Sudah dua tahun
sejak mendung menarik bebijian tumbuh menjadi urat-urat paru bumi,
menghamparkan karpet hijau di sepanjang cakrawala sahara, membangun pilar-pilar
penopang langit. Sudah dua tahun sejak pamanku mengembalakan domba-dombanya di
atas rerumputan basah, dan hilir mudik menuntun mereka pulang saat air langit
mulai tumpah. Sudah dua tahun sejak rengekan pertama anak saudaraku memecah
ketegangan antara dua keluarga. Dua tahun lalu, saat tupai-tupai pulas dalam
istirahat panjangnya, waktu mencatat itu semua sebagai naskah mimpi-mimpi musim
kemarau.
Kini, mereka
telah bernafas di antara celah helai-helai kemarau, tubuhnya merenta merindukan
tumpahan hujan, dan sepertinya sang surya enggan tuk terbenam. Kini, tak ada
pohon tua yang dapat ditebang dan dibakar untuk mengundang hujan. Kini, kami
kekeringan, menderita, dan beramarah. Jika pun kami tidak menemukan pohon tua,
masih ada saudara-saudara kami di bumi yang dapat dibakar dan membawa hujan.
Tidak,
Saudaraku, jangan biarkan [enderitaan menguasai dirimu, karena kalian yang
menderita tidaklah kan menjadi kebaikan. Kalian yang membiarkan penderitaan
mengambil-alih an-nafs adalah pengejawantahan atas dosa Adam.
Bukankah dosanya dilahirkan oleh penderitaan Hawa sang kekasih?
0 Komentar at “Tahun-tahun Mimpi”
Posting Komentar