BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu filosof
muslim, Miskawaih telah banyak memberi sumbangsih pemikiran dalam sejarah
filsafat Islam. Namun dalam kenyataannya, sejarah dan karya Miskawaih kurang
dapat dikenal dan diterima oleh dunia. Padahal, gelar Bapak Etika Islam sudah
cukup membuktikan bahwa dirinya pantas disejajarkan dengan para filosof muslim,
seperti al-Kindi atau al-Farabi.
Beberapa guru Miskawaih
mengklaim bahwa Miskawaih lebih menguasai filsafat etika daripada filsafat
ketuhanan. Banyak kritik terhadap filsafatnya, terutama filsafat ketuhanan,
yang merupakan penggabungan dari beberapa sumber, yaitu filsafat Islam dan
filsafat Yunani. Namun, filsafatnya mengenai etika cukup populer di sejarah
filsafat Islam.
B.
Rumusan Masalah
Merujuk pada
latar belakang tersebut, maka saya dapat merumuskan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini sebagai berikut:
1.
Siapakah Ibnu
Miskawaih?
2.
Karya apa
saja yang pernah Miskawaih tulis?
3.
Bagaimanakah
filsafat Miskawaih?
C.
Tujuan
Melihat masalah-masalah
yang akan dibahas, maka saya berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan
pembaca terhadap sejarah kehidupan, karya, serta filsafat Ibnu Miskawaih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Miskawaih
Nama lengkap Ibnu Miskawaih
adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Yakub ibnu Miskawaih. Dia dilahirkan di
kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/991 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9
Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
Miskawaih merupakan
penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya pada sultan dan
wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M). Ketika
Sultan Ahmad ‘Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, dia menduduki
jabatan yang penting, seperti Khazin,
yaitu penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara negara.
Disiplin ilmunya meliputi
kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai
seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu
oleh kekacauan masyarakat pada masanya.[1]
B.
Karya-karya Miskawaih
Miskawaih tidak hanya
dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis yang produktif.
Dalam buku The History of The Muslim
Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya, yaitu:
1.
Al-Fauz al-Akbar
2.
Al-Fauz al-Asghar
3.
Tajarib al-Umam
4.
Uns al-Farid
5.
Tartib al-Sa’adat
6.
Al-Mustaufa
7.
Jawidan Khirad
8.
Al-Jami’
9.
Al-Siyab
10.
On the Simple Drugs
11.
On the Composition of the Bajats
12.
Al-Ashribah
13.
Tahzib al-Akhlaq
14.
Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
15.
Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16.
Al-Jawab fi al-Masa’il al-Salas
17.
Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan
al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
C.
Pemikiran Filsafat Miskawaih
1.
Hikmah dan
Falsafah
Miskawaih
membedakan pengertian antara hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah
keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah)
yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz)
segala yang ada (al-maujudat)
sebagaimana adanya. Dengan hikmah,
seseorang mampu mengetahui perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan
perkara-perkara insaniah (kemanusiaan). Dan hasil dari pengetahuan, seseorang
mampu mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) untuk membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang
wajib ditinggalkan.[3]
Sedangkan
mengenai filsafat, Miskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu bagian
teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang
digunakan untuk dapat mengetahui segala sesuatu sehingga pikirannya benar,
keyakinannya benar, dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian
praktis merupakan kesempuarnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat
melakukan perbuatan-perbuatan moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan
kemauan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sangat
sejalan dengan analisa bagian teori. Pada akhirnya, kesempurnaan moral dapat
mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup
bersama. Sehingga, jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, maka dia
telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.[4]
2.
Metafisika
Metafisika Miskawaih
mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan, jiwa, dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap, metafisika
Miskawaih dituangkan dalam kitab al-Fauz
al-Ashghar.[5]
a.
Ketuhanan
Dalam kitab al-Fauz al-Ashghar, Miskawaih
mengetengahkan uraian tentang sifat dasar Neoplatonisme[6] yang agak tidak lazim. Dia mengklaim bahwa para filsuf klasik (filsuf
Yunani) tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak masalah
jika mempertemukan pemikiran mereka dengan pemikiran Islam. Miskawaih
menyatukan antara pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan[7] dengan gagasan emanasi terputus Neoplatonisme. Dia bahkan mengklaim
bahwa penyamaan Aristoteles mengenai Sang Pencipta dengan “Penggerak yang Tidak
Bergerak” (al-muharrik alladzi la
ya-taharrak) merupakan argumen kuat tentang Sang Pencipta yang dapat
diterima agama.[8]
Menurut De Boer, Miskawaih
menyatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas.
Dikatakan jelas karena Tuhan adalah Yang Hak (Benar), dan Yang Hak adalah
terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran manusia untuk
menangkap-Nya, karena banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang
menutupi-Nya.[9]
Pendapat Miskawaih bahwa
untuk membuktikan adanya Tuhan hanya dapat dilakukan secara negatif (tidak
langsung)[10] telah mendapat kritik. Memang dapat diterima jika tujuan dari
penolakan terhadap pembuktian secara positif (langsung) adalah untuk
mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan secara rasional. Tapi hal itu tidak benar
jika yang dimaksud adalah mencakup segala macam pengenalan. Sebab, selain
pengetahuan secara rasional, dimungkinkan juga pengenalan dengan jalan
pengalaman kejiwaan sebagaimana bisa terjadi dalam dunia mistik.[11]
Mengenai emanasi[12], Miskawaih mengatakan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan
adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal
aktif[13] ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna, dan tidak
berubah. Dari akal aktif ini, timbul jiwa; dan dengan perantaraan jiwa, timbul
planet (al-falak). Pancaran yang
terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan alam ini. Jika pancaran
tersebut terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini.[14]
Berdasarkan pendapat
Miskawaih tersebut, dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan al-Farabi,
sebagai berikut:
1. Bagi Miskawaih, Tuhan menjadikan alam secara
emanasi dari tiada menjadi ada. Sedangkan menurut al-Farabi, alam dijadikan
Tuhan secara pancaran daru sesuatu yang sudah ada menjadi ada.
2. Bagi Miskawaih, ciptaan Tuhan yang pertama adalah
akal aktif. Sedangkan bagi al-Farabi, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal
pertama, sedangkan akal aktif adalah akal yang kesepuluh.[15]
b.
Jiwa atau Roh
Jiwa yang
merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga tidak dapat diraba
menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak bersifat material[16] dibuktikan oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat
menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang berlawanan. Misalnya, jiwa
dapat menerima gambaran hitam-putih dalam waktu yang sama, sedangkan materi
hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala
sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.[17]
Dalam
jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan
inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang
benar dan yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera. Perbedaan itu
dilakukan dengan cara membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu
dengan yang lain, serta membedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai
pembimbing pancaindera dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami pancaindera.[18]
c.
Kenabian
Dalam hal kenabian,
tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Miskawaih dengan al-Farabi.
Menurut Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat
kebenaran karena pengaruh akal aktif pada daya imajinasinya. Perbedaan antara
Nabi dan para filsuf terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf memperoleh
kebenaran dari bawah ke atas: dari daya inderawi, daya khayal, daya pikir,
sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal
aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmat
Tuhan. Manusia membutuhkan Nabi untuk mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang
dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.[19]
d.
Teori Evolusi
Miskawaih juga mengemukakan
teori evolusi yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa. Teori itu
terdiri atas empat tahapan evolusi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kombinasi substansi-substansi primer[20] menghasilkan dunia mineral (evolusi mineral), menjadi rerumputan,
tanaman, pepohonan—beberapa di antaranya menyentuh batas dunia hewan—sampai
mereka mewujudkan ciri-ciri hewaniyah tertentu. Di antara dunia tumbuhan dan
dunia hewan terdapat suatu bentuk kehidupan tertentu, yang bukan kehidupan
hewan dan bukan kehidupan tumbuhan namun memiliki ciri-ciri keduanya (misalnya
koral/batu karang). Langkah pertama di luar tahap kehidupan antara keduanya
adalah perkembangan daya gerak, dan indra peraba pada cacing-cacing kecil yang
merayap di atas bumi. Oleh diferensiasi, indra peraba mengembangkan
bentuk-bentuk indra lain sampai mencapai dunia hewan yang lebih tinggi, yang di dalamnya
intelegensi mulai menyatakan dirinya
dalam sebuah skala yang meninggi. Kemanusiaan terbentuk dari kera yang
mengalami perkembangan lebih jauh, dan berangsur-angsur mengembangkan ketegakan
tubuh dan daya pemahaman yang serupa manusia. di sini kehewanan berakhir, dan
kemanusiaan bermula.[21]
Selanjutnya, manusia pun
akan mengalami evolusi, yaitu terus berkembang dan meningkat kecerdasannya. Manusia
dapat makin berkembang ke tingkat kebijaksanaan hingga mendekati tingkat
malaikat dengan melalui jalan keutamaan teoritis, melalui jalan filsafat, atau
menjadi orang yang bijaksana (baca: hakim). Di sisi lain, Miskawaih menetapkan
adanya tipe manusia yang memang sanggup sampai ke tingkat kemanusiaan yang
tinggi—yang memperoleh kebenaran hakiki tanpa jalan berpikir, melainkan dengan
jalan wahyu—yaitu para Nabi.[22]
3.
Etika atau
Akhlak
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih
dalam bidang ahklak memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak
Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosof Muslim—seperti
al-Kindi, al-Farabi, al-Razi—dan dikombinasikan dengan pemikiran filosof
Yunani—seperti Aristoteles, plato, dan Galen—sebagai pelengkap. Jadi, Miskawaih
lebih memilih untuk mendasarkan etikanya pada ajaran agama Islam (al-Qur’an dan
hadits), mengambil pemikiran dari sumber lain jika sejalan dengan agama Islam,
serta menolaknya jika bertentangan.[23]
Miskawaih mengartikan akhlak (jamak dari khuluk) sebagai keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan
diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain, akhlak merupakan keadaan jiwa yang
mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan.[24]
Keadaan jiwa ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang berasal dari watak, dan
yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[25]
Kedua watak tersebut pada hakekatnya tidak alami.[26]
Miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang
mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Miskawaih, akhlak
yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan
dan latihan-latihan.[27]
Pemikiran ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa
kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.[28]
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak
adalah kebaikan (al-khair),
kebahagiaan (al-sa’adah), dan
keutamaan (al-fadhilah).
a.
Kebaikan (al-khair)
Kebaikan
adakalanya umum, dan adakalanya khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi
seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus
adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan inilah yang disebut
sebagai kebahagiaan. Di atas semua kebaikan tersebut terdapat Kebaikan Mutlak
yang identik dengan Wujud Tertinggi. Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama
berusaha mencapai Kebaikan Mutlak tersebut.[29]
b.
Kebahagiaan (al-sa’adah)
Pada bab ketiga dalam buku Tahzib al-Akhlaq, dengan menggabungkan pendapat Plato dan
Aristoteles, Miskawaih memaparkan bahwa kebahagiaan meliputi jasmani dan rohani.
Bagi Plato, kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan rohani yang hanya
bisa didapat jika rohani manusia berpisah dengan jasadnya. Sebaliknya bagi
Aristoteles, kebahagiaan bisa didapat dalam kehidupan dunia ini, namun
kebahagiaan antar manusia berbeda satu sama lain.[30]
Kebahagiaan rohani tidak bisa didapat jika tidak melalui kebahagiaan dunia.[31]
Kebahagiaan tertinggi adalah kebijaksanaan yang meliputi dua
aspek, yaitu aspek teoritis dan aspek praktis. Orang yang mencapai kebahagiaan
tertinggi, jiwanya akan tenang karena merasa selalu berdampingan dengan
malaikat. Dia akan melakukan kehendak Allah, tidak menghianati Allah atau
diri-sendiri.[32]
Dalam usaha mencapai kebahagiaan, manusia selalu memerlukan
pedoman syariat yang memberikan petunjuk dan meluruskan jalan untuk mencapai
kebijaksanaan. Karena berasal dari Allah, syariat hanya memerintahkan kebajikan
dan hal-hal yang akan menyampaikan kepada kebahagiaan tertinggi.[33]
c.
Keutamaan (al-fadhilah)
Miskawaih
membedakan jiwa manusia menjadi tiga tingkatan. Dari tingkat yang paling rendah
disebutkan sebagai berikut:
1. An-Nafs
al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk,
2. An-Nafs
al-sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang,
Miskawaih mengatakan bahwa jiwa yang buruk (al-bahimiyah) mengejar kenikmatan jasmani; namun dapat memiliki
sifat suci (‘iffah) jika manusia
dapat bebas dari pengaruh nafsunya. Jiwa yang sedang (al-sabu’iyah) bertumpu pada kemarahan dan kedengkian; dapat memiliki
sifat berani (syaja’ah) jika manusia
dapat menundukkannya kepada jiwa yang baik. Jiwa yang baik (an-nathiqah) selalu memikirkan hakikat
segala sesuatu, dan memiliki sifat kebijaksanaan (hikmah).[35] Dengan demikian, ada tiga sifat utama: suci, berani, dan hikmah.
Jika ketiga sifat utama tersebut serasi, maka muncullah sifat utama
yang keempat, yaitu adil (‘adalah).[36] Manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang
cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya setingkat
malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula, manusia dibedakan dari
binatang.[37]
Selain keempat sifat utama itu, Miskawaih menyebutkan adanya keutamaan
lain, yaitu berusaha memiliki pengetahuan, karena kesempurnaan jiwa yang
sebenarnya adalah dengan memiliki pengetahuan dan bersatu dengan akal aktif.
Hal ini diperoleh Miskawaih dari Socrates yang menyatakan bahwa keutamaan
adalah pengetahuan, dan dari Neoplatonisme yang menyatakan bahwa puncak
keutamaan jiwa adalah bersatu dengan akal aktif, dan terus meningkat hingga
bersatu dengan Tuhan.[38]
4.
Sejarah
Menurut Miskawaih, sejarah
merupakan cerminan struktur politik atau ekonomi masyarakat pada masa tertentu.
Atau dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau
negara-negara tentang pasang-surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya
mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kegiatan organik, tetapi juga
menentukan bentuk sesuatu yang akan datang. Jadi, sejarah memiliki nilai
pragmatis bagi kehidupan setelahnya.[39]
5.
Politik
Mengutip pendapat Azdsher[40], Miskawaih mengatakan bahwa agama dan kerajaan bagai saudara kembar
atau dua sisi dari mata uang yang sama (two
side or the same coin), yang tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan
landasan dasar, kerajaan merupakan pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan
dasar akan mudah hancur, dan segala
sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia.[41]
Miskawaih menegaskan bahwa
yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam yang kekuasaannya seperti
kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan agama.
Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena seorang raja yang melampaui batas
kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan. Kedudukan agama
menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang didambakan berbalik menjadi
kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya
untuk diadakan perubahan pimpinan kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja
yang adil.[42]
6.
Kematian
Dalam membicarakan penyakit
jiwa, Miskawaih menyinggung masalah takut mati. Kematian merupakan bukti
keadilan Tuhan terhadap hamba-Nya. Jika manusia tidak pernah mati, maka
orang-orang terdahulu akan tetap ada, sehingga akan mengakibatkan kurangnya
ruang tampung di bumi. Secara rasional, dapat dinyatakan bahwa manusia hanyalah
makhluk belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika manusia tidak ingin
rusak, maka seharusnya dia tidak ingin ada. Barang siapa tidak ingin ada, maka
dia menginginkan kerusakan pada dirinya.[43]
Untuk mengatasi perasaan
takut mati ini, manusia harus memahami bahwa badan hanyalah alat yang digunakan
jiwa sebagai perantara untuk hidup di dunia yang tidak kekal. Sakit yang
dirasakan badan sebelum mati merupakan pengaruh jiwa yang pernah ada dalam badan
tersebut, sehingga tidak akan lagi ada rasa sakit setelah jiwa terlepas dari
badan. Jika telah memahami hakikat jiwa, seseorang akan mengetahui bahwa jiwa
akan menemui kehidupan lain setelah kematian.[44]
Sedangkan orang yang merasa
takut mati karena hukuman setelah mati, harus memahami bahwa yang dia takuti
bukanlah rasa sakit sebelum kematian, akan tetapi rasa sakit akibat hukuman
terhadap perbuatan-perbuatan yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. Oleh
karena itu, seseorang harus hidup berhati-hati, tidak mudah melakukan maksiat,
dan mendekatkan diri pada Tuhan. Orang yang mengetahui jalan untuk memperoleh
kebahagiaan, jiwanya akan tenang dan yakin bahwa dirinya akan terbebas dari
kesengsaraan setelah mati.[45]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Disiplin ilmu Miskawaih meliputi kedokteran,
bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof
akhlak daripada filosof ketuhanan. Ini terbukti dari pernyataan para filosof
yang pernah menjadi gurunya, yaitu Ibnu Sina dan At-Tauhidi, yang menganggapnya
salah seorang pemikir teistis, moralis, dan sejarawan.
Usahanya untuk menjembatani
antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani menghasilkan sebuah argumen yang
tidak mendasar dan kurang dapat diterima. Banyak filsafatnya, seperti teori
pembuktian Tuhan secara negatif atau emanasi mendapat kritikan dari banyak
pemikir muslim. Filsafat Miskawaih pun patut diragukan karena hilangnya
beberapa sumber yang dia pakai dalam mendukung tulisan-tulisannya.
Sumber-sumber tersebut hanya dapat direka-reka.
Namun, filsafat Miskawaih
dalam hal etika merupakan karya terbesar dalam sejarah Islam. Ini terbukti dari
gelar yang dia dapat, yaitu Bapak Etika Muslim.
B.
Kritik
Pemikiran Miskawaih
mengenai emanasi, bahwa dia meragukan kekuasaan Allah untuk menciptakan segala
sesuatu sangat perlu dikritik. Pengaruh filsafat Yunani yang sangat besar pada
pemikirannya membuatnya terlihat seperti meletakkan ketauhidan ajaran agama
Islam di bawah filsafat Yunani. Sebagai muslim, Miskawi tentu mengerti bahwa
kekuasaan Allah dalam menciptakan alam semesta. Seperti dalam surat Yaasin ayat
78 dan 79, “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami;
dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang, yang telah hancur luluh?’ Katakanlah: ‘Ia akan dihidupkan oleh
Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang
segala makhluk...”
Sedang
dalam etika, meskipun Miskawaih lebih cenderung memilih sumber dari ajaran
agama Islam, dia cenderung lebih menggunakan istilah-istilah yang digunakan
oleh para filosof Yunani. Penyusunan pemikiran yang kurang tepat akan
menimbulkan kesan yang kurang tepat pula. Padahal, jika Miskawaih dapat
menyusunnya dengan lebih tepat, niscaya ajaran agama Islam akan lebih dihormati
oleh banyak kalangan.
GLOSARIUM
Diferensi : Pembedaan
Evolusi :
Perubahan/perkembangan secara lambat.
Intelegensi : Kecerdasan; ketajaman
pikiran.
Substansi : wujud, zat riil,
hakikat, isi pokok; dipakai dalam filsafat untuk menunjukkan suatu realitas
yang dalam dan mengandung sifat-sifat, watak-watak, serta kualitas-kualitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Gaarder, Jostein, 2011, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, (Bandung: Mizan).
Mustofa,
H. A., 2009, Filsafat Islam,
(Bandung: CV Pustaka Setia).
Nasution,
Hasyimsyah, 2002, Filsafat Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta).
Supriyadi,
Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam,
(Bandung: CV Pustaka Setia).
Zar, Sirajuddin,
2010, Filsafat Islam: Fiosof dan
Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada).
http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-miskawaih.pdf
[1] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat
Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hlm.
127-128.
[2] Zar, Ibid, hlm. 128-129.
[3] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat
Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 169
[4] Ibid, hlm. 170
[5] Ibid.
[6] Tokoh paling penting dalam Neoplatonisme adalah Plotinus. Dipengaruhi
oleh Aristoteles, Plotinus mengajukan gagasan emanasi, yaitu konsep emanasi yang
membentuk alam semesta. Lihat: Jostein Gaarder, Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat, hlm. 219.
[7] Sama seperti al-Kindi yang menyatakan bahwa Allah menciptakan alam
semesta dari tiada menjadi ada, berbeda dari al-Farabi yang menyatakan bahwa
Allah menciptakan alam semsta dari materi yang sudah ada. Lihat: Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam, hlm. 130.
[8] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar
Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 113.
[9] Zar, Ibid, hlm. 130.
[10] Pembuktian secara negatif adalah pembuktian secara tidak langsung
dengan menolak suatu proposisi tentang Tuhan untuk menerima yang sebaliknya.
Misalnya, kita menolak proposisi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu
badan, Tuhan adalah bergerak, Tuhan adalah tidak esa, Tuhan adalah diciptakan;
sementara yang kita terima adalah sebaliknya. Proposisi positif berarti
menyamakan Tuhan dengan alam. Lihat H. A. Mustofa, Filsafat Islam, hlm. 171.
[11] Mustofa, Ibid, hlm. 171.
[12] Dalam menjawab permasalahan, “Bagaimana alam
diciptakan oleh Tuhan?” Miskawaih mengatakan, jika satu penyebab melahirkan
sejumlah efek yang berlainan, maka kemajemukannya mungkin bergantung pada
proposisi-proposisi berikut:
1.
Penyebab bisa mempunyai bermacam-macam kekuatan.
Misalnya, manusia—karena merupakan suatu kombinasi dari berbagai unsur dan
daya—bisa menjadi penyebab berbagai tindakan.
2.
Penyebab bisa menggunakan berbagai sarana untuk
menghasilkan keanekaragaman efek.
3.
Penyebab bisa menghasilkan keanekaragaman materi.
Namun, tidak satu pun dari proposisi
tersebut bisa berlaku untuk hakikat sebab utama, yaitu Tuhan. Mustahil Tuhan
memiliki kekuatan yang berbeda satu sama lain, karena pembawaannya tidak
memungkinkan adanya komposisi. Jika seandainya Dia menggunakan bermacam-macam
sarana untuk menghasilkan keanekaragaman, maka siapakah pencipta sarana-sarana
itu sendiri? Jika sarana-sarana ini disebabkan oleh agensi kreatif penyebab
yang bukan Penyebab Utama, tentu terdapat pluralitas Penyebab Utama. Jika pada
sisi lain, Penyebab Utama itu sendiri yang menciptakan semua sarana ini, Dia
tentu membutuhkan sarana-saran lain
untuk menciptakan sarana-sarana ini. Proposisi ketiga juga tidak dapat
diterima sebagai konsepsi tentang tindak kreatif. Dengan demikian, hanya ada
satu jalan keluar, yaitu bahwa penyebab utama hanya menciptakan sesuatu yang
menyebabkan terciptanya yang lain, Ibn Miskawaih mengajukan teori emanasi
Neoplatonisme. Lihat Nasution, Hasyimsyah,
Filsafat Islam, hlm. 59.
[13] Akal aktif adalah apa yang disebut sebagai sesuatu yang menyebabkan
terciptanya yang lain.
[14] Nasution, Hasyimsyah, 2002, Filsafat
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), hlm. 59
[15] Ibid, hlm. 60
[16] Yang dimaksud tidak bersifat material adalah bahwa roh tidak memiliki
unsur, yang memiliki unsur hanyalah materi. Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 121.
[17] Mustofa, Ibid, hlm. 172-173.
[18] Mustofa, Ibid, hlm. 173.
[19] Nasution, Ibid, hlm. 61. Lihat juga: Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya,
hlm. 132.
[20] Substansi primer adalah unsur terendah menurut pandangan epistemologi
Islam, yaitu atom.
[21] Nasution, Ibid, hlm. 60.
[22] Mustofa., Ibid, hlm. 175.
[23] Zar, Ibid, hlm. 135.
[24] Mustofa, Ibid, hlm. 177.
[25] Nasution, Ibid, hlm. 61.
[26] http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-miskawaih.pdf
[27] Zar, Ibid, hlm. 135.
[28] Nasution, Ibid, hlm. 62.
[29] Ibid, hlm. 64.
[30] Zar, Ibid, hlm. 136.
[31] Supriyadi, Ibid, hlm. 117.
[32] Zar, Ibid, hlm. 180.
[33] Ibid.
[34] Mustofa, Ibid, hlm. 173.
[35] Ibid, hlm. 172-173.
[36] Zar, Ibid, hlm. 136.
[37] Mustofa, Ibid, hlm. 173.
[38] Zar, Ibid, hlm. 178-179.
[39] Nasution, Ibid, hlm. 66.
[40] Seorang raja dan filosof bangsa Persia. Lihat H. A. Mustofa, Filsafat Islam, hlm. 186.
[41] Mustofa, Ibid, hlm.186
[42] Ibid.
[43] Mustofa, Ibid, hlm. 183-185.
[44] Ibid.
[45] Ibid.
0 Komentar at “Ibnu Miskawaih”
Posting Komentar