Konsep Agama dan Fondasi Etika dan Moralitas



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pengaruh westernisasi ilmu pengetahuan yang dipelopori Barat telah membelokkan orientasi utama pendidikan Islam. Tujuan dasar pendidikan Islam untuk mengenalkan manusia kepada tujuan hidup yaitu mengenal Allāh Swt dan cara beribadah kepada-Nya, dibelokkan kepada tujuan-tujuan yang bersifat materialis belaka. Sehingga penerapan ilmu dipisahkan dari Tuhan. Dari sini sains kemudian kehilangan nilai-nilai ketuhanan, yang berakibat kepada dikotomi ilmu, antara ilmu umum dan ilmu agama. Problem mendasarnya di sini adalah perubahan paradigma pendidikan Islam menjadi materialistis dan sekularistis.
Dalam upaya mengembalikan tujuan pendidikan Islam, diperlukan upaya konseptual dan paradigmatis. Salah satunya dengan mengedepankan konsep Adab. Dalam hal ini Syed Muhammad Naquib al-Attas, ilmuan kontemporer menggagas konsep agama dan fondasi etika dan moralitas. Al-Attas mencoba meluruskan kembali sudut pandang manusia terhadap agama yang akhirnya melahirkan fondasi etika dan moralitas yang sesuai dengan ajaran Islam.

B.  Rumusan Masalah
1.    Konsep agama
2.    Fondasi etika dan moralitas

C.  Tujuan Masalah
1.    Mengetahui konsep agama Al-Attas
2.    Mengetahui fondasi etika dan moralitas Al-Attas









BAB II
PEMBAHASAN

A.  Konsep Agama
1.    Pengertian Agama
Agama berasal dari Bahasa Arab yaitu dīn. Kata dīn yang diturunkan dari Bahasa Arab memiliki banyak ciri dasar, yang meskipun telihat berlawanan satu sama lain, namun semuanya secara konseptual saling berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan dari semuanya menampilkan dirinya sebagai kesatuan tentang makna yang relevan dan inheren dalam konsep dīn. Konsep yang dituangkan dalam istilah dīn ini berbeda dengan konsep yang dipahami sepanjang sejarah keagamaan Barat. Konsep dīn adalah seperti apa yang telah direflesikan dalam Al-Qur’an.
Makna dīn sebagai agama menunjukkan bahwa agama telah memberikan fasilitas kepada manusia untuk mengaktualisasikan potensi spiritual yang ada dalam dirinya. Salah satu ciri yang paling mudah dikenali dari agama adalah fungsinya sebagai jalan menuju Tuhan. Islam, sebagai agama yang fitrah, memiliki keabsahan yang berlaku abadi. Sebagai way of life, dia mempergunakan segala aspek eksistensi manusia dan prestasinya. Tidak satupun aspek yang diberikan mendahului yang lain atau bertentangan antara satu dengan lainnya. Tiap-Tiap aspek kebudayaan dan peradaban secara penuh dipelihara dari kelebihan dan keekstreman pada kedua sisinya. Semua sisi kehidupan sosial tetap berada dalam timbangan yang sempurna. Di dalamnya terkandung suatu campuran dan perimbangan antara materi, akal dan aspek-aspek spiritual yang dicari manusia. Dengan kata lain bisa dijelaskan, bahwa konsepsi dīn secara umum adalah mengemban misi penyelamatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat dan pada akhirnya mencakup gagasan tentang kebudayaan, peradaban dan pandangan dunia.[1]
Agama (Islam) dan kepercayaan-lemah (iman) tidaklah identik, tetapi keduanya saling tidak terpisahkan dan sangat dibutuhkan. Kepercayaan-lemah yang kita maksudkan adalah memiliki kepercayaan-kuat, dalam pengertian bahwa hal itu termasuk membenarkan kepercayaan di mana Allah telah menceritakan rahasia-Nya pada seseorang. Kepercayaan-kuat merupakan pengenalan dan pengakuan kebenaran yang memastikan aktualisasinya dalam diri seseorang. Pengenalan akan kebenaran dalam kasus ini hadir hanya karena jelas dalam dirinya sebagaimana ditangkap hati, yaitu dengan petunjuk dan bukan hanya dengan proporsi rasional dan demonstrasi logis. Kebenaran itu obyektif dan subyektif, seperti agama dan kepercayaan-lemah, adalah aspek-aspek tak terpisah dari satu realitas.
Agama sejati bukanlah sesuatu yang dapat mati terhadap kebingungan yang muncul dari dikotomi obyektif-subyektif dari tradisi filsafat Yunani, agama sejati bukanlah agama humanitas yang personal, individual, privat, dan internal yang muncul dari proses penyekularan yang berusaha menghilangkan kepercayaan-lemah agama. Agama yang dimaksud tidaklah berlawanan dengan desakralisasi alam jika itu berarti menghilangkan konsepsi mistis tentang alam, karena alam tetap dapat dipandang sebagai perwujudan bentuk yang suci tanpa mitos atau sihir.
2.    Penanda Dasar Agama
a)    Keberhutangan
Menurut Al-Attas, kata kerja dāna yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang. Seseorang yang sedang berhutang, maka dia akan patuh dan sukarela mengikuti semua aturan yang telah disepakati di awal bersama kreditor. Namun bagaimana konsep sedang berhutang dapat dijelaskan dalam konteks keagamaan dan spiritual? Jawabannya adalah bahwa kita berhutang pada Allah, yang telah menjadikannya ada dan memeliharanya dalam keberadaannya. Manusia yang sebelumnya bukan apa-apa dan tidak ada, dan kini dia ada.
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.[2]
Manusia yang mernungkan secara serius asalnya akan menyadari bahwa beberapa waktu yang lalu dia tidak ada ataupun mempredksikan keberadaannya saat ini. Dia yang merenung sedemikian tulus mengetahui secara intuitif bahwa rasa berhutang akan penciptaan dan keberadaannya tidak dapat ditujukan kepada oangtuanya, karena dia mengetahui bahwa orangtuanya pun mengalami proses yang sama dari Pencipta dan Penyedia. Manusia tidak dapat menumbuhkan dan mengembangkan sendiri proses penciptaannya mulai dari air mani sehingga menjadi manusia yang sempurna. Manusia bahkan mengetahui meski dalam kondisi dewasa pun dia tidak akan mampu menciptakan baginya sendiri indera penglihatan, pendengaran, atau yang lain; apalagi membiarkan dirinya dalam kondisi embrionik yang tak berdaya dalam kesadaran pertumbuhan dan perkembangan, maka:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"[3]
Manusia yang dibimbing secara benar akan menyadari bahwa seluruh dirinya telah mengakui Allah sebagai Rabbnya bahkan sebelum dia dilahirkan sebagai manusia yang sempurna. Sifat dasar hutang penciptaan dan eksistensi begitu sangat luar biasa, sehingga saat dia diciptakan dan diberi eksistensi, manusia sudah dalam kondisi merugi karena dia benar-benar tidak memiliki apapun pada dirinya sendiri. Semua apa yang ada pada manusia adalah pemberian Allah.
Sesungguhnya manusia dalam keadaan kerugian (khusr)...[4]
b)   Ketundukan
Melihat bahwa manusia tidak memiliki apapun untuk membayar hutangnya, kecuali kesadarannya sendiri akan fakta bahwa dirinya adalah inti hutang tersebut. Dia adalah hutang itu-sendiri yang harus kembali pada Pemiliknya. Dia harus membayar dengan dirinya yaitu mengembalikan dirinya kepada Allah yang memiliki dirinya secara absolut. Mengembalikan hutang berarti menyerahkan diri dalam pelayanan atau khidmah kepada Pemiliknya, atau memperbudak dirinya dengan maksud memenuhi peraturan-Nya dan patuh terhadap hukum-Nya.
Ungkapan memperbudak diri bermakna menyerahkan diri dalam pelayanan, dan karenanya juga mengembalikan diri kepada Pemiliknya sebagaimana telah dijelaskan. Hal yang sama diungkapkan oleh Rasul:
Seorang yang cerdas adalah dia yang memperbudak dirinya dan bekerja untuk apa yang akan datang setelah kematian.
Ketika manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan keberadaannya, jelas bahwa kewajiban untuk melayani Allah adalah hal yang normal karena hal itu datang sebagai kehendak alamiyah pada diri manusia untuk melakukannya. Dalam konteks keagamaan, hal ini juga disebut sebagai fitrah. Jadi ketika manusia diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan dunia ini, jika dibimbing dengan benar, akan mengingat perjanjiannya dan bertindak sebagaimana mestinya, sehingga hidup dan matinya hanya karena Allah.
Ketundukan menunjuk kepada kesadaran dan ketundukan sukarela, karena tanpa kesadaran dan keinginan untuk tunduk maka ketundukkan tidak dapat bermakna ketundukan sejati. Mungkin konsep ketundukan terdapat pada semua agama, tetapi tidak semua agama menerapkan ketundukan sejati. Bukanlah ketundukan jika bermakna sesaat atau tak menentu, karena ketundukan sejati merupakan tindakan terus-menerus sepanjang masa kehidupan seseorang; maupun jenis yang hanya bekerja di dalam hati tanpa diwujudkan secara lahiriah dalam tindakan tubuh. Kata yang menandakan pengertian ketundukan ini adalah aslama, sebagai bukti dalam Al-Qur’an dalam firman Allah:
Dan siapakah yang lebih baik agama(dīn)nya daripada orang yang ikhlas menyerahkan (aslama) dirinya kepada Allah...[5]
Dīn yang ditunjuk tidak lain adalah Islam. Meski terdapat bentuk-bentuk lain dari perwujudan dīn, menetapkan ketundukan (istislam) total hanya kepada Allah adalah yang terbaik dan merupakan satu-satunya dīn yang diterima Allah, sebagaimana firman-Nya:
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.[6]
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.[7]
c)    Kekuatan hukum
Apa yang akan datang setelah kematian merupakan sesuatu yang akan diperhitungkan dengan baik, balasan, dan kembali yang baik. Pengembalian yang baik ini seperti kembalinya hujan kepada bumi yang membawa keuntungan dengan memberikan kehidupan padanya, menyebabkan pertumbuhan yang baik, dan menguntungkan bagi kehidupan tersebut. Sama seperti hujan yang memberi kehidupan pada bumi, yang jika tidak maka akan menyebabkan kematian bumi, maka dīn pun memberikan kehidupan kepada manusia, yang jika tanpanya akan menyebabkan ‘kematian’ manusia. Hal ini benar-benar disimbolosasikan oleh firman Allah dalam Al-Qur’an:
... dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati...[8]
Dengan mengembalikan diri kepada Rabb, yaitu dengan setia dan sungguh-sungguh memenuhi aturan dan hukum Allah, manusia yang bertindak demikian akan dibalas dan akan menerima pengembaliannya yang baik, serta akan ditambah berkali-lipat. Seperti yang firman Allah:
Siapakah yang mau memberi pinjaman (yuqridu) kepada Allah, pinjaman yang baik (qardan hasanan), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak...[9]
Perhatikan bahwa kata kerja yang digunakan untuk menandakan pinjaman (yuqridu)—dari qarada, qard—tidak memiliki konotasi yang sama sebagaimana yang diistilahkan sebagai hutang (dayn), karena istilah tersebut hanya berlaku kepada manusia. Pinjaman di sini bermakna pengembalian sesuatu yang dimiliki secara asli oleh Allah yang kini memintanya dan harus dikembalikan pada-Nya. Manusia adalah milik Allah dan eksistensinya hanya dipinjamkan kepadanya selama waktu tertentu. Sementara ungkapan pinjaman yang baik (qardan hasanan) yang bermakna pelayanannya kepada Allah dengan pelayanan yang baik, karena pelayanan itu akan dibalas dalam kelimpahan. Allah sebagai Raja dan segalanya adalah Kerajaan, kembali menunjukkan bahwa manusia itu budak (mamluk)-Nya. Konsep mamluk bermakna kepemilikan seseorang yang menerima pelayanannya, atau mamluk dimiliki oleh malik. Jadi, seseorang yang melayani Allah bukanlah seorang khadim, tetapi seorang ‘abd dan sungguh seorang pelayan yang dimiliki oleh Dia yang dilayaninya. Dengan menyembah Allah dengan cara pelayanan tetentu, manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan eksistensinya, seperti firman Allah:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (ya’buduni)[10]
d)   Kehendak hati atau kecenderungan alamiah
Menurut Al-Qur’an, manusia tidak dapat kabur dari kondisi menghidupi dīn karena segalanya tunduk (aslama) pada kehendak Allah. Oleh karena itu, istilah dīn juga digunakan, meski hanya secara metaforis, untuk menunjuk agama-agama selain Islam. Namun apa yang membuat Islam berbeda dengan agama lain adalah adanya ketundukan sejati yang merupakan ketundukan secara tulus dan total kepada Allah, bukannya ketundukan secara terpaksa. Gagasan ini secara tersirat diungkapkan dalam Al-Qur’an:
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.[11]
Tidak ada paksaan dalam agama sejati. Bukan hanya dalam pengertian akan pengendalian pada agama dan tunduk padanya, seseorang juga tidak boleh memaksa yang lain untuk tunduk; tetapi dalam pengertian seseorang harus mengendalikan dan menundukkan diri sepenuh hati dan sukarela, serta mencintai dan menikmati ketundukan. Ketundukan yang terpaksa akan memperlihatkan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan adalah serupa dengan kesalahpahaman (misbelief) yang merupakan bentuk dari ketidakpercayaan (kufr). Sebuah kesalahan jika berpikir untuk hanya percaya kepada Allah adalah cukup dalam agama sejati. Iblis yang sangat tunduk kepada Allah pun dapat menjadi kufr karena ketundukannya secara kurang ajar dan enggan. Kufrnya berkaitan dengan kesombongan, ketidakpatuhan, dan pembangkangan. Mereka adalah contoh buruk dari ketundukan yang terpaksa, dan bukan merupakan ketundukan sejati. Ketundukan sejati adalah seperti apa yang diwahyukan dan diperintahkan oleh Allah, seperti apa yang telah dilakukan oleh Nabi. Oleh karena itu, inti agama sejati adalah ketundukan sejati.
B.  Fondasi Etika dan Moralitas
1.    Kerajaan Kosmos
a)    Peran Dīn
Islam adalah imitasi tatanan alam semesta yang diwujudkan di dalam kehidupan duniawi ini sebagai sebuah tatanan sosial maupun tatanan politik. Tatanan sosial Islam merupakan Kerajaan Allah di bumi; yang meliputi seluruh keberadaan aspek fisik, material, dan spiritual. Karena Kerajaan ini adalah milik Allah, maka seluruh keberadaan aspek tersebut diterapkan berdasarkan hukum dan aturan Allah. Peran manusia hanyalah sebagai wakil atau khalifah, yang telah diberi kepercayaan memerintah untuk mengatur sesuai dengan kehendak Allah dan keinginann-Nya.
Konsep dīn mereflesikan gagasan sebuah kerajaan kosmopolis. Perdagangan dan pertukaran merupakan inti kehidupan kosmopolis. Maka tidak heran jika di dalam Al-Qur’an, kehidupan manusia digambarkan sebagai perusahaan dagang.
b)   Peran Manusia
Di dalam kosmopolis atau kerajaan yang direflesikan dalam konsep dīn, terdapat gambaran aktifitas sibuk akan lalu lintas perdagangan. Manusia tidak terhindarkan dari aktifitas perdagangan, karena dirinya merupakan subyek dan obyek perdagangan itu sendiri. Dia adalah modalnya sendiri, yang kerugian dan keuntungannya tergantung pada rasa tanggung-jawab dan pertunjukan kebebasannya. Dia membawa tanggung-jawab atas aktifitas jual-beli dan pertukaran, dan dirinyapulalah yang dia jual-beli dan pertukarkan.
Manusia Islam sebagai penduduk kota kosmopolitan yang menghidupi kehidupan beradab sesuai dengan fondasi batasan yang jelas akan tatanan sosial dan kode perilaku adalah dia yang patuh pada Hukum Raja. Dorongan untuk berperilaku seperti itu merupakan rahmat abadi, di mana pintu masuk ke dalam kondisi kedamaian tertinggi bahkan dapat dia rasakan di sini, tetapi yang akan diberikan kepadanya adalah ketika dia masuk arus kota lain dan menjadi penduduknya, yaitu penduduk kerajaan lain yang di dalamnya terdapat kebahagiaan untuk memandang Wajah Agung Sang Raja.
Manusia yang sadar akan takdirnya akan menyadari bahwa dirinya sebagai makhluk fisik  merupakan representasi mikrokosmos dari makrokosmos. Manusia Islam merupakan kerajaan dalam ukuran miniatur, sehingga dia harus mengatur kerajaannya itu dengan tidak berlawanan dengan hukum dan aturan Raja, karena kerajaannya itu diciptakan dalam citra-Nya sendiri. Manusia adalah tubuh dan jiwa, makhluk fisik sekaligus ruhani, jiwanya memerintah tubuh seperti Raja memerintah Kerajaan. Jiwa manusia juga memiliki dua aspek yaitu: yang tinggi adalah jiwa  rasional (an-nafs an-natiqah), dan yang rendah adalah jiwa hewani atau jasmani (an-nafs al-hayawaniyyah). Jiwa rasional sebagai raja yang menggunakan kekuatan dan aturannya terhadap jiwa hewani sebagai bawahannya. Di sini, jiwa hewanilah yang memperbudak dirinya sendiri dalam ketundukan dan pelayanan sehingga mengembalikan diri pada kekuasaan dan otoritas jiwa rasional. Ketika Nabi saw. bersabda:
Matilah kamu sebelum mati.
Hal tersebut bermakna, “Kembalilah sebelum kamu akhirnya kembali,” dan ini menunjuk kepada penaklukan diri-sendiri oleh diri-sejatinya, yaitu jiwa hewani seseorang oleh jiwa rasionalnya. Dan menyentuh pengetahuan akan diri inilah yang dimaksudkan ketika beliau bersabda:
Dia yang mengenal dirinya mengenali Rabbnya.
Allah memproklamasikan kekuasaan-Nya pada jiwa rasional manusia, sehingga setiap jiwa telah mendengar perkataan, “Bukankah Aku Rabbmu?” dan menjawab, “Ya!” dan bersaksi pada dirinya sendiri. Jadi manusia Islam yang dibimbing secara benar akan bertindak sebagai pelayan sejati Allah, ‘abd-Nya. Pelayan di sini bermakna melayani Allah, atau disebut sebagai ibadah. Ketika manusia Islam telah berhasil mengendalikan jiwa hewaninya dengan ibadah dan mempengaruhinya dengan jiwa rasional; maka dia telah memenuhi tujuan penciptaan dan eksistensinya, dia telah mencapai kedamaian tertinggi dan jiwanya ditenangkan, bebas dari belenggu nasib yang tak terhindarkan dan perselisihan yang mengganggu. Jiwa yang berada dalam kondisi seperti ini disebut Al-Qur’an sebagai jiwa yang ditenangkan, jiwa yang mengembalikan diri secara sukarela kepada Rabbnya:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.[12]
Jiwa ini merupakan jiwa pelayan yang telah memenuhi perjanjian dengan Rabbnya dengan pengakuan yang berkelanjutan—yang dengan pelayanan seperti itu akan dapat memperoleh keintiman dengan Rabbnya—sehingga pada akhirnya, ibadah bermakna sebagai pengetahuan.
2.    Keadilan
Dalam Islam, semua kebajikan bernilai keagamaan. Kebajikan ada kaitannya dengan kebebasan jiwa rasional[13], yang berarti bahwa jiwa rasional memiliki kekuatan untuk bertindak adil pada diri-sendiri, sehingga pada akhirnya akan menunjukkan pada bimbingan jiwa rasional terhadap jiwa hewani dan tubuhnya. Kekuatan untuk bertindak adil pada diri-sendiri menunjuk pada pengakuan konstan dan pemenuhan perjanjian yang telah dibuat dengan Allah. Keadilan dalam Islam bukan konsep yang menunjuk pada hubungan dua pihak, seperti: antara seseorang dengan yang lain, antara masyarakat dengan negara, atau antara raja dengan bawahannya. Keadilan yang dimaksud adalah keadilah kepada diri-sendiri. Al-Qur’an menekankan berulang-ulang bahwa manusia ketika berbuat salah maka sedang berbuat tidak adil kepada dirinya sendiri.[14] Untuk memahami ini, kita harus merujuk pada perjanjian manusia dengan Allah, dan percaya terhadap sifat-sifat ganda manusia dalam jiwa dan tubuhnya.
Manusia sejati hanya dapat diwujudkan dengan menjadi jiwa rasional. Jika manusia membiarkan jiwa hewani atau jasmaninya mendapatkan yang lebih darinya, maka dia telah melakukan tindakan yang dilarang dan tidak menyenangkan Allah; atau jika dia sama sekali meninggalkan kepercayaan-lemah, maka dia telah mengingkari perjanjiannya dengan Allah. Sehingga dia yang berbuat demikian akan membawa bencana pada dirinya karena telah berbuat tidak adil pada dirinya sendiri. Dia pun telah berdusta terhadap dirinya sendiri.
Ketidakadilan adalah salah meletakkan atau salah menggunakan sesuatu pada tempatnya yang  benar; melebihi atau mengurangi ukuran atau batas; tidak percaya atau dusta terhadap yang benar. Jadi ketika manusia berbuat tidak adil, berarti dia telah menyalahi jiwanya sendiri karena meletakkan jiwanya tidak pada tempat yang bukan miliknya.
3.    Pengetahuan
Ada dua jenis pengetahuan yaitu, pengetahuan yang diberikan Allah kepada manusia dan pengetahuan yang dicapai manusia dari usahanya sendiri melalui penelusuran rasional berdasarkan pengalaman dan observasi. Jenis pertama hanya dapat diterima manusia melalui pelayanan kepada Allah, di mana manusia tersebut menerimanya dengan pandangan langsung atau perasaan spiritual dan penyingkapan tabir pada visi spiritualnya. Pengetahuan ini menyentuh diri dam jiwanya, dan pengetahuan tersebut memberikan penglihatan mendalam terhadap Allah, sehingga pengetahuan seperti ini merupakan pengetahuan tertinggi. Untuk mendapatkan pengetahuan ini manusia harus memiliki pengetahuan Islam yang esensial (arkan al-islam dan arkan al-iman), makna, tujuan, pemahaman yang benar, dan implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Jika dia memenuhi persyaratan tersebut, maka dia telah siap pada tahap pertama yaitu jalan lurus menuju Allah. Tahap selanjutnya tergantung pada perbuatan dan ketulusan tujuannya, sehingga ada sebagaian manusia melayani Allah seakan-akan mereka melihat-Nya, dan sebagian yang lain melayani Allah seakan-akan mereka dilihat-Nya. Jenis kedua dicapai melalui rasio, pengalaman dan observasi. Misalnya, ada seseorang yang baru pindah ke lingkungan kita dan menjadi tetangga kita. Pada awalnya, kita mengetahuinya melalui perkenalan. Kemudian kita mengetahui nama, status pernikahan, jumlah anak, dan informasi lain melalui observasi. Kita dapat menelusuri pekerjaan dan tempat kerjanya melalui investigasi pribadi dan dari orang lain. Kita mungkin dapat melakukan investigasi lain tanpa sepengetahuan orang tersebut, namun pengetahuan kita terhadapnya tetap berada pada tingkatan  pengenalan dan bukan keintiman. Kita tidak akan pernah tahu informasi pribadi tentangnya seperti cinta, takut, harapan, kepercayaan, rahasia, pemikiran, dan hal pribadi lainnya. Berbeda jika kita mencoba mengenalnya secara langsung, selain mendapatkan informasi tentangnya, kita juga bisa mendapatkan persahabatan yang terpercaya, pertemanan yang tulus, dan kesetiaan. Tetapi, bahkan dengan cara seperti ini, kita belum bisa mendapat semua pengetahuan dengannya. Karena seberapapun keintiman hubungan kita, akan selalu ada rahasia yang yang ditutupinya. Dari ilustrasi ini kita dapat menurunkan kondisi dasar yang pasti secara analogis dengan pengetahuan jenis pertama. Pertama, hasrat seseorang yang memberikan pengetahuan tentang dirinya untuk diketahui. Kedua, pemberian pengetahuan itu menyentuh pada tingkatan yang sama dalam wujud. Ketiga, diizinkan untuk mendekat dan mengetahuinya, seseorang yang mencari tahu harus mengikuti aturan orang yang dicari tahu. Keempat, pemberian pengetahuan tentang dirinya berdasarkan kepercayaan setelah periode yang dipertimbangkan sebagai ujian kesetiaan, ketulusan, ketaatan, dan kapasitas untuk mengetahui. Maka dengan cara yang sama atau lebih, hal tersebut merupakan pengetahuan yang diberikan oleh Allah.  Seperti yang Allah firmankan bahwa Dia telah menciptakan manusia hanya untuk melayaninya, kemudian dengan pelayanan dalam pengertian yang mendalam secara mendasar yang bermakna pengetahuan, sehingga tujuan-Nya menciptakan agar makhluk mengenalinya. Sebagaimana hadits qudsiy:
Aku adalah Harta Yang Tersembunyi, dan Aku berhasrat untuk diketahui, maka Aku ciptakan makhluk sehingga Aku mungkin dikenali.
Jadi, Allah mewahyukan diri-Nya pada jiwa rasional manusia yang menguasai organ komunikasi dan kondiisi spiritual seperti hati yang mengenali-Nya, ruh yang mencintainya, dan jiwa yang merenungkannya. Pada kondisi ketiga ini, manusia mendekati Allah dengan ketundukan tulus kepada kehendak-Nya dan kepatuhan absolut kepada hukum-Nya; dengan kesadaran dirinya pada perintah, larangan, dan peraturan-Nya; dengan menunjukkan ketaatan dan ibadah nawafil yang diterima dan berkenaan bagi-Nya; memperoleh hubungan kepercayaan dan pertemanan-Nya; sehingga memiliki kapasitas untuk menerima pengetahuan dari Allah. Sebagaimana hadits qudsiy:
Pelayan-Ku tidak berhenti untuk dekat dengan-Ku dengan ibadah nawafil sehingga Aku mencintainya; dan ketika Aku mencintainya maka Aku adalah pendengarannya, sehingga dia mendengar dengan-Ku, dan penglihatannya, sehingga dia melihat dengan-Ku, dan lidahnya, sehingga dia berbicara dengan-Ku, dan tangannya, sehingga dia mengambil dengan-Ku.
Sebagaimana pada kondisi keempat tentang kepercayaan, bagian tersebut dengan sendirinya sudah jelas. Pengetahuan seperti ini memberi kebenaran dan kepastian dalam tatanan yang lebih tinggi dari pada yang diperoleh dari pengetahuan jenis kedua. Dan karena ini dan fakta bahwa pengetahuan ini yang menyentuh jiwa atau diri manusia, pemenuhan perjanjiannya dengan allah, pengetahuan akan persyaratannya, maka pengetahuan ini tidak mungkin terpisah dari etika dan moralitas Islami.  Dan pengetahuan dan praktek demikianlah yang membimbing dan memerintah diri kita dalam perilaku sehari-hari, serta meletakkan nilai kita dengan benar. Pengetahuan pertama menyibak misteri being dan eksistensi, dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri manusia dengan Rabbnya. Ada batas bagi manusia pada pengetahuan pertama, sedangkan tidak ada batas pada pengetahuan yang kedua, sehingga para intelektual mendorong terjadinya pencarian terus-menerus dengan keraguan dan kecurigaan. Padahal waktu manusia di bumi terbatas, sehingga manusia yang dibimbing secara benar akan menyadari bahwa pencariannya harus dibatasi dan disesuaikan dengan dirinya. Karena alasan ini dan untuk mencapai keadilan, Islam membedakan pencarian dua jenis pengetahuan ini; pengetahuan yang pertama menjadi kewajiban bagi semua muslim (fard ‘ayn), dan yang lain menjadi kewajiban hanya kepada beberapa muslim (fard kifayah).
Jika Barat mencari pengetahuan dengan tujuan untuk menghasilkan warna negara yang baik, maka tujuan Islam mencari pengetahuan adalah untuk menghasilkan manusia yang baik. Akan lebih baik menghasilkan manusia yang baik daripada menghasilkan warga negara yang baik, karena manusia yang baik pasti akan menjadi warga negara yang baik, sementara warga negara yang baik belum tentu menjadi manusia yang baik. Tapi yang dimaksud dengan warga negara adalah warga negara Kerajaan yang Lain. Bagi Islam, (a) pengetahuan termasuk kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah yang benar (iman), dan (b) tujuan mencari pengetahuan adalah menanamkan kebaikan atau keadilan kepada manusia sebagai manusia dan kepada diri-sendiri.
4.    Realitas
Visi Islami tentang realitas, yang tidak lain merupakan inti metafisika Islam yang menentukan yang menentukan pandangan dunianya. Islam memfokuskan visi (shuhud) keagamaan dan metafisis tentang realitas dan pandangan dunia pada being; dan membedakan antara eksistensi (wujud) dan eksisten (mawjud), antara kesatuan (wahdah) dan kemajemukan (kathrah), antara abadi (baqa’) dan fana (fana’). Visi tentang realitas ini berdasarkan atas pengetahuan wahyu melalui pengalaman keagamaan; dan menembus realitas obyektif, metafisis, dan ontologis maupun realitas subyektif, intuitif, dan pengalaman psikologis dari realitas tersebut.
Secara fenomenologis, dalam konfirmasi visinya tentang realitas, Islam mengafirmasi being sebagai proses-menjadi atau datang-menjadi-being, karena obyek visi itu jelas, tegak, dan tidak berubah. Konfirmasi dan afirmasi ini absolut karena muncul dari kepastian pengetahuan wahyu; dan karena obyeknya permanen, maka Islam juga merupakan refleksi absolut dari obyek tersebut. Jadi, Islam sendiri seperti obyek tersebut yang menyerupai sifat-dasar ontologisnya seperti abadi dan tidak berubah; sehingga mengafirmasi dirinya lengkap dan sempurna sebagaimana dikonfirmasi firman Allah[15], dan menolak kemungkinan akan selalu evolusi menuju kesempurnaan. Jika tidak demikian maka hal itu tidak dapat benar-benar bermakna bagi Islam, pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan sejati, karena hal itu hanyalah bermakna bagi  pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan hewani manusia; dan hal itu tidak akan menjadi evolusi sejati kecuali evolusi tersebut mewujudkan dalam dirinya sifat dasar  sejatinya sebagai makhluk ruhani.
Perubahan, pengembangan, dan kemajuan menurut sudut pandang Islami merujuk pada Islam sejati yang dilakukan oleh Nabi saw, anggota keluarganya, sahabat-sahabatnya dan pengikutnya. Konsep tersebut dapat diandaikan ketika muslim menemukan dirinya tersesat dari Islam, bingung, dan tidak adil pada diri mereka sendiri. Dalam kondisi tersebut, usaha mereka sendiri untuk mengarahkan mereka kepada jalan yang lurus dan benar. Jadi bagi Islam, proses pergerakan menuju Islam sejati oleh muslim yang tersesat adalah pengembangan, dan pengembangan itu yang benar-benar dapat disebut sebagai kemajuan. Kemajuan bukan proses-menjadi atau datang-menjadi-being , kemajuan hanya dapat mengandung makna sejati ketika merujuk pada sesuatu yang sudah jelas berdiri secara permanen atau sudah being. Mereka yang sedang meraba dalam gelap tidak dapat disebut sedang maju.
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.[16]
Pandangan dunia Islami tidak boleh disalahpahami sebagai dualisme, karena meskipun ada dua unsur yang terlibat, namun yang satu abadi dan independen sedangkan yang lain tergantung padanya; yang satu absolut dan yang lain relatif; yag satu nyata dan yang lain perwujudan kenyataan tersebut. Jadi hanya ada Satu Realitas dan Kebenaran, semua nilai Islami hanya merujuk kepada-Nya. Dengan cara ini, maka muslim telah mampu menghidupi kehidupan mereka sesuai dengan kepercayaan-lemah tanpa terpengaruh tantangan dalam pergantian eksistensi duniawi.
Manusia seperti pulau di tengah lautan yang diselimuti kegelapan, sehingga dia bahkan tidak mengetahui dirinya secara lengkap. Ketidakmampuan untuk menjawab pertanyaan mendalam tentang dirinya sendiri, “Siapakah aku?” atau “Apa tujuan pokokku?” berasal dari hati yang melanggar perjanjian, meragukan atau bahkan menolak Allah. Akan tetapi, muslim memiliki Al-Qur’an yang tidak berubah, tidak dalam proses berubah, dan tidak dapat dirubah; Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan dalam bentuk final dan sempurna kepada Nabi saw. Qur’an adalah petunjuk jelas yang dibawa bersamanya; tidak hanya dalam bentuk literal, tapi juga dalam lisan, pikiran, hati, sehingga menjadi inti kekuatan utama yang menggerakkan bingkai manusianya. Al-Qur’an adalah contoh, pembimbing yang baik dan sempurna dalam kehidupan.
5.    Identitas dan tujuan manusia
Menurut Al-Attas, masalah identitas dan tujuan manusia itu merupakan akar semua masalah lain yang mengepung masyarakat modern. Banyak tantangan yang muncul yang telah muncul di tengah-tengah kebingungan manusia sepanjang zaman. Yang paling serius dan merusak manusia adalah peradaban Barat, tentang bagaimana mereka memahami dan menyebarkan pengetahuan yang sifat dasarnya telah kehilangan tujuan utamanya yaitu untuk membawa kedamaian dan keadilan; pengetahuan yang nampak sejati namun merupakan hasil kebingungan dan skeptisisme yang telah mengangkat keraguan dan dugaan pada tingkat saintifik dalam metodologi.
Pengetahuan itu tidak netral, dan dapat dimasukkan sifat dasar dan isi yang menyamar sebagai pengetahuan. Peradaban Barat memasukkan pandangan dunianya, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari peradaban yang sekarang memainkan peran kunci dalam perumusan dan penyebarannya. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dimasukkan karakter dan personalitas peradaban tersebut; sulit dipisahkan dengan yang sejati, sehingga secara tidak sadar orang lain memahaminya sebagai pengetahuan sejati.

6.    Peradaban Barat
Barat merumuskan visinya akan kebenaran dan realitas tidak berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan-lemah wahyu, tetapi lebih kepada tradisi kultural yang diperkuat dengan kehidupan sekular—yang merumuskan manusia sebagai entitas fisik dan hewan rasional, menjadikan hanya intelektual manusia sebagai bekal untuk membuka seluruh misteri lingkungan dan keterlibatannya dalam eksistensi, dan menyusun hasil spekulasi yang berdasarkan premis akan nilai etis dan moral yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya sesuai spekulasi tersebut.
Jiwa pencarian dari kebudayaan dan peradaban Barat berawal dari kekecewaan terhadap agama. Jiwa tersebut bangkit dari kondisi ragu dan konflik batin. Konflik batin tersebut merupakan hasil benturan unsur-unsur yang bertentangan dan nilai yang berlawanan dalam dualisme abadi, sementara keraguan memelihara kondisi konflik tersebut. Kondisi ini menghasilkan hasrat yang tak terpenuhi untuk mencari dan naik pada perjalanan abadi akan penemuan. Pencarian tersebut tak terpenuhi dan perjalanan menjadi abadi karena keraguan tidak pernah selesai, sehingga apa yang dicari tidak pernah benar-benar ditemukan, dan  yang ditemukan tidak pernah benar-benar memuaskan tujuan sejatinya. Hal ini seperti seseorang yang kehausan yang sedang mencari air pengetahuan, kemudian menilainya kurang menarik dan mulai mengeraskan gelasnya dengan garam keraguan, sehingga meskipun dia minum secara terus-menerus tidak dapat menghilangkan rasa hausnya, malah melupakan tujuan asal untuk apa dia mencari air itu. Kebenaran mendasar dari agama hanya dipandang sebagai teori atau dibuang sebagai ilusi; nilai absolut ditolak dan nilai relatif diafirmasi. Akibatnya terhadap pengetahuan adalah menolak Allah dan akhirat, serta mengafirmasi manusia dan dunianya. Manusia dituhankan dan tuhan dimanusiakan. Apa yang disebut perubahan, perkembangan, dan kemajuan bagi peradaban Barat merupakan hasil pencarian yang tak terpuaskan, dan merupakan perjalanan abadi yang muncul dari keraguan dan konflik batin.
Inti, jiwa, karakter, dan personalitas kebudayaan dan peradaban Barat dibentuk dengan hanya mengandalkan kekuatan intelek manusia untuk membimbing manusia menjalani kehidupan; ketaatan pada keabsahan visi dualistik tentang realitas dan kebenaran; afirmasi realitas akan aspek sementara dari eksistensi yang memproyeksikan sebuah pandangan dunia sekular; mendukung doktrin humanisme; membuat drama dan tragedi sebagai unsur nyata dan dominan dalam sifat dasar dan eksistensi manusia. Unsur-unsur inilah yang menentukan kebudayaan dan peradaban tersebut akan cetakan konsep pengetahuan dan arah tujuannya, perumusan isi dan sistematisasi penyebarannya sehingga pengetahua tersebut yang sekarang secara sistematis disebarkan ke seluruh dunia bukan merupakan pengetahuan sejati. Maka unsur-unsur inilah yang harus diidentifikasi, dipisah, dan diisolasi dari tubuh pengetahuan.
Akan tetapi, ujian pengetahuan sejati adalah dalam diri manusia sendiri. Jika melalui sebuah iterpretasi alternatif atas pengetahuan kemudian manusia mengetahui dirinya dan tujuan utamanya, dan dengan mengetahuinya dia mencapai kebahagiaan, maka pengetahuan itu—meski wujudnya diilhami dengan unsur-unsur tertentu yang menentukan bentuk karakteristik yang dipahami dan dinilai dan diinterpretasikan berdasarkan tujuan yang diluruskan pada pandangan dunia tertentu—merupakan pengetahuan sejati, karena pengetahuan tersebut telah memenuhi tujuan manusia untuk mengetahui.
























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.      Menurut Al-Attas, kata kerja dāna yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang. Seseorang yang sedang berhutang, maka dia akan patuh dan sukarela mengikuti semua aturan yang telah disepakati di awal bersama kreditor. Melihat bahwa manusia tidak memiliki apapun untuk membayar hutangnya, kecuali kesadarannya sendiri akan fakta bahwa dirinya adalah inti hutang tersebut. Dia adalah hutang itu-sendiri yang harus kembali pada Pemiliknya. Dia harus membayar dengan dirinya yaitu mengembalikan dirinya kepada Allah yang memiliki dirinya secara absolut. Mengembalikan hutang berarti menyerahkan diri dalam pelayanan atau khidmah kepada Pemiliknya, atau memperbudak dirinya dengan maksud memenuhi peraturan-Nya dan patuh terhadap hukum-Nya. Ketundukan yang terpaksa akan memperlihatkan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan adalah serupa dengan kesalahpahaman (misbelief) yang merupakan bentuk dari ketidakpercayaan (kufr).
2.      Manusia sejati hanya dapat diwujudkan dengan menjadi jiwa rasional. Jika manusia membiarkan jiwa hewani atau jasmaninya mendapatkan yang lebih darinya, maka dia telah melakukan tindakan yang dilarang dan tidak menyenangkan Allah; atau jika dia sama sekali meninggalkan kepercayaan-lemah, maka dia telah mengingkari perjanjiannya dengan Allah. Sehingga dia yang berbuat demikian akan membawa bencana pada dirinya karena telah berbuat tidak adil pada dirinya sendiri. Dia pun telah berdusta terhadap dirinya sendiri.











DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena, tidak diterbitkan.
http://www.anekamakalah.com/2012/04/konsep-ad-din-al-din-menurut-al-attas.html.















































GLOSARIUM

Absolut                         : Mutlak.
Eksistensi                      : Keberadaan.
Embrionik                     : Berkaitan dengan janin.
Entitas                           : Wujud.
Esensial                         : Mendasar.
Etis                                : Sesuai dengan asas etika yang berlaku secara umum.
Implementasi                : Penerapan.
Inheren                          : Berhubungan erat.
Intuitif                          : Berdasarkan suara hati.
Kosmopolitan               : Mempunyai wawasan dan pengetahuan luas.
Kosmos                         : Alam semesta.
Makrokosmos               : Alam semesta.
Metodologi                   : Ilmu tentang metode.
Mikrokosmos                : Dunia kecil.
Premis                           : Dasar pemikiran.
Relevan                         : Bersangku-paut.
Spekulasi                       : Pendapat atau dugaan yg tidak berdasarkan kenyataan.


[1] http://www.anekamakalah.com/2012/04/konsep-ad-din-al-din-menurut-al-attas.html.
[2] QS. Al-Mu’minuun[23]: 12-14.
[3] QS. Al-A’raaf[7]: 172
[4] QS. Al-‘Asyri[103]: 2.
[5] QS. An-Nisaa’[4]: 125.
[6] QS. Ali Imraan[3]: 85.
[7] QS. Ali Imraan[3]: 19.
[8] QS. Al-Baqarah[2]: 164.
[9] QS. Al-Baqarah[2]: 245.
[10] QS. Adz-Dzaariyaat[[51]: 56.
[11] QS. Ali Imraan[3]: 83.
[12] QS. Al-Fajr[89]: 27-30.
[13] Jiwa rasional yang dimaksud adalah jiwa muthmainnah, yaitu jiwa yang telah mampu mengendalikan jiwa hewaninya dengan jiwa rasionalnya.
[14] Lihat An-Nisa[4]: 123, Yunus[10]: 44.
[15] Lihat QS. Al-Maidah[5]: 4.
[16] QS. Al-Baqarah[2]: 17-20.

0 Komentar at “Konsep Agama dan Fondasi Etika dan Moralitas”

Posting Komentar