BAB
I
PENDAHULUAN
Kita
tahu bahwa kepercayaan atau agama yang diyakini oleh dunia pada era ini bukan
hanya terdiri atas kepercayaan warisan atau agama Ibrahim saja, melainkan
terdiri atas beraneka-ragam agama yang dilahirkan dari tradisi kebudayaan atau
hasil dari suatu pemikiran. Dalam Atlas
The World’s Religion (1999), disebutkan daftar pemeluk agama di dunia
meliputi: Christian, Islam, Hindu, Non-Religious, Budhist, Tribal Religion, Atheis,
New Religions, Sikh, Daoist, Jewish, Baha’i, Confucian, Jain, Shinto,
Zoroastrian. Dalam daftar penandatanganan naskah deklarasi bernama “Declaration Toward a Global Ethic”, pada
28 Agustus 1993 di Chicago, Amerika Serikat, tercatat sejumlah wakil-wakil dari
agama/kelompok, yaitu: Bahai, Brahmana Kumaris, Budhisme, Kristen, Agama-agama Asli, Hinduisme, Jainisme, Yudaisme, Islam, Neo-Pagan, Sikh, Taois,
Teosofis, Zoroasterian, dan sebagainya. Padahal kelompok-kelompok seperti:
Ateis, Neo-Pagan, Agama-agama Asli, dan New-Religions, tidak dapat sekaligus
dimasukkan ke dalam suatu daftar pemeluk agama, karena batasan antar-agama
tersebut akan terlihat sangat kabur. Bukankah setiap agama mempersepsikan
Tuhannya secara berbeda? [1]
Secara naluriah,
manusia memang membutuhkan sesuatu “Yang Tunggal” untuk diibadahi. Namun, Tuhan
tidak membiarkan manusia untuk menyembah apa saja sesuai keinginannya sendiri.
Lantas bagaimana dengan penduduk Mesir Kuno yang “mengibadahi” roh nenek moyang
atau mengklaim Fir’aun sebagai sesuatu yang Tunggal itu? Apa konsekuensi yang
mereka dapat dari Dia Yang Tunggal sesungguhnya?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kepercayaan Agama
Bangsa
Mesir Kuno memiliki beberapa kepercayaan atau agama, namun kepercayaan yang
paling utama adalah kepercayaan terhadap adanya kehidupan pasca kematian.
Mereka percaya bahwa roh akan terus hidup setelah jasad mati. Kepercayaan yang
menunjukkan adanya kesamaan pandangan dengan agama Monotheisme dan agama yang benar merupakan pengaruh dari
perintah-perintah suci yang telah mencapai peradaban ini. Namun, Fir’aun
(Pharaoh) menekan semua unsur yang bertentangan dengan pemerintahannya,
sehingga kepercayaan Monotheisme tadi berubah menjadi
kepercayaan Pholytheisme.[2]
1.
Periode
Kuno
Bangsa
Mesir Kuno beranggapan bahwa para roh nenek moyang, yang dianggap sebagai Dewa,
merupakan makhluk-makhluk yang lebih berkuasa dan mengatur aspek-aspek
kehidupan manusia. Dengan kata lain, bangsa Mesir Kuno menuhankan kepada para
Dewa, antara lain:
§
Ra
Ra—sering disebut sebagai Rah, tetapi lebih tepat sebagai RE—adalah dewa matahari, sehingga Ra digambarkan dengan matahari tengah hari. Ketika mencapai posisi penting dalam pemerintahan Mesir, dia dipercaya untuk memimpin langit, bumi, dan bawah tanah. Dia juga dikaitkan dengan elang, yaitu simbol dewa matahari lain yang melindungi Fir’aun.
Ra—sering disebut sebagai Rah, tetapi lebih tepat sebagai RE—adalah dewa matahari, sehingga Ra digambarkan dengan matahari tengah hari. Ketika mencapai posisi penting dalam pemerintahan Mesir, dia dipercaya untuk memimpin langit, bumi, dan bawah tanah. Dia juga dikaitkan dengan elang, yaitu simbol dewa matahari lain yang melindungi Fir’aun.
§
Osiris
Osiris digambarkan dengan menggunakan mahkota—yang mirip dengan mahkota putih dari Mesir—dan membawa cambuk yang diperkirakan untuk mengidentifikasi Osiris sebagai dewa gembala. Dia sering digambarkan dengan warna hijau (warna kelahiran kembali) atau hitam (simbol kesuburan dataran banjir Sungai Nil).
Osiris digambarkan dengan menggunakan mahkota—yang mirip dengan mahkota putih dari Mesir—dan membawa cambuk yang diperkirakan untuk mengidentifikasi Osiris sebagai dewa gembala. Dia sering digambarkan dengan warna hijau (warna kelahiran kembali) atau hitam (simbol kesuburan dataran banjir Sungai Nil).
§
Amon
Amon adalah seorang dewa pencipta. Dia menjadi fokus yang paling rumit di Mesir Kuno. Amon diciptakan tanpa ibu dan ayah, dan selama Kerajaan Baru, dia menjadi ekspresi terbesar dalam teologi dewa di Mesir. Tugasnya adalah sebagai Raja dewa.
Amon adalah seorang dewa pencipta. Dia menjadi fokus yang paling rumit di Mesir Kuno. Amon diciptakan tanpa ibu dan ayah, dan selama Kerajaan Baru, dia menjadi ekspresi terbesar dalam teologi dewa di Mesir. Tugasnya adalah sebagai Raja dewa.
§
Isis
Isis adalah dewi ibu dan kesuburan. Dia dipuja sebagai ibu yang ideal, istri, pelindung alam dan ahli sihir. Dia adalah teman budak, orang-orang berdosa, pengrajin, dan kaum tertindas; mendengarkan do’a orang-orang kaya, gadis, bangsawan dan penguasa.
Isis adalah dewi ibu dan kesuburan. Dia dipuja sebagai ibu yang ideal, istri, pelindung alam dan ahli sihir. Dia adalah teman budak, orang-orang berdosa, pengrajin, dan kaum tertindas; mendengarkan do’a orang-orang kaya, gadis, bangsawan dan penguasa.
§
Hathor
Hathor adalah seorang dewi yang digambarkan dengan feminin cinta, keibuan dan sukacita. Dalam kuburan, dia digambarkan sebagai “Penunjuk Barat”, yaitu yang menyambut orang mati ke kehidupan selanjutnya. Dia juga dikenal sebagai seorang dewi musik, tari, dan kesuburan—yang membantu perempuan dalam proses melahirkan.
Hathor adalah seorang dewi yang digambarkan dengan feminin cinta, keibuan dan sukacita. Dalam kuburan, dia digambarkan sebagai “Penunjuk Barat”, yaitu yang menyambut orang mati ke kehidupan selanjutnya. Dia juga dikenal sebagai seorang dewi musik, tari, dan kesuburan—yang membantu perempuan dalam proses melahirkan.
§
Horus
Horus adalah salah satu dewa yang paling tua dan paling penting. Bentuk paling awal Horus adalah Falcon yang merupakan dewa pelindung Nekhen di Mesir.
Horus adalah salah satu dewa yang paling tua dan paling penting. Bentuk paling awal Horus adalah Falcon yang merupakan dewa pelindung Nekhen di Mesir.
§
Maat
Maat adalah dewi Mesir Kuno dengan konsep kebenaran, keseimbangan, keteraturan, hukum, moralitas dan keadilan. Dewi Maat juga dianggap sebagai dewi yang mengatur bintang–bintang, musim, tindakan baik manusia dan dewa, serta mengatur alam semesta dari kekacauan. Peran utamanya adalah menimbang berat jantung dengan sehelai bulu kejujuran, dan jumlah bulu tersebut menentukan keselamatan sang pemilik jiwa. Bagi mereka yang timbangan bulunya lebih berat akan hidup dalam kebahagiaan, dan bagi mereka yang timbangan jiwanya lebih berat akan mendapatkan siksaan yang berat. Disana mereka disiksa dalam keabadian oleh sebuah makhluk aneh yang disebut dengan "Pemakan Kematian".
Maat adalah dewi Mesir Kuno dengan konsep kebenaran, keseimbangan, keteraturan, hukum, moralitas dan keadilan. Dewi Maat juga dianggap sebagai dewi yang mengatur bintang–bintang, musim, tindakan baik manusia dan dewa, serta mengatur alam semesta dari kekacauan. Peran utamanya adalah menimbang berat jantung dengan sehelai bulu kejujuran, dan jumlah bulu tersebut menentukan keselamatan sang pemilik jiwa. Bagi mereka yang timbangan bulunya lebih berat akan hidup dalam kebahagiaan, dan bagi mereka yang timbangan jiwanya lebih berat akan mendapatkan siksaan yang berat. Disana mereka disiksa dalam keabadian oleh sebuah makhluk aneh yang disebut dengan "Pemakan Kematian".
§
Nephthys
Dengan nama Mesir Kuno “Lady of the House”, bukan berarti Nephthys digambarkan sebagai ibu rumah tangga. Sebaliknya, namanya berarti sangat khusus, Lady of the Temple
Dengan nama Mesir Kuno “Lady of the House”, bukan berarti Nephthys digambarkan sebagai ibu rumah tangga. Sebaliknya, namanya berarti sangat khusus, Lady of the Temple
§
Anubis
Anubis adalah dewa untuk melindungi dari kematian dan membawa mereka ke alam baka. Dia biasanya digambarkan sebagai manusia setengah serigala, atau dalam bentuk serigala lengkap mengenakan pita dan memegang cambuk di lekuk lengannya.
Anubis adalah dewa untuk melindungi dari kematian dan membawa mereka ke alam baka. Dia biasanya digambarkan sebagai manusia setengah serigala, atau dalam bentuk serigala lengkap mengenakan pita dan memegang cambuk di lekuk lengannya.
§
Sobek
Di Mesir Kuno, dewa sobek digambarkan sebagai buaya lengkap, atau sebagai manusia berkepala buaya. Dia juga digambarkan bersama salibnya--menggambarkan kemampuannya untuk membatalkan kejahatan dan menyembuhkan penyakit—dan juga digambarkan dengan cakram matahari di atas kepalanya, sebagai Ra sang dewa matahari.
Di Mesir Kuno, dewa sobek digambarkan sebagai buaya lengkap, atau sebagai manusia berkepala buaya. Dia juga digambarkan bersama salibnya--menggambarkan kemampuannya untuk membatalkan kejahatan dan menyembuhkan penyakit—dan juga digambarkan dengan cakram matahari di atas kepalanya, sebagai Ra sang dewa matahari.
§
Thoth
Thoth dianggap sebagai salah satu dewa yang lebih penting dari dewa Mesir. Sering digambarkan dengan kepala dari suatu Ibis. Kepalanya berada di Khemennu—tempat suci, dimana dia memimpin masyarakat setempat, kemudian orang-orang Yunani menggantinya menjadi Hermopolis.
Thoth dianggap sebagai salah satu dewa yang lebih penting dari dewa Mesir. Sering digambarkan dengan kepala dari suatu Ibis. Kepalanya berada di Khemennu—tempat suci, dimana dia memimpin masyarakat setempat, kemudian orang-orang Yunani menggantinya menjadi Hermopolis.
§
Sekhmet
Sekhmet digambarkan sebagai singa betina, pemburu paling sengit yang dikenal oleh Mesir. Dia diidentifikasi sebagai pelindung dari Fir’aun dan memimpin mereka dalam peperangan. Sekhmet kemudian dianggap sebagai ibu Maahes, seorang dewa yang muncul selama Kerajaan Baru.
Sekhmet digambarkan sebagai singa betina, pemburu paling sengit yang dikenal oleh Mesir. Dia diidentifikasi sebagai pelindung dari Fir’aun dan memimpin mereka dalam peperangan. Sekhmet kemudian dianggap sebagai ibu Maahes, seorang dewa yang muncul selama Kerajaan Baru.
§
Khnum
Khnum adalah salah satu dewa Mesir yang paling awal. Dia dianggap sebagai pencipta tubuh anak-anak manusia, yang dilakukan di roda tembikar, dari tanah liat, dan ditempatkan pada ibu mereka (rahim).[3]
Khnum adalah salah satu dewa Mesir yang paling awal. Dia dianggap sebagai pencipta tubuh anak-anak manusia, yang dilakukan di roda tembikar, dari tanah liat, dan ditempatkan pada ibu mereka (rahim).[3]
Selain menuhankan pada
dewa, bangsa Mesir Kuno juga menuhankan Fir’aun, karena menurut agama resmi
negara, Fir'aun (Pharaoh) adalah mahkluk suci. Dia adalah perwujudan dari
tuhan-tuhan mereka yang diutus ke dunia untuk menerapkan keadilan dan
melindungi mereka di dunia.[4]
Ketergantungan bangsa Mesir terhadap
lingkungan sekitar, melindungi mereka dari pengaruh negatif dunia luar yang
mungkin masuk ke tengah-tengah peradaban mereka. Akan tetapi, sifat fanatik
yang berlebih atas kepercayaan leluhur membelenggu pemikiran mereka terhadap perkembangan
hal baru, sehingga mengolotkan mereka terhadap agamanya.
2.
Kerajaan Pertengahan
Berbeda dengan kepercayaan Kerajaan Lama
terhadap dewa-dewa, Kerajaan Pertengahan mengalami peningkatan keagamaan.
Selain itu, muncul sesuatu yang dapat dikatakan sebagai demokratisasi setelah
akhirat, yaitu setiap orang yang memiliki arwah dapat diterima oleh dewa-dewa
di akhirat.[5]
3.
Kerajaan Baru
Memasuki masa Kerajaan
Baru, kejayaan Mesir Kuno mulai mengalami kemunduran yang ditandai dengan
penaklukan Mesir Ptolemeus oleh Romawi—yang kemudian dijadikan sebagai bagian
dari privinsi Romawi—sehingga menimbulkan perubahan bertahap terhadap agama dan
politik di sekitar daerah Sungai Nil yang menjadi sumber kehidupan bangsa
Mesir. Untuk mendapat pengakuan dari penduduk asli Mesir, orang-orang Yunani
yang berhasil menaklukkan Mesir Ptolemeus dan memimpin kerajaan ini mengaku
sebagai penerus Fir’aun. Hal ini berdampak pada pemerintahan Fir’aun
selanjutnya, yaitu setelah masa Kerajaan Baru, peran Fir’aun sebagai perantara
dengan tuhan mulai berkurang seiring dengan munculnya kebiasaan untuk memuja tuhan
tanpa perantara. Di sisi lain, para imam mengembangkan sistem ramalan (oracle)
untuk menghubungkan langsung keinginan dewa kepada masyarakat.[6]
Dalam sejarah Mesir, terdapat
seorang Fir'aun yang sangat berbeda
dengan Fir’aun-fir’aun yang
lain. Fir'aun ini menganut
kepercayaan Monotheisme, yaitu memuja dewa matahari Aten sebagai
dewa tertinggi dan menekan pemujaan terhadap pemujaan kepada dewa-dewa lain,
sehingga mendapat
perlawanan yang sangat keras
dari para pendeta Amon dan
akhirnya Fir'aun itu terbunuh. Dia
adalah Amenhotep IV yang mulai berkuasa di abad XIV SM. Setelah kematian Amenhotep
IV, Amenhotep IV muda meneruskan
usaha ayahnya, yaitu untuk membangun suatu agama yang berdasarkan paham Monotheisme, dengan mencoba untuk melakukan perubahan-perubahan
besar dalam berbagai bidang.
Namun para pemimpin setempat
tidak mengijinkannya untuk menyampaikan
pesan dari agama itu, sehingga Amenhotep IV dan para pengikutnya berpindah dari kota Thebes dan bermukim di
Tell-El-Amarna. Mereka
membangun sebuah kota modern
yang dinamakan seperti nama baru
Amenhotep IV muda, yaitu "Akh-Et-Aten" yang berarti
"Tunduk kepada sang Aten, yang
merupakan sebutan lainnya untuk Allah. Akhenaten tidak memperdulikan masalah
luar negeri dan terlalu asyik dengan ajaran religius dan artistiknya yang baru.
Setelah kematiannya, ajaran Aten ditinggalkan, dan Fir’aun-fir’aun selanjutnya—yaitu
Tutankhamun, Ay,
dan Horemheb—menghapus semua hal mengenai bidaah Akhenaten.[7]
Merasa
terganggu dengan perkembangan ini, maka para pendeta Amon ingin menghancurkan kekuatan Akhenaten
dengan menciptakan krisis ekonomi
di negaranya. Dan pada akhirnya, Akhenaten
terbunuh dengan cara diracun oleh para komplotan yang ingin menghancurkannya.
Para Fir'aun berikutnya merasa khawatir
akan mengalami hal yang sama,
sehingga mereka terbawa pengaruh
ajaran para pendeta
tersebut.[8]
Setelah Akhenaten, muncullah Raja Ramses II dengan kekuatan militer yang membawa Pholytheisme kembali berkembang luas. Menurut banyak ahli sejarah, Raja Ramses II adalah Fir'aun yang
menyiksa Bani Israel dan berperang terhadap Musa.[9] Riwayat lain mengatakan bahwa Fir’aun
yang memelihara Musa adalah Raja Ramses I.[10]
4.
Periode Akhir (Dinasti
Ptolemeus)
Budaya Yunani
tidak menggantikan budaya asli Mesir. Penguasa dinasti Ptolemeus mendukung
tradisi lokal untuk menjaga kesetiaan rakyat. Mereka membangun kuil-kuil baru
dalam gaya Mesir, mendukung kultus tradisional, dan menggambarkan diri mereka
sebagai Fir’aun. Beberapa tradisi akhirnya bergabung. Dewa-dewa Yunani dan
Mesir disinkretkan
sebagai dewa gabungan (contoh: Serapis). Bentuk skulptur Yunani Kuno
juga memengaruhi motif-motif tradisional Mesir. Meskipun telah terus berusaha
memenuhi tuntutan warga, dinasti Ptolemeus tetap menghadapi berbagai tantangan—seperti
pemberontakan, persaingan antar keluarga dan massa di Iskandariyah yang
terbentuk setelah kematian Ptolemeus IV. Lebih lagi, bangsa Romawi
memerlukan gandum dari Mesir, dan mereka tertarik akan situasi politik di
negeri Mesir. Pemberontakan yang terus berlanjut, politikus yang ambisius,
serta musuh yang kuat di Suriah membuat kondisi menjadi tidak stabil, sehingga
bangsa Romawi mengirim tentaranya untuk mengamankan Mesir sebagai bagian dari
kekaisarannya.[11]
Pada pertengahan abad pertama, Kekristenan mulai mengakar di Iskandariyah. Agama tersebut dipandang sebagai kultus
lain yang akan diterima. Akan tetapi, Kekristenan pada akhirnya dianggap
sebagai agama yang ingin menggantikan paganisme dan mengancam
tradisi agama lokal, sehingga muncul penyerangan terhadap orang-orang Kristen.
Penyerangan terhadap orang Kristen memuncak pada masa pembersihan Diokletianus yang dimulai tahun 303. Akan tetapi, Kristen berhasil menang. Pada tahun
391, kaisar Kristen Theodosius memperkenalkan undang-undang yang
melarang ritus-ritus pagan dan menutup kuil-kuil. Iskandariyah menjadi latar
kerusuhan anti-pagan yang besar. Akibatnya, budaya pagan Mesir terus mengalami
kejatuhan. Meskipun penduduk asli masih mampu menuturkan bahasa mereka, kemampuan untuk membaca hieroglif terus berkurang karena melemahnya peran pendeta kuil Mesir. Sementara itu,
kuil-kuil dialihfungsikan menjadi gereja, atau ditinggalkan begitu saja.[12]
BAB III
PENUTUP
Mesir kuno menganut Pholytheisme selama Kerajaan Lama, Kerajaan Pertengahan, hingga
Kerajaan Baru. Ini artinya mereka meyakini banyak dewa, beberapa di antaranya
adalah Ra dan Horus. Mereka meyakini bahwa seluruh Mesir dimiliki oleh para
dewa dan bahwa Fir’aun merupakan utusan dewa di dunia atau bahkan merupakan
perwujudan dewa itu sendiri, sehingga segala yang ada di Mesir merupakan milik
Fir’aun.
Selain
dewa-dewa tersebut di atas, ada pula dewa-dewa yang
dipuja pada daerah-daerah tertentu seperti dewa osiris (hakim alam baka), dewi isiI (dewi kecantikan, istri Osiris), dewa aris (dewa kesuburan) dan dewa Anubis (dewa kematian).
Wujud kepercayaan
yang berkembang di Mesir berdasarkan pada pemahaman seperti:
1.
Penyembahan terhadap dewa berangkat dari ide/gagasan bahwa manusia
tidak berdaya dalam menaklukkan alam.
2.
Yang disembah adalah dewa/dewi yang menakutkan seperti dewa Anubis
atau yang memberi sumber kehidupan.
Jadi dengan taat menyembah pada dewa,
masyarakat lembah sungai Nil mengharap tidak menjadi sasaran
maut. Kepercayaan
yang kedua berkaitan dengan pengawetan jenazah yang disebut mummi. Alasan pembuatan mummi adalah bahwa manusia tidak dapat menghindari kehendak dewa
maut. Jika manusia ingin
tetap hidup abadi, maka jasad
sebagai lambang roh harus tetap utuh.
Mereka percaya bahwa jiwa orang yang telah
meninggal akan ditimbang dengan sehelai bulu kejujuran. Jika jiwanya lebih
berat, orang tersebut lebih banyak melakukan perbuatan jahat semasa hidupnya
dan arwah orang itu akan dihukum. Orang Mesir percaya bahwa arwah manusia setelah
meninggal akan pergi ke dunia yang baru, yang mirip dengan dunia saat ini, sehingga
makam orang-orang Mesir disediakan berbagai benda yang diperkirakan akan diperlukan
di alam lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manaf, Mudjahid. Sejarah Agama-agama. 1996. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Husaini,
Adian. Tinjauan Historis Konflik Yahudi
Kristen Islam. 2004. Jakarta: Gema Insani.
http://gtheynova.wordpress.com/2012/06/26/agama-mesir-kuno-ilmu-perbandingan-agama/.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Baru.
http://www.bangsamusnah.com/sugomulfiravun.html.
[1] Adian Husaini, Tinjauan Historis
Konflik Yahudi Kristen Islam, (Penerbit Gema Insani, Jakarta, 2004), hlm.
10.
[2] http://www.bangsamusnah.com/sugomulfiravun.html
[4] http://www.bangsamusnah.com/sugomulfiravun.html
[10] Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah
Agama-agama, (Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996), hlm. 48.
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Baru
[12] Ibid
0 Komentar at “Agama Mesir Kuno”
Posting Komentar