Manusia Setengah Dewa



Di suatu desa yang hangat, matahari, awan, angin, pohon, binatang, dan manusia hidup berdampingan dengan harmonis. Sinar matahari selalu terasa hangat bagi penghuni desa. Jika matahari terlalu bersemangat, maka awan akan berpencar menutupi desa, dan angin akan berhembus mendinginkan suhu. Jika angin terlalu lama datang, maka matahari akan datang lebih awal untuk membantu pohon mengeluarkan lebih banyak oksigen, sehingga meskipun tidak ada angin, suhu tetap terasa nyaman.
Manusia pun seperti itu. Mereka hidup berdampingan dengan harmonis. Si Bijak selalu menjadi pihak netral yang menyeimbangkan beragam sifat. Jika manusia menjadi terlalu beramarah, Si Bijak akan naik ke atas mimbar dan meredamnya. Jika manusia menjadi terlalu pesimis, Si Bijak kembali naik ke atas mimbar dan mengatakan sesuatu yang aneh. Dia membangkitkan jiwa-jiwa pemberontak yang bersemangat, sehingga manusia kembali optimis. Dan ketika Si Bijak menjadi terlalu lelah, manusia-manusia, baik dan jahat datang bergilir untuk menghibur.
Di desa itu, ada seorang manusia setengah dewa. Dia tidak pernah menganggap keharmonisan dalam desa itu adalah benar. Ketika manusia sedang bersemangat dan meledak-ledak, dia menganggapnya ketidakteraturan yang tidak seharusnya terjadi. Manusia harus selalu teratur seperti garis lurus. Dan ketika manusia sedang terlalu lelah untuk bersemangat, dia menjadi sinis dan meremehkan manusia. Mengapa manusia tidak bisa selalu bersinar seperti dewa? Mengapa manusia tidak bisa selalu mengikuti aturan dewa? Mengapa manusia tidak seperti dewa? Manusia setengah dewa itu pun meninggalkan desa tersebut.
Manusia itu sampai di suatu desa berwarna biru. Manusia selalu meledak-ledak dan tidak ada Si Bijak. Manusia itu bahagia karena dia dapat menjadi Si Bijak yang berbeda dari Si Bijak di desa sebelumnya, Si Bijak yang mendewa. Manusia setengah dewa memperhatikan kehidupan dalam Desa Biru, mencari celah yang dapat dia masuki, dan menjadi Si Bijak. Manusia-manusia menatapnya. Manusia setengah dewa menunggu, tersenyum, dan bahagia. Dia telah menjadi Si Bijak yang mendewa, pikirnya.
Suatu hari, manusia-manusia Desa Biru lelah menjadi dewa. Manusia-manusia Desa Biru kembali meledak-ledak dan tidak mendengarkan Si Bijak. Si Bijak terasing. Mengapa manusia tidak bisa selalu bersinar seperti dewa? Mengapa manusia tidak bisa selalu mengikuti aturan dewa? Mengapa manusia tidak seperti dewa?

0 Komentar at “Manusia Setengah Dewa”

Posting Komentar