Senandung Rahasia Hati



Di sebuah loteng bangunan tertinggi di dataran selatan, di bawah naungan langit biru, seorang perempuan duduk menghadap hamparan hutan di hadapannya. Ia menyerahkan wajahnya pada belaian hangat matahari. Tak seberapa lama, matanya pun meleleh dan nafasnya mulai tersenggal. Setelah nafasnya dapat ia kuasai, ia menundukkan kepalanya, merasakan kehangatan yang ada di wajahnya. Berharap matahari dapat menguapkan nya seperti air yang mendidih.
Matahari semakin meninggi menculik bayangan dari pemiliknya. Sang perempuan menumpukan badannya di atas kedua sikunya, kemudian membawa pandangannya jauh menelusuri hutan. Mencari kedamaian dari harmoni alam liar dengan makhluk-makhluk bersayap di dalamnya, lantas membandingkan dengan kehidupan yang ia miliki. Ia mengerutkan kening, mencoba mengelak sesuatu, bergumam, “Muhammad..”
“Wahai Kekasih, kenapa Allah sangat cepat memanggilmu? Kami masih sangat takut menghadapi dunia sendiri. Orang-orang terdekatmu dulu masih mewarisi cinta tulus Sang Raja dan keberanianmu, menaklukkan Andalusia dan sebagian besar daratan Eropa. Mereka masih memiliki jiwa-jiwa ksatria dalam hati yang membuatnya siaga di setiap perbatasan siang malam, mencegah para musuh menyerang bahkan untuk sekedar mengintai.
Aku mengagumi mereka sebagaimana aku merindukanmu, Kekasih. Aku merindukan sisa-sisa gema kebesaran kalian yang kini sayup teredam modernisasi. Adakah kalian mendengarnya? Adakah kalian merindukannya? Atau, haruskan kita ke Andalusia, mencari sisa-sisa gema itu bersama? Akulah yang masih mendengarnya, Kekasih, namun mereka semua tidak perduli. Akulah yang ingin kembali mengaungkannya di bumi ini dengan harapanku, namun mereka telah cukup bahagia dengan modernisasi. Aku tidak menyalahkanmu, Kekasih, aku menyalahkan manusia-manusia berakal yang hanyut dalam cawan kenikmatan dunia dan terlalu menakuti kematian.
Musuh-musuh kita sekarang sama saja dengan musuh-musuh kalian dulu. Namun umatmu kini adalah buih! Begitu mudahnya buih diterbangkan hingga akhirnya dihempaskan dan pecah terberai. Beginilah umatmu sekarang, Kekasih. Musuh-musuh kita sekarang menguasai perekonomian dunia, membuat kami terpaksa membantu modal mereka secara tidak langsung dalam menyerang saudara kita sendiri di Palestina. Adakah kalian menyadari? Musuh-musuh kita pun dapat dengan mudah memata-matai kita siang malam. Umatmu kini begiyu mudahnya menyerahkan informasi apa pun itu di dinding akun Facebooknya kepada Mark Zuckerberg. Akulah yang menyadarinya dan berusaha meraih nurani mereka, adakah mereka perduli? Musuh-musuh kita bahkan menguasai politik dan militer dunia, Kekasih, bahkan PBB turut bungkam ketika Israel melanggar banyak kesepakatan. Aku tidak takut pada ketidak-adilan PBB, karena aku punya Keadilan Tertinggi, lalu kenapa mereka mengingkari?
Mereka sibuk menaburkan warna-warni pada wajah, menjuntaikan kain indah di tubuh, lalu berghibah. Mereka melupakan naluri kita, Kekasih, bagaimana aku bertahan di tempat seperti ini? Dengarkanlah aku bahkan jika engkau tidak mendengarkan, aku akan bercerita kepadamu. Aku merindukanmu, mengagumi para ksatria pemberani, dan aku pun ingin memiliki hati seperti itu. Ketika terlalu banyak bagian yang mengaungkan modernisasi, maka aku layaknya bayi yang merengek atau si bisu yang berteriak. Aku gila. Tapi hati mereka mati. Setidaknya aku menemukan keamanan dan kenyamanan dalam kegilaanku.”
Perempuan itu menunduk, tersenyum anggun. Cahaya jingga membias dan merasuki wajahnya. Di bawah sana, orang-orang menyerunya, Hei, lihat! Si gila ingin mati.”

0 Komentar at “Senandung Rahasia Hati”

Posting Komentar