Orang-orang tengah
berkumpul demi sebuah sesuatu yang mereka sebut dengan Jalan Bijaksana Menuju
Kebenaran. Salah seorang di antara mereka berbicara, mungkin dengan amarah atas
penolakannya pada kaum sekuler-liberal Islam, mungkin karena marah karena
suaranya menyakiti telinga dan hatiku. Bukan, Kasih, aku sunni, tapi
kata-katanya berujung dan menembus hati yang mencintaimu.
“Bagaimana mungkin
seorang Islam dapat membela seorang kafir dan menghujam Islam yang lain dengan
beribu kutukan?”
“Kau fundamental!
Terlalu menutup akalmu terhadap perubahan yang dapat membawamu pada
kegemilangan.”
“Aku memang kolot.
Aku tertutup dan menutup kebenaran kecuali Islam.”
“Kaummu hanyalah
pemantik konflik sepanjang masa. Kau tak akan pernah merengkuh kedamaian!”
“Rasulullah pernah
merangkul beragam umat dalam kepemimpinannya. Dia membentangkan sayap-sayap Islam
melebihi daerah kekaisaran Romawi. Jangan terlalu idealis, kawan, bahkan
ketakutan masa lalumu tergambar pada raut wajahmu!”
“Ini bukan
ketakutan. Inilah satu yang nyata.”
“Ya, kau menuduh
kami fundamental, terlalu tertutup terhadap perubahan. Padahal kaulah sang
tertuduh pemicu konflik. Kaulah korban ketakutan masa kegelapan Eropa,
sementara kaumku tidak pernah menjumpai keterpurukan seperti kaummu. Kau
radikal!
Kemudian lafadz
adzan memenuhi sudut-sudut kampung Soekadhiekom Porien. Jalan Bijaksana Menuju
Kebenaran usai. Si fundamental dan si radikal menikmati kesyahduan yang
membunuh. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Bukankah umat
lain pun mengajarkan kebaikan?” batin si fundamental.
“Apakah aku
kafir?” batin si radikal.
30 Mei 2013
0 Komentar at “Fundamental Vs. Radikal”
Posting Komentar