Mungkin aku
munafik: mengagumi purnama sebagaimana Syi’ah mengagumi Ali, mengkafirkan yang
mendustakan Ali, atau menyatakan “Perangmu perangku, damaimu damaiku.”
Sementara orang-orang memandangku sebagai hamba Allah yang sangat mematuhi-Nya:
mengaburkan mata mereka dengan jatuhnya kerudungku dibawah dada, menundukkan
pandanganku daripada anak Adam, atau sekedar tidak lagi datang ke tempat para
ksatria berlatih. Barangkali karena parfumku? Tapi aku tidak memakai wewangian
sebagaimana kekasih-Nya menyunnahkanku. Atau mungkin karena suaraku? Bahkan
untuk mengatakan kaifa haluuk saja
jarang ada yang mendengar.
Aku muslim, Kasih,
bukan seorang Jawa atau Sunda, bukan Indonesia atau sebangsanya. Tapi untuk
menentang kaum politikus saja , aku enggan. Aku mengetahui bahwa Polisi
Domokrasi meracuni akal saudaraku yang lemah imannya dengan kekuatannya
menindas kami, sementara PBB hanya duduk menyilangkan kaki. Aku tahu bahwa
negara Paman Sam itu menyebut kami sebagai teroris karena kami menutup muka
kami dengan cadar. Aku tahu bahwa mereka menganggap agama kami sebagai agama
militer, sementara mereka yang menembaki penduduk negara Hijaz dianggap sebagai
ksatria pemberani. Aku tahu namun aku hanya diam.
Mengingkari dan
menghindari kedzaliman adalah selemah-lemahnya iman. Namun bukankah puncak
keimanan adalah saat kita tersungkur, bersujud, menghisbahkan diri pada Allah?
0 Komentar at “Kasidah Abdillah”
Posting Komentar