Pancasila Sebagai Penafsir Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Seiring dengan pergantian zaman, penafsiran Pancasila semakin dijauhkan dari apa yang diharapkan oleh perumus Pancasila 1945. Perumus pertama Pancasila memutuskan untuk menjamin hak-hak umat beragama di Indonesia yang dirumuskan dalam sila pertama, yaitu “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Berawal dari ini, beberapa kalangan tertentu menganggap bahwa sila tersebut mengintimidasi umat non-Islam. Padahal, tanpa Pancasila pun umat Islam tetap dapat menjalankan perintah agamanya. Akhirnya, demi mempertahankan persatuan suku-bangsa Indonesia, perumus pertama Pancasila bersedia untuk mengganti sila tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tafsir Pancasila semakin dijauhkan di masa Orde Lama, dimana Pancasila dianggap mengakomodir komunisme. Selain itu, entah memang karena trauma terhadap sila pertama atau karena misi umat Kristen, setiap upaya penerapan ajaran Islam di Indonesia dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Islam semakin dijauhkan dari umat Islam dan Pancasila semakin disekularkan dari Indonesia.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin merumuskan beberapa masalah yang akan penulis bahas dalam makalah ini, yaitu:
1.    Sejarah Pancasila
2.    Pancasila sebagai Dasar Negara
3.    Tafsir Pancasila

C.  Tujuan Masalah
Dengan merumuskan masalah-masalah tersebut, penulis berharap agar pembaca dapat memiliki wawasan tentang:
1.    Sejarah Pancasila
2.    Pancasila sebagai Dasar Negara
3.    Tafsir Pancasila


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sejarah Pancasila
Setelah keputusannya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia yang diumunkan pada bulan September 1944, Jepang memberikan janji keduanya pada tanggal 29 April 1945. Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia, sebagai realisasi dari janji tersebut, maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tjoskai.[1]
Dalam dua kali sidang, anggota BPUPKI menghasilkan pikiran berupa Dasar Negara dan Rancangan Undang-undang Dasar. Sidang pertama berlangsung mulai tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Yang mengusulkan Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia pada sidang tersebut berturut-turut adalah Muhammad Yamin, Dr. Soepomo dan Soekarno. Soekarno menambahkan bahwa ke lima Dasar Negara rumusannya sebagai Panca Sila.[2]
Muhammad Yamin
Dr. Soepomo
Soekarno
Peri Kebangsaan
Persatuan Negara, Negara Serikat, Persekutuan Negara
Kebangsaan
Peri Kemanusian
Hubungan antara Negara dan Agama
Kemanusiaan
Peri Ketuhanan
Republik
Mufakat atau demokrasi
Peri Kerakyatan
(Permusyawaratan, Perwakilan, Kebijaksanaan)

Kesejahteraan sosial
Kesejahteraan Rakyat
(Keadilan Sosial)

Ketuhanan

Di tengah proses perumusan yang dilakukan oleh BPUPKI yang belum mencapai kesepakatan, 38 anggota BPUPKI melanjutkan sidang ke-dua dan membentuk panitia kecil. Panitia kecil ini terdiri dari sembilan orang, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrodoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muh. Yamin. Merekalah yang akhirnya berhasil menyusun Dasar Negara yang mereka tanda tangani pada tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta, yaitu: 1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Chapter.[3] Namun, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang pertama PPKI, sila pertama tersebut diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]
1.    Orde Lama
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1945, negara Indonesia kembali berdasarkan pada UUD 1945. Masa inilah yang disebut sebagai masa Orde Lama.
Meski telah kembali pada UUD 1945, namun sistem pemerintahan yang dijalankan tidak sesuai dengan UUD 1945 itu sendiri. Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin yang penerapannya terpusat pada dirinya sendiri, sehingga Demokrasi Terpimpin menjadi sistem kepemimpinan yang otoriter.[5] Upayanya untuk menyatukan perbedaan ideologi dengan mengemukakan ajaran Nasakom tidak pernah terwujud secara sinergis, malah dimanfaatkan oleh PKI untuk mendominasi RI. Hal inilah yang memicu lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA) salah satu jiwanya adalah anti-zionisme.[6]
Masa Orde Lama berakhir dengan adanya pemberontakan G 30 S/PKI. Rakyat menuntut perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan negara. Kemudian lahirlah Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu: bubarkan PKI, bersihkan kabinet dari unsur PKI,d an turunkan harga-harga. Dalam keadaan kacau itu, Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret kepada Letjen Soeharto. Dan dengan dasar Surat Perintah itu, Letjen Soeharto mengeluarkan surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 pada tanggal 12 Maret yang ditandatanganinya. Isi Kepres ini adalah pembubaran PKI di seluruh wilayah Indonesia yang berlaku sejak tanggal keluarnya surat tersebut.[7]

2.    Orde Baru
Setelah Orde Lama runtuh, pemerintahan baru terbentuk yang diberi nama Orde Baru. Orde Baru berusaha mengoreksi kesalahan Demokrasi Terpimpin. Rezim ini berpendirian bahwa pangkal masalah kekacauan selama Demokrasi Terpimpin adalah penyelewengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga pembangunan ekonomi terabaikan dan kehidupan politik ketatanegaraan terbengkalai.[8] Tekad Orde Baru adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Untuk mewujudkan tekad itu, sidang MPRS tahun 1966 mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang merupakan koreksi terhadap pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 dalam periode 1959-1965 yang dipimpin oleh Presiden Soekarno.[9]
Orde Baru menarik kesimpulan bahwa pertikaian antara kaum komunis di pihak kiri dan kaum Islamis di pihak kanan dalam spektrum politik akan membelokkan rakyat Indonesia dari persatuan yang dibutuhkan kalau mau meraih kemajuan (modernitas). Untuk meredakan konflik ideologis ini, maka Orde Baru membangun konsep baru tentang demokraasi yang diberi nama Demokrasi Pancasila, yang sebenarnya bersifat otoriter.[10] Lembaga-lembaga politik harus diisi orang-orang yang steril dan tidak pretensi menafsirkan Pancasila dan UUD 1945 secara bebas. Mereka yang ditengarai hendak menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 adalah sisa-sisa Orde Lama dan kekuatan Islam Politik. Demi menjaga kemurnian Pancasila dan UUD 1945, partisipasi politik kemudian dibatasi.[11] Sementara di pihak lain, pemerintah dan penguasa menjalin kerja sama yang menguntungkan sacara pribadi dan keluarga pejabat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seolah menjadi budaya yang wajar-wajar saja.[12]
Krisis moneter 1997 telah membawa krisis-krisis lain yang akhirnya membawa pada krisis kepercayaan dan krisis politik. Rakyat yang dipelopori oleh mahasiswa mengehndaki Soeharto turun dan gaung reformasi bergema di mana-mana untuk perbaikan kehidupan kenegaraan Indonesia.  Setelah demonstrasi di mana-mana, ultimatum MPR dan pengunduran diri empat belas menteri-menterinya, Soeharto menyatakan berhenti menjadi presiden pada hari Kamis, 21 Mei 1998.[13]


3.    Masa Reformasi
Menurut As’ad Said Ali, Masa Reformasi boleh dikatakan sebagai perayaan terhadap kebebasan politik. Lembaga-lembaga politik dan berbagai aturan perundangan warisan rezim sebelumnya mulai ditata ulang secara mendasar. Bahkan UUD 1945 nyaris diamandemen secara keseluruhan, sambil menjumput ide dari berbagai negara yang dianggap sukses menjalankan demokrasi. Instrumen untuk mewujudkan kedaulatan rakyat mengalami perbaikan cukup mendasar. Pemilu dapat dilaksanakan secara bebas, jujur, adil, dan transparan. Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat dan partai politik bebas menyuarakan anspirasi masing-masing.[14] Jika Orde Baru menabukan perubahan UUD 1945, sebaliknya masa Reformasi memandang sangat perlu perubahan UUD 1945 untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara.[15]
Namun, liberalisasi politik semasa Reformasi berjalan miskin kualitas. Hal tersebut ditandai oleh instrumen demokrasi yang mengalami defisit besar, pemilu yang kurang mengartikulasi pandangan dan kepentingan pokok masyarakat, serta munculnya elite yang mendominasi. Kecenderungan ini akan mengurangi kepercayaan rakyat yang sangat besar terhadap demokrasi. Bila itu terjadi, sejarah tahun 1959 mungkin akan terulang. Banyak contoh memperlihatkan bahwa negara yang baru memulai proses demokrasi seringkali harus kembali menjadi negara yang otoriter hanya karena tidak mampu mengelola dinamka demokrasi dengan baik.[16]

B.  Pancasila sebagai Dasar Negara
Secara formal, Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Walaupun demikian, secara material nilai-nilai Pancasila ada dan telah berkembang dalam cara hidup rakyat Indonesia jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.[17]
Dalam kehidupan bangsa, dikenal berbagai sebutan bagi Pancasila. Salah satunya adalah Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini tertera pada alinea ke-empat dalam Pembukaan UUD 1945, “...maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”[18]
Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag). Dalam kedudukan ini, Pancasila merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia. Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarannya senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.[19]
Pancasila sebagai ideologi tebuka memiliki ciri has, yaitu nilai atau cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan nurani, moral, dan budaya masyarakat itu sendiri. Dasarnya bukan pada keyakinan sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dan konsensus dari masyarakat tersebut.[20] Ideologi yang terbuka itu hidup dan berkembang bersama dinamika perkembangan kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Artinya, ideologi terbuka mengandung dinamika internal yang memungkinkannya untuk memperbaharui maknanya dari waktu ke waktu, sehingga isinya tetap relevan dan komunikatif sepanjang jaman, tanpa menyimpang apalagi mengingkari hakikat atau jati dirinya.[21] Namun, bagaimana pun dinamis dan terbukanya,  pasti ada kesepakatan bersama. Tidak semua penafsiran Pancasila bisa diterima. Ada tafsir yang benar dan ada yang salah. Pasalnya, jika Pancasila ditafsirkan dengan serba terbuka, dinamis, dan relatif sehingga tidak ada satu pun penafsiran yang dapat dikatakan benar, Pancasila akan kehilangan perannya sebagai dasar negara.[22]

C.  Tafsir Pancasila
Pancasila yang benar adalah yang dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis dan konstitusional dan secara obyektif ilmiah. Secara yuridis konservatif, Pancasila sebagai dasar negara yang dipergunakan sebagai dasar mengatur menyelenggarakan pemerintah negara. Secara obyektif ilmiah karena Pancasila adalah suatu paham filsafat, suatu philosophical way of thinking atau philosophical system, sehingga uraiannya harus logis dan dapat diterima oleh akal sehat.[23]
Pancasila sebagai dasar negara dan tinjauan dari segi yuridis konservatif, maka harus bersumber kepada konstitusi atau bersumber kepada UUD.[24] Sedangkan UUD 1945 sendiri dijiwai oleh Piagam Jakarta yang kemudian disebut Pancasila. Jadi, sebagaimana yang disebutkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bahwa Piagam Jakarta dan UUD 1945 merupakan satu-kesatuan.[25]
Menurut Natsir, sebagian besar penyusun Piagam Jakarta yang beragama Islam tidak akan membenarkan suatu perumusan yang menurut mereka bertentangan dengan asas dan ajaran Islam. Tapi tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran Islam. Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah Islam.[26] Menurut Adian Husaini, seharusnya Pancasila tidak masuk ke wilayah worldview atau rumusan kehidupan. Konsep ketuhanan tidak bisa dirumuskan oleh Pancasila dan sudah pasti akan bertabrakan dengan konsep agama, terutama Islam.[27]
Kasman Singodimejo memaparkan bahwa Mohammad Hatta yang terlibat dalam perumusan Pancasila menjelaskan pengertian sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Allah. Dan waktu Bung Hatta mengusulkan supaya sila Ketuhanan itu ditambah dengan Yang Maha Esa dan dijadikan sebagai sila pertama, bukan seperti keinginan Bung Karno yang menggunakan Ketuhanan saja sebagai sila ke-lima, Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dan Nur-Nya menyinarkan Nur-Nya itu kepada keempat sila lainnya.[28] Selain itu, terlepas dari agama dan ideologi masing-masing, sila pertama tidak boleh dilepaskan dari alinea ke-tiga pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa...” Jadi, sila pertama bisa dikatakan sebagai penegasan konsep tauhid dalam Islam, karena dalam alinea ke-tiga disebutkan bahwa Tuhan yang dimaksud adalah Allah.[29] Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima[30] merumuskan:
“Dasar Ketuhanan yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi. Dalam susunan sekarang ini, dasar kemanusiaan yang adil dan beradab harus menyusul, berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya tak dapat terpisah dari itu, sebab ia harus dipandang sebagai kelanjutan dalam praktik daripada cita-cita dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan dasar-dasar ini sebagai pedoman, pada hakekatnya, pemerintah negara kita tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai keselamatan negara dan masyarakat, ketertiban dunia dan persaudaraan bangsa-bangsa. Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, ada senantiasa terasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar. Akibat daripada urutan yang lima pasal itu, sekalipun ideologi negara tidak berubah dengan perubahan kata-kata, politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya sekedar hormat-menghormati agama masing-masing, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya. Negara dengan itu memperkokoh fondamennya.[31]
Menurut Adian Husaini, pemaknaan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai tauhid berarti menyatakan bahwa tauhid Islam menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia.[32] Seorang yang bertauhid akan mengikrarkan dan meyakini bahwa satu-satunya tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah, bukan tuhan yang lain. Orang yang bertuhankan tuhan-tuhan selain Allah disebut orang musyrik.[33]  Dengan begitu akan sangat salah jika seseorang beranggapan bahwa Pancasila adalah sekular atau pun menuduh orang yang melaksanakan syariat Islam telah menyalahi nilai-nilai Pancasila, karena bagaimana pun Pancasila disusun atas kesadaran umat Islam yang tidak mungkin menyalahi nilai-nilai Islam itu sendiri.














BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.      Sejarah Pancasila dibagi menjadi tiga masa, yaitu Orde Lama, Orde Baru dan Masa Reformasi. Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno menggunakan sistem Demokrasi Terpimpin yang bersifat otoriter. Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto berusaha memperbaiki kesalahan Orde Lama dengan mengenalkan sistem Demokrasi Pancasila yang bersifat tertutup, sehingga juga menjadikan sistem ini menjadi sistem yang otoriter. Sedangkan masa Reformasi yang dimulai oleh BJ Habibie dan dilanjutkan oleh KH Abdurrahman Wahid merupakan sistem demokrasi terbaik yang dicatat oleh sejarah. Sistem demokrasi semasa Reformasi merupakan kebalikan Orde Baru yang sangat tertutup. Namun masa Reformasi dikhawatirkan akan mengulang sejarah tahun 1959.
2.      Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag). Dalam kedudukan ini, Pancasila merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia. Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarannya senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.[34] Pancasila sebagai ideologi tebuka memiliki ciri has, yaitu nilai-nilai atau cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan nurani, moral, dan budaya masyarakat itu sendiri.
3.      Pancasila dan UUD 1945 merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila bermakna tauhid Islam, yang berarti bahwa tuhan yang dimaksud di sini tidak lain adalah Allah. Sila ini menjiwai keempat sila lainnya. Jadi, baik Pancasila atau UUD 1945 tidak dapat disebut sekular karena dasar dari keduanya merupakan tauhid Islam, pokok ajaran islam.




DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Oetojo Oesman.  Pancasila Sebagai Ideologi. (Surabaya: Karya Anda, 1993).
Ali, As’ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemashalatan Bangsa. (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009).
Fadjar, A. Malik dkk. Pancasila Dasar Filsafat Negara (Prinsip-prinsip Pengembangan Kehidupan Beragama). (Malang: UMM-Press, 1992).
Fauzi, Achmad dkk.  Pancasila Ditinjau dari Segi Sejarah-Segi Yuridis Kontitusional dan Segi Filosofis. (Malang: Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, 1983).
Husaini, Adian. Pancasila: Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional. (Jakarta: Gema Insani, 2009).
Kaelan. Pendidikan Pancasila. (Yogyakarta: Paradigma, 2010).
Kaelan. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. (Yogyakarta: Paradigma, 1996).
Santosa dkk, Heru. Sari Pendidikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).
http://www.arrahmah.com/read/2011/06/07/13187-adian-husaini-pancasila-jangan-dijadikan-sebagai-pandangan-hidup.html.




[1] Achmad Fauzi dkk,  Pancasila ditinjau dari Segi Sejarah-Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis, hlm. 44-50; Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, hlm. 30.
[2] Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, hlm. 31-32.
[3] Achmad Fauzi dkk,  Pancasila ditinjau dari Segi Sejarah-Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis, hlm. 52; Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, hlm. 33.
[4] Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, hlm. 37.
[5] As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemashalatan Bangsa, hlm. 123;  Heru Santosa dkk, Sari Pendidikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, hlm. 44.
[6] Adian Husaini, Pancasila: Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 93.
[7] Heru Santosa dkk, Sari Pendidikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, hlm. 45.
[8] As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemashalatan Bangsa, hlm. 125.
[9] Heru Santosa dkk, Sari Pendidikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, hlm. 45.
[10] Ibid, hlm. 47.
[11] As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemashalatan Bangsa, hlm. 126.
[12] Heru Santosa dkk, Sari Pendidikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, hlm. 48.
[13] Ibid.
[14] As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemashalatan Bangsa, hlm. 127.
[15] Heru Santosa dkk, Sari Pendidikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, hlm. 49-50.
[16] As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemashalatan Bangsa, hlm. 129.
[17] A. Malik Fadjar dkk, Pancasila Dasar Filsafat Negara, hlm. 76.
[18] Ibid, hlm. 78.
[19] Kaelan, Pendidikan Pancasila, hlm. 147.
[20] Heru Santosa dkk, Sari Pendidikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, hlm. 57.
[21] Oetojo Oesman Alfian,  Pancasila Sebagai Ideologi, hlm. 5.
[22] Lihat Adian Husaini, Pancasila: Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 170-171.
[23] Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, hlm. 73.
[24] Ibid.
[25] Adian Husaini, Pancasila: Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 163.
[26] Ibid, hlm. 155.
[27] http://www.arrahmah.com/read/2011/06/07/13187-adian-husaini-pancasila-jangan-dijadikan-sebagai-pandangan-hidup.html diakses pada tanggal 13 April 2015.
[28] Adian Husaini, Pancasila: Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 151.
[29] Ibid, hlm. 146-147.
[30] Tahun 1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang beranggotakan Mohammad Hatta, Prof. H.A. Subardjo Djoyodisuryo, Prof. Sunario, S.H., dan Prof. Abdoel Gafar Pringgodigdo, S.H.
[31] Adian Husaini, Pancasila: Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 174-175.
[32] Ibid, hlm. 175.
[33] Ibid, hlm. 177.
[34] Kaelan, Pendidikan Pancasila, hlm. 147.

0 Komentar at “Pancasila Sebagai Penafsir Islam”

Posting Komentar