BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selama ini, anarkisme sering diartikan sebagai usaha perlawanan, pemberontakan, atau penolakan terhadap suatu sistem yang bersifat negatif. Pelaku dapat melakukan berbagai hal merusak untuk mewujudkan ideologi yang dia impi-impikan. Namun pengertian anarkisme dalam istilah anarchy epistemological yang dipopulerkan oleh Feyerabend bukanlah pengertian anarkisme yang seperti itu.
B. Perumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang tersebut, saya dapat merumuskan beberapa masalah yang akan saya bahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apakah pengertian anarkisme menurut Feyerabend?
2. Apakah yang menginjeksi Feyerabend untuk menggunakan istilah anarchy epistemological?
C. Tujuan Masalah
Melihat masalah yang akan dibahas, saya berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan pembaca tentang anarkisme Feyerabend. Saya pun berharap agar pembaca dapat memahami latar belakang Feyerabend dalam menggunakan istilah anarchy epistemological.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anarkisme Feyerabend
Secara etimologi, anarkisme berasal dari kata Yunani (an archos: tanpa pemerintahan. Dia merupakan sebuah aliran dalam filsafat sosial yang menghendaki penghapusan negara atau pemerintahan serta kontrol politik dalam masyarakat. Aliran ini didasarkan pada ajaran bahwa masyarakat yang ideal itu dapat mengatur urusannya sendiri tanpa menggunakan kekuasaan yang berlawanan dengan paham sosialisme dan komunisme.
Kamus Ilmiah Populer dengan gamblang mendefinisikan anarkisme sebagai sebuah paham kebebasan bertindak tanpa mau diikat oleh undang-undang; hal kesewenang-wenangan bertindak (melenyapkan undang-undang).
Sementara Dictionary of Philosophy secara terperinci memberikan pengertian anarkisme sebagai berikut: “Anarchism: This doctrin advocatesthe abolition of political control within society: The State, it contends, is man’s greatest enemy—eliminate it and the evils of human life will disappear. Positively, anarchism envisages a homely life devoted to unsophisticated activity and filled with simple pleasure. Thus it belong in the “primitive tradition” of Western culture and springs from the philosophical concept in the inherent and radical goodness of human nature. Modern anarchism probably owes not a little, in an popular sense in the word “anarchy” is often used to denote a state of social chaos, but it is obvious that the word can be used in this sense only by one who denies the validity of anarchism.” Anarkisme adalah ajaran yang menganjurkan pengahapusan penguasaan politik dalam masyarakat. Sebab negara, menurut mereka, adalah musuh terbesar manusia yang jika disingkirkan akan dapat menghilangkan kejahatan-kejahatan yang ada dalam kehidupan manusia. Jelasnya, anarkisme memimpikan kehidupan yang bersahaja dengan menekuni kegiatan yang sederhana dan mengisinya dengan kesenangan yang wajar. Jadi dia termasuk kebiasaan kuno dari budaya Barat yang bersumber dari konsep filosofis yang telah melekat dan mengakar secara baik dalam sifat dasar manusia. Anarkisme modern kelihatannya juga tidak jarang, walaupun dengan cara yang berlainan, berusaha untuk mempengaruhi pandangan-pandangan kuno yang terdapat dalam pemikiran Jean Jacques Rousseau. Dalam pemikiran populer, kata “anarki” seringkali digunakan untuk menunjukkan adanya kekacauan sosial dalam suatu negara, bahkan kata ini juga dipakai oleh seseorang yang menyangkal terhadap keabsahan anarkisme itu sendiri.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Feyerabend mengartikan anarkisme sebagai anarchy epistemological (kesewenang-wenangan epistemologi), yang dipertentangkan dengan anarkisme politis atau religius. Dia mengatakan, apabila anarkisme politis anti terhadap kemapanan (kekuasaan, negara, institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang menopangnya), maka anarkisme epistemologi justru tidak selalu memiliki loyalitas ataupun perlawanan yang jelas terhadap semua sistem dan struktur elit tersebut.
B. Anti Metode (Againts Metode)
1. Apa Saja Boleh (Anything Goes)
Ide bahwa ilmu dapat dan harus berjalan dengan hukum-hukum universal yang mapan, adalah tidak realistis dan juga merusak. Dia tidak realistis karena dia terlalu menyederhanakan bakat manusia dan keadaan lingkungan yang mendorong atau menyebabkan perkembangan. Dan dia merusak karena usaha untuk memberlakukan hukum-hukum itu cenderung meningkatkan kualifikasi profesional kita dengan mengorbankan kemanusiawian. Selain itu, ide itu pun merugikan ilmu, karena dia mengorbankan kondisi fisik dan historis yang kompleks yang mempengaruhi perubahan ilmiah. Dia membuat ilmu makin kurang dapat dikelola dan makin dogmatik. Studi-studi kasus seperti yang telah dilaporkan dalam bab-bab terdahulu...menentang validitas universal hukum apa pun. Semua metodologi mempunyai keterbatasannya dan satu-satunya ‘hukum’ yang survive adalah ‘apa saja boleh’. Feyerabend sangat mempertahankan gagasannya bahwa tidak ada metodologi ilmu yang pernah dikemukakan selama ini mencapai sukses. Feyerabend yakin bahwa metodologi-metodologi ilmu telah gagal menyediakan hukum-hukum yang memadai untuk membimbing aktivitas para ilmuwan, melainkan hanya membatasi kreativitas para ilmuwan itu sendiri untuk dapat berkembang. Selain itu, dengan mengikuti metodologi-metodologi ilmu tanpa mempertimbangkan kemungkinan yang lain, manusia akan kehilangan kemanusiaannya.
Metodologi program-program riset menyediakan standar-standar yang membantu ilmuwan menilai situasi historis untuk mengambil keputusan-keputusannya; dia tidak berisi hukum-hukum yang mendikte apa yang harus diperbuat ilmuwan. Feyerabend menganggap Imre Lakatos sebagai rekan anarkisnya karena Lakatos tidak menggunakan hukum-hukum untuk memilih teori atau program. Oleh karena itu, para ilmuwan harus tidak terikat oleh hukum-hukum metodologi. Inilah pengertian “apa saja boleh”.
2. Tidak Bisa Diukur dengan Standar yang Sama
Beberapa kasus prinsip fondamental yang terdiri dari dua teori rival mungkin berbeda secara radikal, sehingga tidak memungkinkan untuk merumuskan konsep dasar dari teori yang satu dengan teori yang lain, karena kedua rival tersebut tidak memiliki kesamaan keterangan observasi apapun. Dalam hal ini, Feyerabend membandingkan hubungan antara mekanika klasik dengan teori relativitas. Diinterpretasi secara realistis, mekanika klasik melukiskan bagaimana dunia ini sebenarnya, baik yang dapat diobservasi maupun yang tidak dapat diobservasi; dan mengakui sifat-sifat objek fisik seperti bentuk, massa, dan volume. Sementara menurut teori relativitas, sifat-sifat tersebut tidak exist lagi, karena hanya dianggap sebagai kerangka referensi dan dapat diganti dari yang satu ke yang lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mungkin saling membandingkan teori-teori rival tersebut secara logis, karena kedua teori tersebut tidak bisa saling diukur.
Namun kenyataan bahwa sepasang teori rival tidak bisa saling diukur, tidak berarti bahwa mereka tidak bisa diperbandingkan dengan cara apa pun. Salah satu cara untuk memperbandingkan sepasang teori adalah dengan mengkonfrontasi mereka masing-masing pada serangkaian situasi yang dapat diobservasi, mencatat seberapa jauh derajat masing-masing teori tersebut dapat berjalan sesuai dengan situasi-situasi tadi yang diinterpretasikan menurut kondisi masing-masing. Selain itu, cara yang dapat digunakan adalah menganalisa apakah mereka linear atau non-linear, koheren atau inkoheren, berani atau aman, dan sebagainya.
3. Ilmu Tidak Harus Mengungguli Bidang-bidang Lain
Aspek penting lain dari pandangan Feyerabend tentang ilmu adalah tentang hubungan antara ilmu dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Dia mengatakan bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar, tanpa argumentasi, bahwa ilmu membentuk paradigma rasionalitas. Meski Feyerabend mengakui bahwa kaum rasionalis kritis dan para pembela Lakatos telah melakukan penelitian terhadap ilmu dengan sangat teliti dan terperinci, namun dia tidak membenarkan anggapan mereka yang menilai ilmu sebagai superior atas bentuk-bentuk pengetahuan lainnya tanpa melakukan penyelidikan yang layak mengenai bentuk-bentuk pengetahuan lain. Feyerabend mengatakan, apabila ilmu ingin dibandingkan dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain, maka kita harus menyelidiki: watak, tujuan, dan metode dari ilmu itu dan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Hal ini harus dilakukan dengan meneliti catatan sejarah, buku pelajaran, tulisan orisinal, pembicaraan surat pribadi, dan disertai penelitian mendalam. Pendeknya, jika seseorang ingin memberi sumbangsih kepada ilmu, terutama fisika, maka dia tidak perlu menguasai ilmu-ilmu kontemporer, tetapi dia memang perlu mengenal sesuatu tentang fisika.
4. Kebebasan Individu
Feyerabend membela apa yang dia sebut sebagai "sikap kemanusiawian", yang memandang bahwa manusia individual harus bebas dan memiliki kebebasan sebagaimana yang diperjuangkan John Stuart Mill dalam membela "pembinaan individualitas yang secara pribadi mampu berproduksi sendiri, atau dapat memproduksi manusia-manusia yang maju". Dari sudut pandang kemanusiawian ini, pemikiran anarkis Feyerabend tentang ilmu mendapatkan dasar pembenarannya, karena di dalam ilmu dia memang diarahkan guna meningkatkan kebebasan individu dengan memacu penyingkiran segala macam kungkungan metodologis. Dalam konteks yang lebih luas, dia senantiasa mendorong semangat kebebasan bagi para individu untuk memilih antara ilmu dan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Jadi jelas sekali, bahwa Feyerabend menolak sikap otoriter dalam bentuk apapun juga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inti dari seluruh pembicaraan dan perdebatan tentang pemikiran Paul Karl Feyerabend terangkum dalam sebuah pernyataan: anarkisme ilmu pengetahuan atau anarkisme epistemologi merupakan kritik yang diajukan dan ditujukan untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan sebagai ekspresi kebebasan manusia. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
1. Anti Metode
Pada waktu itu, ilmu pengetahuan mengklaim metode matematis sebagai metode universal yang dapat menangani semua masalah, dan masalah yang tidak dapat dipecahkan secara matematis dianggap tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Feyerabend menentangnya dengan mengatakan bahwa para ilmuwan tidak akan dapat berkembang jika membatasinya dengan satu metode saja. Seharusnya, para ilmuwan dapat melakukan penelitian dengan menggunakan beberapa metode yang dibutuhkan dan dipandang sesuai untuk memecahkan persoalan. Selain itu, pembatasan metode pun dapat menekan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri dan menjadikannya menjadi semakin dogmatik.
2. Anti Ilmu Pengetahuan
Menurut Feyerabend, kita tidak bisa mengabaikan faktor lain di luar ilmu pengetahuan, karena dapat mengakibatkan ideologi tertutup, yakni tidak menerima kebenaran di luar dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Mengutip Popper, “Ideologi tertutup tidak bisa difalsifikasi.” Karena itu, ilmu pengetahuan harus menjadi realisme ilmiah. Ilmu pengetahuan hanyalah salah satu usaha untuk memahami semua realitas, di mana manusia dan alam berada di dalamnya.
B. Saran
Kemonotonan metode dalam ilmu pengetahuan tidak hanya dapat membatasi kreativitas para ilmuwan dalam mempelajari masalah, namun juga dapat menekan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Terlepas dari kenyataan tersebut, memberikan kebebasan kepada para ilmuwan untuk mempelajari masalah pun dapat menghilangkan nilai kemanusiaan.
GLOSARIUM
Anarki : Hal tidak adanya pemerintahan, undang-udang, peraturan, atau ketertiban; kekacauan (dalam suatu negara).
Dogmatik : Ajaran serta keyakinan agama atau kepercayaan yang tidak boleh dipersoalkan (harus diterima sebagai kebenaran).
Epistemologi : Cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.
Exist : Ada.
Interpretasi : Pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu; tafsiran.
Koheren : Berhubungan; bersangkut-paut.
Konfrontasi : Perihal berhadap-hadapan langsung (antara saksi dan terdakwa dan sebagainya); permusuhan; pertentangan; cara menentang musuh atau kesulitan dengan berhadapan langsung dan terang-terangan.
Linear : Berbentuk garis.
Metodologi : Ilmu tentang metode; uraian tentang metode.
Observasi : Peninjauan secara cermat.
Radikal : Secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip).
Realisme : Paham atau ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan.
Rival : Lawan; saingan (di pertandingan).
Superior : Orang atasan; pemimpin.
DAFTAR PUSTAKA
A.F. Chalmers, Apa Itu yang Dinamakan Ilmu?, (Jakarta: Hasta Mitra, 1982).
http://bagus-surabaya.blogspot.com/2012/11/paul-feyerabend.html.
http://id.scribd.com/doc/116081249/Anarkisme-Ilmu-Pengetahuan-Menurut-Paul-Karl-Feyerabend.
http://skripsiterbaik.blogspot.com/2012/11/anarkisme-ilmu-pengetahuan-analisis.html.
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Bunyi, Kata, Kalimat dan Wacana
A.
Rumusan
Masalah
Pada
bab ini, penulis menguraikan bagian mendasar seperti bunyi dan kata pada suatu
kalimat, sebelum akhirnya membahas pengertian wacana. Masalah-masalah tersebut
dapat disusun sebagai berikut:
1.
Beberapa
Pengertian di Berbagai Bagian
2.
Beberapa
Pengertian Mengenai Kalimat
3.
Beberapa
Pengertian Mengenai Wacana
B. Penyelesaian Masalah
1.
Beberapa
Pengertian di Berbagai Bagian
1.1.
Pengertian
Mengenai Tata Bunyi
1.
Fonem,
Alofon, dan Grafem
· Fonem adalah bunyi bahasa yang berbeda atau
mirip yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Contoh:
Pola
/pola/ : Bola
/bola/
Parang /paraɳ/ : Barang
/baraɳ/
Peras /paras/ : Beras /beras/
· Alofon adalah variasi dalam pelafalan fonem.
Macam
Alofon:
a)
Dilafalkan
secara lepas, ditulis [p]. Misalnya fonem /p/ yang berada pada awal kata ‘pola’.
b)
Dilafalkan
dengan keadaan bibir tertutup rapat, ditulis [p’]. Misalnya fonem /p/ yang
berada pada akhir kata ‘tutup’.
· Grafem adalah tiap huruf yang membentuk sebuah
kata.
Contoh:
‘Ladang’
memiliki 6 grafem, yaitu <l, a, d, a, n> dan <g>
‘Kursi’
memiliki 5 grafem , yaitu <k, u, r, s> dan <i>
2.
Gugus
dan Diftong
· Gugus adalah gabungan dua huruf konsonan atau
lebih dalam satu suku kata.
Contoh:
/kl-/
pada suku kata /kli-/ dan dalam kata /klinik/
/br-/
pada suku kata /-bral/ dan dalam kata /obral/
/ng-/ pada suku kata /-ɳa/
dan dalam kata /siɳa/
· Diftong adalah gabungan antara huruf vokal dengan salah satu huruf /w/
atau /y/ dalam satu suku kata.
Contoh:
/aw/ pada suku kata /law/ dan dalam kata
/kalaw/
/ay/ pada suku kata /lay/ dan dalam kata
/jablay/
3.
Fonotaktik
Fonotaktik adalah kaidah yang mengatur
penjejeran fonem suatu bahasa. Misalnya di Indonesia mengijinkan jejeran
/-rs/ sebagai kaidah untuk kata
‘bersih’; tapi tidak mengijinkan jejeran /-pk-/, /-mt-/, /-kb-/ dan /-pd-/.
1.2.
Pengertian Mengenai Pembentukan Kata
1.
Morfem, Alomorf, dan (Kata) Dasar
· Morfem adalah bentuk terkecil suatu kata yang tidak dapat diuraikan
menjadi bagian yang lebih kecil.
Contoh:
Memperbesar.
mem-perbesar.
per-besar
Macam Morfem:
a)
Morfem Terikat adalah bentuk yang melekat
pada bentuk lain agar memiliki makna; seperti mem- dan per-.
b)
Morfem Bebas adalah bentuk yang ketika
berdiri sendiri sudah memiliki makna; seperti besar.
· Alomorf adalah anggota satu morfem yang bentuknya beda tetapi memiliki
fungsi dan makna yang sama.
Contoh:
Bentuk
mem- pada membawa.
Bentuk men- pada mendapat.
· Kata Dasar adalah dasar untuk membentuk kata lain. Kata yang diturunkan dari
dasar tertentu juga dapat menjadi dasar pembentukan kata turunan yang lain.
Contoh:
duduk
→ menduduki → pendudukan
darat
→ mendarat → pendaratan
temu
→ bertemu → pertemuan
2.
Analogi
Analogi adalah kata yang dibentuk
berdasarkan pola suatu kata dasar yang sudah ada, tanpa memperhatikan
ketersediaan kata turunan yang menjadi cikal-bakal kata itu sendiri.
Contoh:
‘Pegolf’, ‘Pehoki’, dan ‘Pecatur’ berdasarkan
pola ‘Pegulat’.
‘Petatar’, ‘Pesuluh’, dan ‘Pesapa’
berdasarkan pola ‘Pesuruh’.
3.
Proses Morfofonemis
Proses Morfofonemis adalah proses
perubahan bentuk fonem atau morfem saat digabungkan. Misalnya proses perubahan
bentuk meng- menjadi mem-, men-, meny, menge-, dan me-.
4.
Afiks, Prefiks, Sufiks, Infiks, dan
Konfiks
· Afiks (imbuhan) adalah morfem terikat yang digunakan untuk menurunkan kata.
· Prefiks (awalan) adalah afiks yang berada pada bagian awal suatu kata dasar.
· Sufiks (akhiran) adalah afiks yang berada pada bagian akhir suatu kata dasar.
· Infiks (sisipan) adalah afiks yang disisipkan pada bagian tengah kata dasar.
· Konfiks adalah gabungan prefiks dan sufiks yang ditambahkan secara
bersamaan.
Contoh:
ber--an pada berdatangan
= konfiks.
ber--an pada berhalangan
≠ konfiks, karena berasal dari kata dasar halang, yang diberi sufiks –an menjadi halangan, kemudian diberi prefiks
ber- menjadi berhalangan.
5.
Verba Transitif dan Tak Transitif
· Verba Transitif adalah verba yang mengenal oposisi aktif (melihat dari sudut
pelaku atau penyebab peristiwa) dan pasif (melihat dari sudut maujud yang
dikenai oleh pelaku atau penyebab peristiwa itu).
a)
Ekatransitif atau Monotransitif adalah
verba transitif yang mengungkapkan hubungan antara 2 maujud.
Contoh:
Kalimat aktif: Ayah menyayangi Bunda.
Kalimat pasif: Bunda disayangi Ayah.
b)
Dwitransitif atau Bitransitif adalah verba
transitif yang mengungkapkan hubungan antara 3 maujud.
Contoh:
Dia memberi Febri hadiah.
Keterangan:
Dia →
Maujud pertama.
Febri → Maujud kedua.
Hadiah → Maujud ketiga, namun hanya
sebagai pelengkap.
· Verba Tak
Transitif adalah verba yang tidak mengenal oposisi
aktif dan pasif.
a)
Taktransitif adalah verba yang tidak dapat
berobjek atau berpelengkap. Misalnya duduk,
bercukur, tertawa, dan membisu;
atau ungkapan tetap seperti menarik hati,
berjalan kaki, membanting tulang, dan
mencolok mata.
b)
Semitransitif adalah verba yang
menghubungkan 2 maujud, namun hanya memiliki 1 sudut pandang, yaitu pada sumber
peristiwa.
Contoh:
Kita berasaskan Pancasila.
*Pancasila kita perasaskan.
Keterangan:
Kita →
Maujud pertama sebagai sumber peristiwa.
Pancasila → Maujud kedua sebagai pelengkap
c)
Transitif-Taktransitif adalah verba
yang dapat tidak menyertakan objek pada bentuk aktifnya.
Contoh:
Tono sedang mengetik tutorial.
(Transitif aktif)
Tono sedang mengetik.
(Tansitif-Taktransitif)
2.
Beberapa Pengertian Mengenai
Kalimat
2.1.
Kategori dan Fungsi
1.
Kategori
Kategori kata adalah sekelompok kata yang
antar bentuk dan perilakunya memiliki kesamaan atau kemiripan.
Macam kategori kata:
· Verba atau Kata kerja
· Nomina atau Kata benda
· Adjektiva atau Kata sifat
· Adverbia (Contoh: Sangat, telah)
· Kata tugas, yaitu:
a)
Preposisi
atau Kata depan
b)
Konjungsi atau Kata sambung
c)
Partikel
Frasa adalah perkembangan dari suatu kategori kata yang membentuk
kata baru.
Macam frasa:
· Frasa Nominal, yaitu frasa yang dikembangkan dengan adjektiva
nomina lain, atau kategori lain. (Contoh: Sekolah → Gedung sekolah, sekolah
baru, gedung yang bagus itu).
· Frasa Verba, yaitu verba yang dikembangkan dengan adverbia.
(Contoh: Makan → Telah
makan).
· Frasa Adjektival, yaitu adjektiva yang yang dikembangkan dengan
adverbia. (Contoh: Manis → Sangat manis).
· Frasa Proporsional, yaitu proposisi yang diikuti kata atau frasa
lain.
2.
Fungsi
Setiap kata atau frasa dalam kalimat
mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam
kalimat tersebut. Fungsi bersifat sintaksis, artinya berkaitan dengan urutan
kata atau frasa dalam kalimat. Fungsi sintaksis utama dalam kalimat adalah
predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Di samping itu ada fungsi
lain seperti atriibutuf (yang menerangkan), koordinatif (yang menggabungkan
secara setara) dan subordinatif (yang menerangkan secara bertingkat).
2.2.
Macam Kalimat
1.
Kalimat dari Segi Bentuk
· Kalimat Tunggal adalah kalimat yang memiliki 1 proposisi dan 1
predikat, atau dianggap 1 karena merupakan predikat majemuk (Contoh: Dia
bekerja di Bank; Mereka makan dan minum di kedai itu).
· Kalimat Majemuk adalah kalimat yang memiliki lebih dari 1
proposisi dan paling sedikit 2 predikat, sehingga selalu berwujud 2 klausa atau
lebih.
a)
Kalimat majemuk setara adalah kalimat
majemuk yang hubungan antar klausanya menyatakan hubungan koordinatif.
Contoh:
Dia pergi dan istrinya mulai menangis.
Saya mau, tetapi dia menolak.
Kita pergi sekarang atau tidak sama sekali.
b)
Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat
majemuk yang hubungan antar klausanya menyatakan hubungan subordinatif; yakni
yang satu merupakan induk sedang yang lain merupakan keterangan tambahan.
Contoh:
Dia pergi sebelum istrinya menangis.
Saya mau meskipun dia menolak.
Peserta yang nilainya rendah harus diuji lagi.
2.
Kalimat dari Segi Makna
a)
Kalimat Deklaratif atau Kalimat berita
b)
Kalimat Introgatif atau Kalimat tanya
c)
Kalimat Imperatif atau Kalimat perintah
d)
Kalimat Ekslamatif atau Kalimat seruan → Mengungkapkan perasaan keheranan atau kekaguman. (Contoh:
Alangkah indahnya pemandangan di
danau ini; Bukan main ramainya
Jakarta sekarang)
e)
Kalimat Emfatik atau Kalimat penegas → Memberikan penegasan khusus terhadap pokok pembicaraan.
3.
Beberapa Pengertian Mengenai Wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang
berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat itu.
3.1.
Kohesi dan Koherensi
1.
Kohesi
Kohesi adalah perpautan bentuk
antar kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.
Contoh:
Pak Ali pergi ke kota naik bus PPD.
Ia pergi membeli sepatu baru. Karena ada pajak impor, maka harga sepatu buatan
dalam negeri juga ikut naik. Sepatu yang dibeli Pak Ali itu harganya lima belas
ribu rupiah.
2.
Koherensi
Koherensi adalah perpautan makna
antar kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Dalam koherensi, seringkali
terdapat kohensi pada susunannya, tetapi tidak harus mengandung kohesi agar
maknanya menjadi koherensi.
Contoh:
D: “Bu, tolong jawab teleponnya.”
M: “Aduh, saya lagi tanggung.”
3.2.
Deiksis
Deiksis adalah gejala semantis yang
terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan
memperhitungkan situasi pembicaraan.
Contoh:
Kita harus berangkat sekarang
→ merujuk pada jam atau menit.
Sekarang,
harga barang serba naik →
mungkin minggu lalu sampai hari ini.
Sekarang, pemalsuan
barang terjadi dimana-mana → mungkin berbulan-bulan lalu sampai sekarang.
3.3.
Anafora
Anafora adalah kata yang berfungsi sebagai
kata ganti suatu hal atau kata yang sudah dinyatakan sebelumnya.
Contoh:
۩. Kak Kiki belum menikah, padahal
umurnya sudah kepala tiga.
۩. Vio sekolah SD sejak tahun 2009.
Waktu itu Alex baru berumur 4 tahun. Dia masih duduk di bangku Taman
Kanak-kanak.
۩. Indonesia adalah negara
kepulauan. Di sana terdapat banyak suku bangsa. Mereka hidup rukun meski dalam perbedaan budaya.
Labels:
Makalah
Pancasila Sebagai Penafsir Islam
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Seiring
dengan pergantian zaman, penafsiran Pancasila semakin dijauhkan dari apa yang
diharapkan oleh perumus Pancasila 1945. Perumus pertama Pancasila memutuskan
untuk menjamin hak-hak umat beragama di Indonesia yang dirumuskan dalam sila
pertama, yaitu “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Berawal dari ini, beberapa kalangan tertentu menganggap
bahwa sila tersebut mengintimidasi umat non-Islam. Padahal, tanpa Pancasila pun
umat Islam tetap dapat menjalankan perintah agamanya. Akhirnya, demi
mempertahankan persatuan suku-bangsa Indonesia, perumus pertama Pancasila
bersedia untuk mengganti sila tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tafsir
Pancasila semakin dijauhkan di masa Orde Lama, dimana Pancasila dianggap
mengakomodir komunisme. Selain itu, entah memang karena trauma terhadap sila
pertama atau karena misi umat Kristen, setiap upaya penerapan ajaran Islam di Indonesia
dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Islam semakin dijauhkan dari
umat Islam dan Pancasila semakin disekularkan dari Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, penulis ingin merumuskan beberapa masalah yang akan
penulis bahas dalam makalah ini, yaitu:
1.
Sejarah
Pancasila
2.
Pancasila
sebagai Dasar Negara
3.
Tafsir
Pancasila
C. Tujuan
Masalah
Dengan
merumuskan masalah-masalah tersebut, penulis berharap agar pembaca dapat
memiliki wawasan tentang:
1.
Sejarah
Pancasila
2.
Pancasila
sebagai Dasar Negara
3.
Tafsir
Pancasila
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Pancasila
Setelah
keputusannya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia yang
diumunkan pada bulan September 1944, Jepang memberikan janji keduanya pada
tanggal 29 April 1945. Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari bangsa
Indonesia, sebagai realisasi dari janji tersebut, maka dibentuklah Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu
Zyunbi Tjoskai.[1]
Dalam
dua kali sidang, anggota BPUPKI menghasilkan pikiran berupa Dasar Negara dan
Rancangan Undang-undang Dasar. Sidang pertama berlangsung mulai tanggal 29 Mei
sampai 1 Juni 1945. Yang mengusulkan Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik
Indonesia pada sidang tersebut berturut-turut adalah Muhammad Yamin, Dr.
Soepomo dan Soekarno. Soekarno menambahkan bahwa ke lima Dasar Negara rumusannya
sebagai Panca Sila.[2]
Muhammad Yamin
|
Dr. Soepomo
|
Soekarno
|
Peri
Kebangsaan
|
Persatuan
Negara, Negara Serikat, Persekutuan Negara
|
Kebangsaan
|
Peri
Kemanusian
|
Hubungan
antara Negara dan Agama
|
Kemanusiaan
|
Peri
Ketuhanan
|
Republik
|
Mufakat
atau demokrasi
|
Peri
Kerakyatan
(Permusyawaratan,
Perwakilan, Kebijaksanaan)
|
|
Kesejahteraan
sosial
|
Kesejahteraan
Rakyat
(Keadilan
Sosial)
|
|
Ketuhanan
|
Di
tengah proses perumusan yang dilakukan oleh BPUPKI yang belum mencapai
kesepakatan, 38 anggota BPUPKI melanjutkan sidang ke-dua dan membentuk panitia
kecil. Panitia kecil ini terdiri dari sembilan orang, yaitu: Soekarno, Mohammad
Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrodoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus
Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muh. Yamin. Merekalah yang akhirnya
berhasil menyusun Dasar Negara yang mereka tanda tangani pada tanggal 22 Juni
1945 di Jakarta, yaitu: 1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3)
Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Inilah yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta
Chapter.[3]
Namun, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang pertama PPKI, sila pertama
tersebut diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]
1.
Orde
Lama
Sejak
Dekrit Presiden 5 Juli 1945, negara Indonesia kembali berdasarkan pada UUD
1945. Masa inilah yang disebut sebagai masa Orde Lama.
Meski
telah kembali pada UUD 1945, namun sistem pemerintahan yang dijalankan tidak
sesuai dengan UUD 1945 itu sendiri. Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin
yang penerapannya terpusat pada dirinya sendiri, sehingga Demokrasi Terpimpin
menjadi sistem kepemimpinan yang otoriter.[5]
Upayanya untuk menyatukan perbedaan ideologi dengan mengemukakan ajaran Nasakom
tidak pernah terwujud secara sinergis, malah dimanfaatkan oleh PKI untuk
mendominasi RI. Hal inilah yang memicu lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA)
salah satu jiwanya adalah anti-zionisme.[6]
Masa
Orde Lama berakhir dengan adanya pemberontakan G 30 S/PKI. Rakyat menuntut
perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan negara. Kemudian lahirlah Tritura
(Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu: bubarkan PKI, bersihkan kabinet dari unsur PKI,d
an turunkan harga-harga. Dalam keadaan kacau itu, Soekarno mengeluarkan Surat
Perintah 11 Maret kepada Letjen Soeharto. Dan dengan dasar Surat Perintah itu,
Letjen Soeharto mengeluarkan surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 pada tanggal
12 Maret yang ditandatanganinya. Isi Kepres ini adalah pembubaran PKI di
seluruh wilayah Indonesia yang berlaku sejak tanggal keluarnya surat tersebut.[7]
2.
Orde
Baru
Setelah
Orde Lama runtuh, pemerintahan baru terbentuk yang diberi nama Orde Baru. Orde
Baru berusaha mengoreksi kesalahan Demokrasi Terpimpin. Rezim ini berpendirian
bahwa pangkal masalah kekacauan selama Demokrasi Terpimpin adalah penyelewengan
Pancasila dan UUD 1945, sehingga pembangunan ekonomi terabaikan dan kehidupan
politik ketatanegaraan terbengkalai.[8]
Tekad Orde Baru adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Untuk mewujudkan tekad itu, sidang MPRS tahun 1966 mengeluarkan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang merupakan koreksi terhadap pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945 dalam periode 1959-1965 yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno.[9]
Orde
Baru menarik kesimpulan bahwa pertikaian antara kaum komunis di pihak kiri dan
kaum Islamis di pihak kanan dalam spektrum politik akan membelokkan rakyat
Indonesia dari persatuan yang dibutuhkan kalau mau meraih kemajuan (modernitas).
Untuk meredakan konflik ideologis ini, maka Orde Baru membangun konsep baru
tentang demokraasi yang diberi nama Demokrasi Pancasila, yang sebenarnya
bersifat otoriter.[10]
Lembaga-lembaga politik harus diisi orang-orang yang steril dan tidak pretensi
menafsirkan Pancasila dan UUD 1945 secara bebas. Mereka yang ditengarai hendak
menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 adalah sisa-sisa Orde Lama dan kekuatan
Islam Politik. Demi menjaga kemurnian Pancasila dan UUD 1945, partisipasi
politik kemudian dibatasi.[11]
Sementara di pihak lain, pemerintah dan penguasa menjalin kerja sama yang
menguntungkan sacara pribadi dan keluarga pejabat. Korupsi, kolusi, dan
nepotisme seolah menjadi budaya yang wajar-wajar saja.[12]
Krisis
moneter 1997 telah membawa krisis-krisis lain yang akhirnya membawa pada krisis
kepercayaan dan krisis politik. Rakyat yang dipelopori oleh mahasiswa
mengehndaki Soeharto turun dan gaung reformasi bergema di mana-mana untuk
perbaikan kehidupan kenegaraan Indonesia.
Setelah demonstrasi di mana-mana, ultimatum MPR dan pengunduran diri
empat belas menteri-menterinya, Soeharto menyatakan berhenti menjadi presiden
pada hari Kamis, 21 Mei 1998.[13]
3.
Masa
Reformasi
Menurut As’ad Said Ali, Masa Reformasi
boleh dikatakan sebagai perayaan terhadap kebebasan politik. Lembaga-lembaga
politik dan berbagai aturan perundangan warisan rezim sebelumnya mulai ditata
ulang secara mendasar. Bahkan UUD 1945 nyaris diamandemen secara keseluruhan,
sambil menjumput ide dari berbagai negara yang dianggap sukses menjalankan
demokrasi. Instrumen untuk mewujudkan kedaulatan rakyat mengalami perbaikan
cukup mendasar. Pemilu dapat dilaksanakan secara bebas, jujur, adil, dan
transparan. Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat
dan partai politik bebas menyuarakan anspirasi masing-masing.[14]
Jika Orde Baru menabukan perubahan UUD 1945, sebaliknya masa Reformasi
memandang sangat perlu perubahan UUD 1945 untuk memperbaiki kehidupan berbangsa
dan bernegara.[15]
Namun, liberalisasi politik semasa
Reformasi berjalan miskin kualitas. Hal tersebut ditandai oleh instrumen
demokrasi yang mengalami defisit besar, pemilu yang kurang mengartikulasi
pandangan dan kepentingan pokok masyarakat, serta munculnya elite yang
mendominasi. Kecenderungan ini akan mengurangi kepercayaan rakyat yang sangat
besar terhadap demokrasi. Bila itu terjadi, sejarah tahun 1959 mungkin akan
terulang. Banyak contoh memperlihatkan bahwa negara yang baru memulai proses
demokrasi seringkali harus kembali menjadi negara yang otoriter hanya karena
tidak mampu mengelola dinamka demokrasi dengan baik.[16]
B. Pancasila
sebagai Dasar Negara
Secara
formal, Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Walaupun demikian, secara
material nilai-nilai Pancasila ada dan telah berkembang dalam cara hidup rakyat
Indonesia jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.[17]
Dalam
kehidupan bangsa, dikenal berbagai sebutan bagi Pancasila. Salah satunya adalah
Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini tertera pada alinea ke-empat dalam
Pembukaan UUD 1945, “...maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”[18]
Sebagai
dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu
kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag). Dalam kedudukan ini, Pancasila merupakan
sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara,
termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia.
Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarannya
senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.[19]
Pancasila
sebagai ideologi tebuka memiliki ciri has, yaitu nilai atau cita-citanya tidak
dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan nurani,
moral, dan budaya masyarakat itu sendiri. Dasarnya bukan pada keyakinan
sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dan konsensus dari masyarakat
tersebut.[20]
Ideologi yang terbuka itu hidup dan berkembang bersama dinamika perkembangan
kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Artinya, ideologi terbuka
mengandung dinamika internal yang memungkinkannya untuk memperbaharui maknanya
dari waktu ke waktu, sehingga isinya tetap relevan dan komunikatif sepanjang
jaman, tanpa menyimpang apalagi mengingkari hakikat atau jati dirinya.[21]
Namun, bagaimana pun dinamis dan terbukanya,
pasti ada kesepakatan bersama. Tidak semua penafsiran Pancasila bisa
diterima. Ada tafsir yang benar dan ada yang salah. Pasalnya, jika Pancasila
ditafsirkan dengan serba terbuka, dinamis, dan relatif sehingga tidak ada satu
pun penafsiran yang dapat dikatakan benar, Pancasila akan kehilangan perannya
sebagai dasar negara.[22]
C. Tafsir
Pancasila
Pancasila yang benar adalah yang dapat
dipertanggung jawabkan secara yuridis dan konstitusional dan secara obyektif
ilmiah. Secara yuridis konservatif, Pancasila sebagai dasar negara yang
dipergunakan sebagai dasar mengatur menyelenggarakan pemerintah negara. Secara
obyektif ilmiah karena Pancasila adalah suatu paham filsafat, suatu philosophical way of thinking atau philosophical system, sehingga uraiannya
harus logis dan dapat diterima oleh akal sehat.[23]
Pancasila sebagai dasar negara dan
tinjauan dari segi yuridis konservatif, maka harus bersumber kepada konstitusi
atau bersumber kepada UUD.[24] Sedangkan
UUD 1945 sendiri dijiwai oleh Piagam Jakarta yang kemudian disebut Pancasila.
Jadi, sebagaimana yang disebutkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bahwa
Piagam Jakarta dan UUD 1945 merupakan satu-kesatuan.[25]
Menurut Natsir, sebagian besar penyusun
Piagam Jakarta yang beragama Islam tidak akan membenarkan suatu perumusan yang
menurut mereka bertentangan dengan asas dan ajaran Islam. Tapi tidak berarti
bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran Islam. Pancasila
memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah Islam.[26]
Menurut Adian Husaini, seharusnya Pancasila tidak masuk ke wilayah worldview
atau rumusan kehidupan. Konsep ketuhanan tidak bisa dirumuskan oleh Pancasila
dan sudah pasti akan bertabrakan dengan konsep agama, terutama Islam.[27]
Kasman Singodimejo memaparkan bahwa Mohammad
Hatta yang terlibat dalam perumusan Pancasila menjelaskan pengertian sila
Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Allah. Dan waktu Bung Hatta mengusulkan
supaya sila Ketuhanan itu ditambah dengan Yang Maha Esa dan dijadikan sebagai
sila pertama, bukan seperti keinginan Bung Karno yang menggunakan Ketuhanan
saja sebagai sila ke-lima, Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dan
Nur-Nya menyinarkan Nur-Nya itu kepada keempat sila lainnya.[28] Selain
itu, terlepas dari agama dan ideologi masing-masing, sila pertama tidak boleh
dilepaskan dari alinea ke-tiga pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa...” Jadi, sila pertama bisa dikatakan sebagai penegasan konsep
tauhid dalam Islam, karena dalam alinea ke-tiga disebutkan bahwa Tuhan yang
dimaksud adalah Allah.[29]
Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima[30]
merumuskan:
“Dasar
Ketuhanan yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita,
yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan
baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam
perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi. Dalam susunan
sekarang ini, dasar kemanusiaan yang adil dan beradab harus menyusul,
berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya tak dapat terpisah dari itu,
sebab ia harus dipandang sebagai kelanjutan dalam praktik daripada cita-cita
dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan dasar-dasar ini sebagai pedoman, pada
hakekatnya, pemerintah negara kita tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus
untuk mencapai keselamatan negara dan masyarakat, ketertiban dunia dan
persaudaraan bangsa-bangsa. Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan,
ada senantiasa terasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar.
Akibat daripada urutan yang lima pasal itu, sekalipun ideologi negara tidak
berubah dengan perubahan kata-kata, politik negara mendapat dasar moral yang
kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya sekedar hormat-menghormati agama
masing-masing, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran,
keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya. Negara dengan itu
memperkokoh fondamennya.[31]
Menurut Adian Husaini, pemaknaan
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai tauhid berarti menyatakan bahwa tauhid Islam
menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia.[32]
Seorang yang bertauhid akan mengikrarkan dan meyakini bahwa satu-satunya tuhan
yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah, bukan tuhan yang lain.
Orang yang bertuhankan tuhan-tuhan selain Allah disebut orang musyrik.[33] Dengan
begitu akan sangat salah jika seseorang beranggapan bahwa Pancasila adalah
sekular atau pun menuduh orang yang melaksanakan syariat Islam telah menyalahi
nilai-nilai Pancasila, karena bagaimana pun Pancasila disusun atas kesadaran
umat Islam yang tidak mungkin menyalahi nilai-nilai Islam itu sendiri.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Sejarah
Pancasila dibagi menjadi tiga masa, yaitu Orde Lama, Orde Baru dan Masa
Reformasi. Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno menggunakan sistem Demokrasi
Terpimpin yang bersifat otoriter. Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto
berusaha memperbaiki kesalahan Orde Lama dengan mengenalkan sistem Demokrasi
Pancasila yang bersifat tertutup, sehingga juga menjadikan sistem ini menjadi
sistem yang otoriter. Sedangkan masa Reformasi yang dimulai oleh BJ Habibie dan
dilanjutkan oleh KH Abdurrahman Wahid merupakan sistem demokrasi terbaik yang
dicatat oleh sejarah. Sistem demokrasi semasa Reformasi merupakan kebalikan
Orde Baru yang sangat tertutup. Namun masa Reformasi dikhawatirkan akan
mengulang sejarah tahun 1959.
2.
Sebagai
dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu
kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag). Dalam kedudukan ini, Pancasila merupakan
sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara,
termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia.
Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarannya
senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.[34]
Pancasila sebagai ideologi tebuka memiliki ciri has, yaitu nilai-nilai atau
cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari
harta kekayaan nurani, moral, dan budaya masyarakat itu sendiri.
3.
Pancasila
dan UUD 1945 merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila bermakna tauhid Islam, yang berarti
bahwa tuhan yang dimaksud di sini tidak lain adalah Allah. Sila ini menjiwai
keempat sila lainnya. Jadi, baik Pancasila atau UUD 1945 tidak dapat disebut
sekular karena dasar dari keduanya merupakan tauhid Islam, pokok ajaran islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfian, Oetojo Oesman. Pancasila Sebagai Ideologi. (Surabaya:
Karya Anda, 1993).
Ali, As’ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemashalatan Bangsa. (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2009).
Fadjar,
A. Malik dkk. Pancasila Dasar Filsafat
Negara (Prinsip-prinsip Pengembangan Kehidupan Beragama). (Malang:
UMM-Press, 1992).
Fauzi, Achmad dkk. Pancasila Ditinjau dari Segi
Sejarah-Segi Yuridis Kontitusional dan Segi Filosofis. (Malang: Lembaga
Penerbitan Universitas Brawijaya, 1983).
Husaini, Adian. Pancasila: Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional. (Jakarta: Gema
Insani, 2009).
Kaelan. Pendidikan Pancasila. (Yogyakarta: Paradigma, 2010).
Kaelan. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. (Yogyakarta: Paradigma,
1996).
Santosa dkk, Heru. Sari Pendidikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).
http://www.arrahmah.com/read/2011/06/07/13187-adian-husaini-pancasila-jangan-dijadikan-sebagai-pandangan-hidup.html.
[1] Achmad
Fauzi dkk, Pancasila ditinjau dari Segi Sejarah-Segi
Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis, hlm. 44-50; Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan,
hlm. 30.
[3] Achmad
Fauzi dkk, Pancasila ditinjau dari Segi Sejarah-Segi
Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis, hlm. 52; Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan,
hlm. 33.
[5] As’ad
Said Ali, Negara Pancasila: Jalan
Kemashalatan Bangsa, hlm. 123; Heru
Santosa dkk, Sari Pendidikan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945, hlm. 44.
[22] Lihat
Adian Husaini, Pancasila: Bukan untuk
Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 170-171.
[27] http://www.arrahmah.com/read/2011/06/07/13187-adian-husaini-pancasila-jangan-dijadikan-sebagai-pandangan-hidup.html
diakses pada tanggal 13 April 2015.
[30] Tahun
1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang beranggotakan Mohammad Hatta,
Prof. H.A. Subardjo Djoyodisuryo, Prof. Sunario, S.H., dan Prof. Abdoel Gafar
Pringgodigdo, S.H.
Labels:
Makalah
Langganan:
Postingan (Atom)