya. Dan tiadalah sebuah kekalahan yang tidak disertai dengan kemenangan jika engkau percaya.”
Sang Komandan meninggalkan para prajurit itu, membimbing dirinya pada sebuah altar sederhana yang terbuat dari batu, kemudian mengeluarkan sebuah mainan kayu kecil burung. Dia mengecup mainan itu. Dan dengan tatapan sepasang mata yang dalam, dia berbisik, “Kasih, duapuluh tahun lalu adalah masa bagi ayahku, dan kini milikku. Aku percaya pada-Mu sebagaimana ayahku mempercayai-Mu. Aku meminta kepada-Mu sebagaimana ayahku meminta pada-Mu. Dan aku berdoa atas keselamatan Legiunku sebagai  kemenangan bagi kegagalan Legiun ayahku.” Sang Komandan menutup matanya. Mengistirahatkan rasa cemas yang menjadi momok selama bertahun-tahun.
“Allah mencium keningku. Aku merasakan kemarahan dari balik bukit sana. Bangunkan para prajurit!”
“Tuanku, mereka benar-benar sedang meninggalkan jasad keduniaan. Mereka tidak akan menyuguhkanmu dengan anggur manis di ujung bibir mereka jika kita tetap menariknya kembali pada jasadnya..”
“Sahabat, aku sama sekali tidak mengharapkan anggur itu. Jika mereka harus memaksaku meneguk racun, itu akan lebih baik daripada harus menyaksikan kekalahan Roma, terlebih jasad mereka.”
“Baiklah. Kita akan menyiapkan tubuh dan jiwa kita untuk mendampingi perintahmu.”
Mereka telah berdoa, dan Allah mengejawantahannya. Kemarahan telah ditaklukkan oleh kepercayaan, musuh telah mengembalikan tawanan,  dan para prajurit dapat memeluk Inggris Utara sebagai hadiah atas peperangan. Sang Komandan merebut hati para prajurit dengan kehormatan dan kesetiaan yang dia miliki. Namun, Sang Komandan tetaplah seorang anak pengecut.
Suatu hari, Sang Komandan mengembalikan gairah hidup seorang budak Inggris, menjadikannya seorang Roma paling beruntung karena mendapatkan kepercayaan dari seorang musuh terhormat, Esca. Bersama Esca, Komandan Aquilla meninggalkan ujung kehidupan dan menemui benteng musuh. Dia mewarisi keberanian sang ksatria bertubuh tinggi menjulang dalam hatinya demi merebut kembali Pataka Rajawali, simbol kebanggaan Roma yang dapat mengembalikan kehormatan Aquilla. Dan atas nama kehormatan dan kesetiaan, seorang musuh dapat menjadi seorang teman yang lebih berharga dari seorang politikus.
“Nak, ayahmulah satu-satunya prajurit Roma yang tetap berdiri tegak menghadapi suku Seal, saat yang lain memilih menyerahkan kehormatan dengan berlutut. Mereka membawanya ke altar tempat memenggal kepala para perwira dan mati di bawah Pataka Rajawali. Dia adalah kesatria yang mati atas nama kehormatan dan kesetiaan. Dialah kesatria sejati.”

0 Komentar at “Sang Rajawali: Ketika Seorang Kesatria Melangkah atas Nama Kehormatan”

Posting Komentar