BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Seiring
dengan pergantian zaman, penafsiran Pancasila semakin dijauhkan dari apa yang
diharapkan oleh perumus Pancasila 1945. Perumus pertama Pancasila memutuskan
untuk menjamin hak-hak umat beragama di Indonesia yang dirumuskan dalam sila
pertama, yaitu “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Berawal dari ini, beberapa kalangan tertentu menganggap
bahwa sila tersebut mengintimidasi umat non-Islam. Padahal, tanpa Pancasila pun
umat Islam tetap dapat menjalankan perintah agamanya. Akhirnya, demi
mempertahankan persatuan suku-bangsa Indonesia, perumus pertama Pancasila
bersedia untuk mengganti sila tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tafsir
Pancasila semakin dijauhkan di masa Orde Lama, dimana Pancasila dianggap
mengakomodir komunisme. Selain itu, entah memang karena trauma terhadap sila
pertama atau karena misi umat Kristen, setiap upaya penerapan ajaran Islam di Indonesia
dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Islam semakin dijauhkan dari
umat Islam dan Pancasila semakin disekularkan dari Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, penulis ingin merumuskan beberapa masalah yang akan
penulis bahas dalam makalah ini, yaitu:
1.
Sejarah
Pancasila
2.
Pancasila
sebagai Dasar Negara
3.
Tafsir
Pancasila
C. Tujuan
Masalah
Dengan
merumuskan masalah-masalah tersebut, penulis berharap agar pembaca dapat
memiliki wawasan tentang:
1.
Sejarah
Pancasila
2.
Pancasila
sebagai Dasar Negara
3.
Tafsir
Pancasila
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Pancasila
Setelah
keputusannya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia yang
diumunkan pada bulan September 1944, Jepang memberikan janji keduanya pada
tanggal 29 April 1945. Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari bangsa
Indonesia, sebagai realisasi dari janji tersebut, maka dibentuklah Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu
Zyunbi Tjoskai.[1]
Dalam
dua kali sidang, anggota BPUPKI menghasilkan pikiran berupa Dasar Negara dan
Rancangan Undang-undang Dasar. Sidang pertama berlangsung mulai tanggal 29 Mei
sampai 1 Juni 1945. Yang mengusulkan Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik
Indonesia pada sidang tersebut berturut-turut adalah Muhammad Yamin, Dr.
Soepomo dan Soekarno. Soekarno menambahkan bahwa ke lima Dasar Negara rumusannya
sebagai Panca Sila.[2]
Muhammad Yamin
|
Dr. Soepomo
|
Soekarno
|
Peri
Kebangsaan
|
Persatuan
Negara, Negara Serikat, Persekutuan Negara
|
Kebangsaan
|
Peri
Kemanusian
|
Hubungan
antara Negara dan Agama
|
Kemanusiaan
|
Peri
Ketuhanan
|
Republik
|
Mufakat
atau demokrasi
|
Peri
Kerakyatan
(Permusyawaratan,
Perwakilan, Kebijaksanaan)
|
|
Kesejahteraan
sosial
|
Kesejahteraan
Rakyat
(Keadilan
Sosial)
|
|
Ketuhanan
|
Di
tengah proses perumusan yang dilakukan oleh BPUPKI yang belum mencapai
kesepakatan, 38 anggota BPUPKI melanjutkan sidang ke-dua dan membentuk panitia
kecil. Panitia kecil ini terdiri dari sembilan orang, yaitu: Soekarno, Mohammad
Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrodoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus
Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muh. Yamin. Merekalah yang akhirnya
berhasil menyusun Dasar Negara yang mereka tanda tangani pada tanggal 22 Juni
1945 di Jakarta, yaitu: 1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3)
Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Inilah yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta
Chapter.[3]
Namun, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang pertama PPKI, sila pertama
tersebut diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]
1.
Orde
Lama
Sejak
Dekrit Presiden 5 Juli 1945, negara Indonesia kembali berdasarkan pada UUD
1945. Masa inilah yang disebut sebagai masa Orde Lama.
Meski
telah kembali pada UUD 1945, namun sistem pemerintahan yang dijalankan tidak
sesuai dengan UUD 1945 itu sendiri. Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin
yang penerapannya terpusat pada dirinya sendiri, sehingga Demokrasi Terpimpin
menjadi sistem kepemimpinan yang otoriter.[5]
Upayanya untuk menyatukan perbedaan ideologi dengan mengemukakan ajaran Nasakom
tidak pernah terwujud secara sinergis, malah dimanfaatkan oleh PKI untuk
mendominasi RI. Hal inilah yang memicu lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA)
salah satu jiwanya adalah anti-zionisme.[6]
Masa
Orde Lama berakhir dengan adanya pemberontakan G 30 S/PKI. Rakyat menuntut
perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan negara. Kemudian lahirlah Tritura
(Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu: bubarkan PKI, bersihkan kabinet dari unsur PKI,d
an turunkan harga-harga. Dalam keadaan kacau itu, Soekarno mengeluarkan Surat
Perintah 11 Maret kepada Letjen Soeharto. Dan dengan dasar Surat Perintah itu,
Letjen Soeharto mengeluarkan surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 pada tanggal
12 Maret yang ditandatanganinya. Isi Kepres ini adalah pembubaran PKI di
seluruh wilayah Indonesia yang berlaku sejak tanggal keluarnya surat tersebut.[7]
2.
Orde
Baru
Setelah
Orde Lama runtuh, pemerintahan baru terbentuk yang diberi nama Orde Baru. Orde
Baru berusaha mengoreksi kesalahan Demokrasi Terpimpin. Rezim ini berpendirian
bahwa pangkal masalah kekacauan selama Demokrasi Terpimpin adalah penyelewengan
Pancasila dan UUD 1945, sehingga pembangunan ekonomi terabaikan dan kehidupan
politik ketatanegaraan terbengkalai.[8]
Tekad Orde Baru adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Untuk mewujudkan tekad itu, sidang MPRS tahun 1966 mengeluarkan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang merupakan koreksi terhadap pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945 dalam periode 1959-1965 yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno.[9]
Orde
Baru menarik kesimpulan bahwa pertikaian antara kaum komunis di pihak kiri dan
kaum Islamis di pihak kanan dalam spektrum politik akan membelokkan rakyat
Indonesia dari persatuan yang dibutuhkan kalau mau meraih kemajuan (modernitas).
Untuk meredakan konflik ideologis ini, maka Orde Baru membangun konsep baru
tentang demokraasi yang diberi nama Demokrasi Pancasila, yang sebenarnya
bersifat otoriter.[10]
Lembaga-lembaga politik harus diisi orang-orang yang steril dan tidak pretensi
menafsirkan Pancasila dan UUD 1945 secara bebas. Mereka yang ditengarai hendak
menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 adalah sisa-sisa Orde Lama dan kekuatan
Islam Politik. Demi menjaga kemurnian Pancasila dan UUD 1945, partisipasi
politik kemudian dibatasi.[11]
Sementara di pihak lain, pemerintah dan penguasa menjalin kerja sama yang
menguntungkan sacara pribadi dan keluarga pejabat. Korupsi, kolusi, dan
nepotisme seolah menjadi budaya yang wajar-wajar saja.[12]
Krisis
moneter 1997 telah membawa krisis-krisis lain yang akhirnya membawa pada krisis
kepercayaan dan krisis politik. Rakyat yang dipelopori oleh mahasiswa
mengehndaki Soeharto turun dan gaung reformasi bergema di mana-mana untuk
perbaikan kehidupan kenegaraan Indonesia.
Setelah demonstrasi di mana-mana, ultimatum MPR dan pengunduran diri
empat belas menteri-menterinya, Soeharto menyatakan berhenti menjadi presiden
pada hari Kamis, 21 Mei 1998.[13]
3.
Masa
Reformasi
Menurut As’ad Said Ali, Masa Reformasi
boleh dikatakan sebagai perayaan terhadap kebebasan politik. Lembaga-lembaga
politik dan berbagai aturan perundangan warisan rezim sebelumnya mulai ditata
ulang secara mendasar. Bahkan UUD 1945 nyaris diamandemen secara keseluruhan,
sambil menjumput ide dari berbagai negara yang dianggap sukses menjalankan
demokrasi. Instrumen untuk mewujudkan kedaulatan rakyat mengalami perbaikan
cukup mendasar. Pemilu dapat dilaksanakan secara bebas, jujur, adil, dan
transparan. Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat
dan partai politik bebas menyuarakan anspirasi masing-masing.[14]
Jika Orde Baru menabukan perubahan UUD 1945, sebaliknya masa Reformasi
memandang sangat perlu perubahan UUD 1945 untuk memperbaiki kehidupan berbangsa
dan bernegara.[15]
Namun, liberalisasi politik semasa
Reformasi berjalan miskin kualitas. Hal tersebut ditandai oleh instrumen
demokrasi yang mengalami defisit besar, pemilu yang kurang mengartikulasi
pandangan dan kepentingan pokok masyarakat, serta munculnya elite yang
mendominasi. Kecenderungan ini akan mengurangi kepercayaan rakyat yang sangat
besar terhadap demokrasi. Bila itu terjadi, sejarah tahun 1959 mungkin akan
terulang. Banyak contoh memperlihatkan bahwa negara yang baru memulai proses
demokrasi seringkali harus kembali menjadi negara yang otoriter hanya karena
tidak mampu mengelola dinamka demokrasi dengan baik.[16]
B. Pancasila
sebagai Dasar Negara
Secara
formal, Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Walaupun demikian, secara
material nilai-nilai Pancasila ada dan telah berkembang dalam cara hidup rakyat
Indonesia jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.[17]
Dalam
kehidupan bangsa, dikenal berbagai sebutan bagi Pancasila. Salah satunya adalah
Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini tertera pada alinea ke-empat dalam
Pembukaan UUD 1945, “...maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”[18]
Sebagai
dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu
kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag). Dalam kedudukan ini, Pancasila merupakan
sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara,
termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia.
Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarannya
senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.[19]
Pancasila
sebagai ideologi tebuka memiliki ciri has, yaitu nilai atau cita-citanya tidak
dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan nurani,
moral, dan budaya masyarakat itu sendiri. Dasarnya bukan pada keyakinan
sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dan konsensus dari masyarakat
tersebut.[20]
Ideologi yang terbuka itu hidup dan berkembang bersama dinamika perkembangan
kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Artinya, ideologi terbuka
mengandung dinamika internal yang memungkinkannya untuk memperbaharui maknanya
dari waktu ke waktu, sehingga isinya tetap relevan dan komunikatif sepanjang
jaman, tanpa menyimpang apalagi mengingkari hakikat atau jati dirinya.[21]
Namun, bagaimana pun dinamis dan terbukanya,
pasti ada kesepakatan bersama. Tidak semua penafsiran Pancasila bisa
diterima. Ada tafsir yang benar dan ada yang salah. Pasalnya, jika Pancasila
ditafsirkan dengan serba terbuka, dinamis, dan relatif sehingga tidak ada satu
pun penafsiran yang dapat dikatakan benar, Pancasila akan kehilangan perannya
sebagai dasar negara.[22]
C. Tafsir
Pancasila
Pancasila yang benar adalah yang dapat
dipertanggung jawabkan secara yuridis dan konstitusional dan secara obyektif
ilmiah. Secara yuridis konservatif, Pancasila sebagai dasar negara yang
dipergunakan sebagai dasar mengatur menyelenggarakan pemerintah negara. Secara
obyektif ilmiah karena Pancasila adalah suatu paham filsafat, suatu philosophical way of thinking atau philosophical system, sehingga uraiannya
harus logis dan dapat diterima oleh akal sehat.[23]
Pancasila sebagai dasar negara dan
tinjauan dari segi yuridis konservatif, maka harus bersumber kepada konstitusi
atau bersumber kepada UUD.[24] Sedangkan
UUD 1945 sendiri dijiwai oleh Piagam Jakarta yang kemudian disebut Pancasila.
Jadi, sebagaimana yang disebutkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bahwa
Piagam Jakarta dan UUD 1945 merupakan satu-kesatuan.[25]
Menurut Natsir, sebagian besar penyusun
Piagam Jakarta yang beragama Islam tidak akan membenarkan suatu perumusan yang
menurut mereka bertentangan dengan asas dan ajaran Islam. Tapi tidak berarti
bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran Islam. Pancasila
memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah Islam.[26]
Menurut Adian Husaini, seharusnya Pancasila tidak masuk ke wilayah worldview
atau rumusan kehidupan. Konsep ketuhanan tidak bisa dirumuskan oleh Pancasila
dan sudah pasti akan bertabrakan dengan konsep agama, terutama Islam.[27]
Kasman Singodimejo memaparkan bahwa Mohammad
Hatta yang terlibat dalam perumusan Pancasila menjelaskan pengertian sila
Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Allah. Dan waktu Bung Hatta mengusulkan
supaya sila Ketuhanan itu ditambah dengan Yang Maha Esa dan dijadikan sebagai
sila pertama, bukan seperti keinginan Bung Karno yang menggunakan Ketuhanan
saja sebagai sila ke-lima, Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dan
Nur-Nya menyinarkan Nur-Nya itu kepada keempat sila lainnya.[28] Selain
itu, terlepas dari agama dan ideologi masing-masing, sila pertama tidak boleh
dilepaskan dari alinea ke-tiga pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa...” Jadi, sila pertama bisa dikatakan sebagai penegasan konsep
tauhid dalam Islam, karena dalam alinea ke-tiga disebutkan bahwa Tuhan yang
dimaksud adalah Allah.[29]
Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima[30]
merumuskan:
“Dasar
Ketuhanan yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita,
yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan
baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam
perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi. Dalam susunan
sekarang ini, dasar kemanusiaan yang adil dan beradab harus menyusul,
berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya tak dapat terpisah dari itu,
sebab ia harus dipandang sebagai kelanjutan dalam praktik daripada cita-cita
dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan dasar-dasar ini sebagai pedoman, pada
hakekatnya, pemerintah negara kita tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus
untuk mencapai keselamatan negara dan masyarakat, ketertiban dunia dan
persaudaraan bangsa-bangsa. Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan,
ada senantiasa terasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar.
Akibat daripada urutan yang lima pasal itu, sekalipun ideologi negara tidak
berubah dengan perubahan kata-kata, politik negara mendapat dasar moral yang
kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya sekedar hormat-menghormati agama
masing-masing, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran,
keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya. Negara dengan itu
memperkokoh fondamennya.[31]
Menurut Adian Husaini, pemaknaan
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai tauhid berarti menyatakan bahwa tauhid Islam
menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia.[32]
Seorang yang bertauhid akan mengikrarkan dan meyakini bahwa satu-satunya tuhan
yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah, bukan tuhan yang lain.
Orang yang bertuhankan tuhan-tuhan selain Allah disebut orang musyrik.[33] Dengan
begitu akan sangat salah jika seseorang beranggapan bahwa Pancasila adalah
sekular atau pun menuduh orang yang melaksanakan syariat Islam telah menyalahi
nilai-nilai Pancasila, karena bagaimana pun Pancasila disusun atas kesadaran
umat Islam yang tidak mungkin menyalahi nilai-nilai Islam itu sendiri.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Sejarah
Pancasila dibagi menjadi tiga masa, yaitu Orde Lama, Orde Baru dan Masa
Reformasi. Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno menggunakan sistem Demokrasi
Terpimpin yang bersifat otoriter. Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto
berusaha memperbaiki kesalahan Orde Lama dengan mengenalkan sistem Demokrasi
Pancasila yang bersifat tertutup, sehingga juga menjadikan sistem ini menjadi
sistem yang otoriter. Sedangkan masa Reformasi yang dimulai oleh BJ Habibie dan
dilanjutkan oleh KH Abdurrahman Wahid merupakan sistem demokrasi terbaik yang
dicatat oleh sejarah. Sistem demokrasi semasa Reformasi merupakan kebalikan
Orde Baru yang sangat tertutup. Namun masa Reformasi dikhawatirkan akan
mengulang sejarah tahun 1959.
2.
Sebagai
dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu
kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag). Dalam kedudukan ini, Pancasila merupakan
sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara,
termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia.
Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarannya
senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.[34]
Pancasila sebagai ideologi tebuka memiliki ciri has, yaitu nilai-nilai atau
cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari
harta kekayaan nurani, moral, dan budaya masyarakat itu sendiri.
3.
Pancasila
dan UUD 1945 merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila bermakna tauhid Islam, yang berarti
bahwa tuhan yang dimaksud di sini tidak lain adalah Allah. Sila ini menjiwai
keempat sila lainnya. Jadi, baik Pancasila atau UUD 1945 tidak dapat disebut
sekular karena dasar dari keduanya merupakan tauhid Islam, pokok ajaran islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfian, Oetojo Oesman. Pancasila Sebagai Ideologi. (Surabaya:
Karya Anda, 1993).
Ali, As’ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemashalatan Bangsa. (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2009).
Fadjar,
A. Malik dkk. Pancasila Dasar Filsafat
Negara (Prinsip-prinsip Pengembangan Kehidupan Beragama). (Malang:
UMM-Press, 1992).
Fauzi, Achmad dkk. Pancasila Ditinjau dari Segi
Sejarah-Segi Yuridis Kontitusional dan Segi Filosofis. (Malang: Lembaga
Penerbitan Universitas Brawijaya, 1983).
Husaini, Adian. Pancasila: Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional. (Jakarta: Gema
Insani, 2009).
Kaelan. Pendidikan Pancasila. (Yogyakarta: Paradigma, 2010).
Kaelan. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. (Yogyakarta: Paradigma,
1996).
Santosa dkk, Heru. Sari Pendidikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).
http://www.arrahmah.com/read/2011/06/07/13187-adian-husaini-pancasila-jangan-dijadikan-sebagai-pandangan-hidup.html.
[1] Achmad
Fauzi dkk, Pancasila ditinjau dari Segi Sejarah-Segi
Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis, hlm. 44-50; Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan,
hlm. 30.
[3] Achmad
Fauzi dkk, Pancasila ditinjau dari Segi Sejarah-Segi
Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis, hlm. 52; Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan,
hlm. 33.
[5] As’ad
Said Ali, Negara Pancasila: Jalan
Kemashalatan Bangsa, hlm. 123; Heru
Santosa dkk, Sari Pendidikan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945, hlm. 44.
[22] Lihat
Adian Husaini, Pancasila: Bukan untuk
Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 170-171.
[27] http://www.arrahmah.com/read/2011/06/07/13187-adian-husaini-pancasila-jangan-dijadikan-sebagai-pandangan-hidup.html
diakses pada tanggal 13 April 2015.
[30] Tahun
1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang beranggotakan Mohammad Hatta,
Prof. H.A. Subardjo Djoyodisuryo, Prof. Sunario, S.H., dan Prof. Abdoel Gafar
Pringgodigdo, S.H.
0 Komentar at “Pancasila Sebagai Penafsir Islam”
Posting Komentar