Tampilkan postingan dengan label Prosa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prosa. Tampilkan semua postingan

Guardian Angel

awalnya, saya bahkan tidak berani menatap
saya pernah marah karena satu hal, lalu paham akan satu hal
kemudian, saya tidak pernah marah
saya selalu tersenyum

suatu hari, kami semua sangat sibuk karena satu kegiatan
saya sendirian
kemudian datang beramai
"lelah?"
kami semua lelah, tapi masih sempat menanyakan
"sudah makan?"
apa lagi yang bisa saya berikan?

suatu hari, tiba suatu hari
langit dan bumi melebur dalam horizon
diam
suatu hari, tiba suatu hari
terjadi lagi

kemudian tersenyum simpul
manis
damai

suatu hari, akan tiba suatu hari
kami masing-masing kembali ke kutub yang berbeda
Barat dan Timur

akan merindukan,
Guardian Angel

ilalang, mawar, dan manusia

indahnya ilalang
bukan karena warna yang terang
atau kelopak yang bergelombang
karena ia membentang
di bawah matahari yang terang
dan tertunduk melihat bayang

dan mawar
berwarna asfar dan ahmar
aroma segar memancar
berpencar-pencar dibawa alawar
mawar angkuh menantang sang Akbar

indahnya ilalang membentang lebih luas dibanding mawar
nyatanya manusia lebih sukai mawar

semakin ilalang tertunduk, semakin mawar tertebar
manusia lebih sukai mawar

Manusia Setengah Dewa



Di suatu desa yang hangat, matahari, awan, angin, pohon, binatang, dan manusia hidup berdampingan dengan harmonis. Sinar matahari selalu terasa hangat bagi penghuni desa. Jika matahari terlalu bersemangat, maka awan akan berpencar menutupi desa, dan angin akan berhembus mendinginkan suhu. Jika angin terlalu lama datang, maka matahari akan datang lebih awal untuk membantu pohon mengeluarkan lebih banyak oksigen, sehingga meskipun tidak ada angin, suhu tetap terasa nyaman.
Manusia pun seperti itu. Mereka hidup berdampingan dengan harmonis. Si Bijak selalu menjadi pihak netral yang menyeimbangkan beragam sifat. Jika manusia menjadi terlalu beramarah, Si Bijak akan naik ke atas mimbar dan meredamnya. Jika manusia menjadi terlalu pesimis, Si Bijak kembali naik ke atas mimbar dan mengatakan sesuatu yang aneh. Dia membangkitkan jiwa-jiwa pemberontak yang bersemangat, sehingga manusia kembali optimis. Dan ketika Si Bijak menjadi terlalu lelah, manusia-manusia, baik dan jahat datang bergilir untuk menghibur.
Di desa itu, ada seorang manusia setengah dewa. Dia tidak pernah menganggap keharmonisan dalam desa itu adalah benar. Ketika manusia sedang bersemangat dan meledak-ledak, dia menganggapnya ketidakteraturan yang tidak seharusnya terjadi. Manusia harus selalu teratur seperti garis lurus. Dan ketika manusia sedang terlalu lelah untuk bersemangat, dia menjadi sinis dan meremehkan manusia. Mengapa manusia tidak bisa selalu bersinar seperti dewa? Mengapa manusia tidak bisa selalu mengikuti aturan dewa? Mengapa manusia tidak seperti dewa? Manusia setengah dewa itu pun meninggalkan desa tersebut.
Manusia itu sampai di suatu desa berwarna biru. Manusia selalu meledak-ledak dan tidak ada Si Bijak. Manusia itu bahagia karena dia dapat menjadi Si Bijak yang berbeda dari Si Bijak di desa sebelumnya, Si Bijak yang mendewa. Manusia setengah dewa memperhatikan kehidupan dalam Desa Biru, mencari celah yang dapat dia masuki, dan menjadi Si Bijak. Manusia-manusia menatapnya. Manusia setengah dewa menunggu, tersenyum, dan bahagia. Dia telah menjadi Si Bijak yang mendewa, pikirnya.
Suatu hari, manusia-manusia Desa Biru lelah menjadi dewa. Manusia-manusia Desa Biru kembali meledak-ledak dan tidak mendengarkan Si Bijak. Si Bijak terasing. Mengapa manusia tidak bisa selalu bersinar seperti dewa? Mengapa manusia tidak bisa selalu mengikuti aturan dewa? Mengapa manusia tidak seperti dewa?

Senandung Rahasia Hati



Di sebuah loteng bangunan tertinggi di dataran selatan, di bawah naungan langit biru, seorang perempuan duduk menghadap hamparan hutan di hadapannya. Ia menyerahkan wajahnya pada belaian hangat matahari. Tak seberapa lama, matanya pun meleleh dan nafasnya mulai tersenggal. Setelah nafasnya dapat ia kuasai, ia menundukkan kepalanya, merasakan kehangatan yang ada di wajahnya. Berharap matahari dapat menguapkan nya seperti air yang mendidih.
Matahari semakin meninggi menculik bayangan dari pemiliknya. Sang perempuan menumpukan badannya di atas kedua sikunya, kemudian membawa pandangannya jauh menelusuri hutan. Mencari kedamaian dari harmoni alam liar dengan makhluk-makhluk bersayap di dalamnya, lantas membandingkan dengan kehidupan yang ia miliki. Ia mengerutkan kening, mencoba mengelak sesuatu, bergumam, “Muhammad..”
“Wahai Kekasih, kenapa Allah sangat cepat memanggilmu? Kami masih sangat takut menghadapi dunia sendiri. Orang-orang terdekatmu dulu masih mewarisi cinta tulus Sang Raja dan keberanianmu, menaklukkan Andalusia dan sebagian besar daratan Eropa. Mereka masih memiliki jiwa-jiwa ksatria dalam hati yang membuatnya siaga di setiap perbatasan siang malam, mencegah para musuh menyerang bahkan untuk sekedar mengintai.
Aku mengagumi mereka sebagaimana aku merindukanmu, Kekasih. Aku merindukan sisa-sisa gema kebesaran kalian yang kini sayup teredam modernisasi. Adakah kalian mendengarnya? Adakah kalian merindukannya? Atau, haruskan kita ke Andalusia, mencari sisa-sisa gema itu bersama? Akulah yang masih mendengarnya, Kekasih, namun mereka semua tidak perduli. Akulah yang ingin kembali mengaungkannya di bumi ini dengan harapanku, namun mereka telah cukup bahagia dengan modernisasi. Aku tidak menyalahkanmu, Kekasih, aku menyalahkan manusia-manusia berakal yang hanyut dalam cawan kenikmatan dunia dan terlalu menakuti kematian.
Musuh-musuh kita sekarang sama saja dengan musuh-musuh kalian dulu. Namun umatmu kini adalah buih! Begitu mudahnya buih diterbangkan hingga akhirnya dihempaskan dan pecah terberai. Beginilah umatmu sekarang, Kekasih. Musuh-musuh kita sekarang menguasai perekonomian dunia, membuat kami terpaksa membantu modal mereka secara tidak langsung dalam menyerang saudara kita sendiri di Palestina. Adakah kalian menyadari? Musuh-musuh kita pun dapat dengan mudah memata-matai kita siang malam. Umatmu kini begiyu mudahnya menyerahkan informasi apa pun itu di dinding akun Facebooknya kepada Mark Zuckerberg. Akulah yang menyadarinya dan berusaha meraih nurani mereka, adakah mereka perduli? Musuh-musuh kita bahkan menguasai politik dan militer dunia, Kekasih, bahkan PBB turut bungkam ketika Israel melanggar banyak kesepakatan. Aku tidak takut pada ketidak-adilan PBB, karena aku punya Keadilan Tertinggi, lalu kenapa mereka mengingkari?
Mereka sibuk menaburkan warna-warni pada wajah, menjuntaikan kain indah di tubuh, lalu berghibah. Mereka melupakan naluri kita, Kekasih, bagaimana aku bertahan di tempat seperti ini? Dengarkanlah aku bahkan jika engkau tidak mendengarkan, aku akan bercerita kepadamu. Aku merindukanmu, mengagumi para ksatria pemberani, dan aku pun ingin memiliki hati seperti itu. Ketika terlalu banyak bagian yang mengaungkan modernisasi, maka aku layaknya bayi yang merengek atau si bisu yang berteriak. Aku gila. Tapi hati mereka mati. Setidaknya aku menemukan keamanan dan kenyamanan dalam kegilaanku.”
Perempuan itu menunduk, tersenyum anggun. Cahaya jingga membias dan merasuki wajahnya. Di bawah sana, orang-orang menyerunya, Hei, lihat! Si gila ingin mati.”

Catatan Pagi Hari

Warga langit nampaknya berpesta semalaman. Sisa-sisa arak menguap membentuk awan abu, dan nafas Malaikat Israfil mengalir lembut membelai wajah. Matahari kian menanjak, tapi dia enggan mengusik nyanyian alam. Betapa harmoni antara cicitan burung jantan yang mencoba mencuri perhatian si jelita yang tersipu, kemudian mengembangkan sayapnya; bagaimana capung-capung terbang rendah membasahi tubuhnya dengan bulir embun yang menempel pada ilalang, kemudian secara tiba-tiba terbang tinggi serentak, membentuk pusaran dengan pola tertentu sekedar mengeringkan tubuh; atau gerombolan semut hitam yang berbaris menyapa rerumputan.

Di sebelah utaraku, tumbuh rindang pepohonan jati membelah kabut. Rumah bagi para tupai yang gemar melompati dedahanan, surga bagi peri-peri kecil yang bersembunyi di balik seka jamur yang mengembang, atau sekedar tempat nyaman bagi mereka yang mencari ketenangan dari kesibukan duniawi. Tempat yang cukup banyak menyimpan rahasia.

Di sebelah selatanku, berdiri angkuh gedung putih sang saksi bisu rutinitas pesantren. Sekolah bagi para tolabul 'ilmi yang mencari kebenaran, atau sekedar mecari gelar.

Pagi ini tidak akan pernah sama lagi.

Angin, Dandelion, dan Mentari



Angin laut timur membelai hamparan padang sabana di sepanjang lekuk-lekuk tubuh Rinjani, menyapa si Putri Malu yang sedang lelap dalam tidurnya, barangkali Pangeran Embun lupa untuk membangunkannya dengan ciuman mesra. Angin pun tak enggan menarik selimut sang mentari untuk Surga yang Tersembunyi di bumi ini tetap menyenandungkan gemeretak gigi yang kedinginan.
Dandelion tumbuh di antara bebatuan dan semak, menjulang mimpi ke langit menghadap matahari, atau mungkin sedang berusaha mengintip Lalu Edelweis di puncak sana. Mereka tidak akan menyerah pada kehidupan hanya karena alasan “di atas apakah mereka tumbuh.” Mereka dapat mengutus semangatnya dalam pasukan akar yang akan memerangi keterbatasan. Mereka tidak akan melepas genggaman satu sama lain jika angin datang menggoyahkannya. Mungkin hanya mereka yang telah siap tuk terbang lebih jauh ke seberang sanalah yang akan melepas genggamannya pada tubuh dandelion.
Suatu kala sinar menerobos troposfer dan mematahkan tiang-tiang langit yang tersembunyi, menyelinap dalam Surga yang Tersembunyi di bumi, melantunkan melodi kematian pada tiap-tiap kehidupan. Padang Sabana pun menggelar selendang kuning kecoklatan di sepanjang tubuh Rinjani. Putri Malu, Pangeran Embun, Dandelion, dan Lalu Edelweis meratapinya dalam senandung kemarau panjang. Mereka sekarat dalam persaudaraan, satu-persatu dari mereka menyerah dan memilih meninggalkan kehidupan. Namun mereka yang bertahan adalah ksatria sejati.
Angin laut timur kembali menyapa Surga yang Tersembunyi, datang membawa kabar gembira sebelum datangnya rahmat dari Allah, membangunkan kehidupan dari mimpi buruk musim kemarau. Ia menyibak selendang kunig kecoklatan , mengundang orang-orang dari Kerajaan Awan, dan mengenalkan Surga  yang Tersembunyi kepada Hujan. Kehidupan Rinjani pun selamat dari sekarat.
Dandelion kini semakin tangguh berdiri di atas bumi. Angin dan mentari tidak lagi menjadi musuh bagi mereka, melainkan telah menjadi guru dalam kehidupan Surga yang Tersembunyi. Kini, waktulah yang kan membawa mereka terbang jauh membawa mimpi dan misi masing-masing.

Cinta Dua Dunia



Peperangan di Turki telah usai, namun arwah peperangan masih bersemayam di tiap lorong-lorong kumuh di antara pemukiman orang-orang. Jendela dan pintu tertutup rapat, mata-mata lelah waspada menyelinap di antara celah-celah jendela kayu, memperhatikan gerakan angin gersang yang menerbangkan belukar. Namun Allah tak pernah diam.. Dia mengutus Malaikat Israfil menghembuskan angin timur Samudra Hindia untuk mengusir momok yang menakutkan orang-orang Turki.

Angin timur Samudra Hindia membawa gumpalan awan hitam ke atas kepalaku. Di ujungnya terdapat bulan setengah purnama yang menggaris tepi lengkungan awan dengan cahaya kuning, membuatnya terlihat seperti peri cahaya yang terbang menaburkan serbuk-serbuk ajaibnya. Langit pun enggan menyembunyikan bintang-bintang di balik awan-awan musim hujan. Namun Hawa tidak dapat menyembunyikan kesedihannya, bahkan sang rembulan tidak dapat menghapus relung hitam di bawah mata Hawa.

Gambar oleh Aef Sandy

Di bawah sinar rembulan, Hawa melihat pantulan dirinya di atas aliran tenang sungai, kemudian memperhatikan lekat sosok di dalam lika-liku air yang bergelombang. Tatapannya mampu memekikkan hati siapa saja yang melihatnya. “Alma, aku tidak mengerti apakah kebijakan Allah telah cukup bijak untuk menjadikan kita dari dua zat-Nya yang berbeda. Aku adalah angin, berhembus  membawa kesejukan untuk tanah yang gersang.” Kemudian semilir bertiup melewati celah-celah rambutnya yang terjatuh, memabawanya meruntuhkan bendungan air di mata Hawa, sehingga setetes air-mata pun jatuh memercik di atas permukaan sungai..

Di dalam air, sebagaimana Hawa menghembuskan kesedihannya, Alma beriak memercikkan dirinya ke wajah Hawa untuk menghapus air-mata yang tersisa. Namun sebelum percikan itu kembali pada diri Alma, dia menguap kemudian terbang tertiup angin. “Hawa, kita tau kita tercipta dari dunia yang berbeda, kau adalah angin yang berhembus bebas di udara, dan aku adalah air yang mengalir indah. Tapi, Hawa, percayalah bahwa Allah lebih mengetahui segalanya..” Sungai harus selalu jernih, namun kesedihan Alma membuatnya menjadi air yang keruh. Kemudian gunung mengalirkan air segarnya ke hulu, mengantarkan Alma yang keruh kepada kehidupan yang selanjutnya. “Hawa, kesedihanku telah mengubahku menjadi air yang cukup keruh sebagai air sungai, arus akan membawaku ke laut, dan aku akan hidup sebagai air laut yang mengarungi dunia luar yang lebih luas. Berhembuslah sebagai angin, aku akan mengalir sebagai air..”

Hawa terisak, kemudian berhembuslah topan yang membawanya ke dalam beliung yang berputar hebat, memporak-porandakan kehidupan tentram di atas bumi. Saat badai telah usai dan matahari menyibak kabut gelap di langit, saat burung-burung kecil kembali berkicau di atas cabang pohon yang tumbang dan manusia kembali bangkit membangun kehidupan, Hawa telah menjelma angin dewasa yang kuat. Dia berhembus ke lautan lepas sebagai pembawa kesejukan. Ketika Hawa tiba di lautan, dia bertemu Alma dalam wujud partikel air yang harus diterbangkannya ke awan. “Alma, aku telah berhembus sebagai angin, dan aku pun tau kau selalu mengalir sebagai dirimu, namun aku tak pernah tau bahwa kita akan kembali bertemu bahkan untuk terbang bersama ke awan. Aku merindukanmu, Alma..”

“Aku pun merindukanmu, Hawa.. Kita mungkin menyesali perbedaan kita, atau berharap agar diciptakan dari satu zat yang sama, padahal kita tidak pernah mengerti yang terbaik untuk kita, kecuali Allah yang maha bijaksana.” Kemudian Hawa menerbangkan Alma ke awan, berhembus sebagai angin dan mengalir sebagai air untuk bersama-sama menjadi awan di Kerajaan Langit..



22 April 2014

Pembohong Pandai

Malaikat Israfil menghembuskan nafasnya perlahan, namun hembusan pelannya membuat gemuruh menakutkan bagi anak-anak sapi di persawahan, membelai daun-daun padi yang mulai menguning beterbangan ke langit, dan menampar daun-daun jendela berulang kali. Vallen mengangkat mukanya yang terbenam dari tekukan lututnya, melempar pandangannya jauh ke ladang dengan tatapan tajam, “Tidak semua angin selatan membawa panas terik, nyatanya angin ini membawa badai. Dan angin badai tidak hanya dating dari timur laut. Kitab itu berbohong.”

Kemudian terdengar nyanyian pujian dari aula mengalun tinggi ke atas langit. Sebagian orang berdiri di altar menyanyikan doa untuk Tuhan, seorang laki-laki botak berkacamata menggemakan dentingan melodi yang memenuhi ruangan aula. Sebagian besar duduk menikmati harmoni pertunjukan di depan mata mereka. Sebagian yang lain ikut menyanyikan doa tanpa suara. “Orang-orang itu merayakan penderitaan. Bahkan jika angin menerbangkan anak-anak sapi mereka ke langit, orang-orang itu akan bernyanyi lebih nyaring, kemudian lelaki botak itu akan menghentakkan jemarinya lebih keras seperti dirasuki arwah. Kitab tidak pernah merahmati kalian, dia membodohi kalian!”

Perjalanan Menuju Rumah Allah

Siang ini, langit menawan matahari di balik awan tebal kelabu untuk menemui anak-anak awan yang terlalu takut untuk turun ke bumi dan meninggalkan kerajaan langit. Matahari menghangatkan hati mereka dengan cinta dan kasih, serta menceritakan kebahagiaannya karena dapat memekarkan keindahan bumi; menyibaki kabut pegunungan, menghijaukan dedaunan cemara, atau sekedar memantulkan cahayanya di atas permukaan sungai-sungai kecil. Dan dengan hati yang berbinar, anak-anak awan melepaskan dirinya dari pelukan sang induk awan.

Gerimis mengangkat aroma tanah ke permukaan, menyingkirkan bau anyir yang memekakkan hidung siapa saja yang menemuinya. Vallen menyadari dirinyalah satu-satunya penyebab bau anyir ini. Darahnya sudah berhenti mengalir namun tetap basah karena keringat, tetap tercium kuat seperti pertama mengalir keluar dari perutnya. Dia kembali mencari jalan pulang; menemukan perbatasan, padang pasir, ladang jagung, dan hutan jati.

Di perbatasan, Vallen mengumpulkan sisa-sisa darahnya yang basah, mewadahinya dalam daun bakung, kemudian mengembalikannya ke dalam perutnya. "Tidak ada yang boleh mencium bau darahku selain diriku sendiri," ujarnya. Dia pun menemui padang pasir yang pasir-pasirnya dapat membuat bibirmu kering. Vallen merengkuh segenggam pasir dan membawanya menutupi luka di perutnya. "Pasir ini cukup panas untuk membakar kulitku dan menutup luka di perutku, dia akan menjadi daging yang baru sebagaimana Allah menjadikanku dari tanah." Kemudian dia mendapati sebuah pohon jagung kering, melucuti dedaunannya, dan melekatkannya pada luka di tubuhnya. "Daun-daun ini telah cukup kuat menampung sinar matahari selama masa hidupnya untuk kematangan sebuah jagung muda. Dia pun akan cukup kuat menyembunyikan lukaku sampai kepulihannya tiba." Vallen terus berjalan membelah ladang jagung, tangannya mencengkram lukanya, sementara matanya tajam ke depan. Dia pun sampai di hutan jati. Vallen memungut sebuah ranting kering dan mengikatannya di perutnya. "Jati ini terlalu kokoh untuk lebur bersama tanah. Dia masih kokoh untuk menahan lukaku agar tetap rapat. Vallen meneruskan langkahnya menuju pedesaan.

Allahu Akbar, maha besar Allah dengan segala rahasia-Nya. Waktu telah begitu lama memisahkannya dengan panggilan Allah, sudah terlalu banyak cerita dalam lembar hidupnya setelah terakhir kali dia menikmati gema adzan. Vallen terlalu lemah untuk melangkahkan kakinya beberapa puluh langkah, dia tersungkur ke tanah, dan mengerang pilu. Induk awan kembali menurunkan anak-anaknya ke bumi, kembali mengangkat aroma tanah ini, namun anyir tak tercium lagi. Dan bagai pemantik, Vallen bangkit menyeret kakinya mendekati rumah Allah; memanjakan matanya dengan panorama waduk, rerindangan, dan kicauan burung-burung kecil; membebaskan jiwanya dalam penggadaian dirinya dalam shalat. Dia dan satu shaf wanita renta yang mengabdikan sisa hidupnya untuk Allah yang maha bijaksana. Bahkan burung-burung kecil pun terbang berkicau riang di kubah baitullah.