Pluralisme Agama



BAB I
PENDAHULUAN


A.           Latar Belakang Masalah
Manusia dikaruniai akal dengan kadar kemampuan, jenis, serta jumlah informasi yang berbeda. Informasi yang dialami manusia pun berbeda. Belum lagi sikap apriori atau fanatisme yang menyebabkan munculnya perbedaan pandangan atau sikap. Hal ini memungkinkan tiap manusia memahami sesuatu dengan berbeda pula.[1]
Dalam menyikapi keragaman agama, manusia pasti akan mengalami perbedaan-perbedaan konsepsi di antara agama-agama tersebut. Perbedaan itu terjadi hampir di semua aspek dalam agama, baik konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi sistem pengaturan kehidupan. Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsepsi itulah yang menjadi sumber konflik utama antara umat manusia.[2]
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah memunculkan berbagai upaya penafsiran kembali ajaran-ajaran agama untuk tujuan perdamaian. Salah satu di antaranya adalah  upaya pengabaian perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada, kemudian dicarikan titik temu tertentu. Gagasan ini selanjutnya dikenal sebagai pluralisme.[3]

B.            Rumusan Masalah
1.             Pengertian Pluralisme Agama.
2.             Faktor timbulnya Pluralisme Agama.
3.             Kajian kritis terhadap Pluralisme Agama.
4.             Pemetaan Pluralisme Agama.

C.           Tujuan Masalah
1.             Mengetahui pengertian Pluralisme Agama.
2.             Mengetahui faktor timbulnya Pluralisme Agama.
3.             Mengetahui kajian kritis terhadap Pluralisme Agama.
4.             Mengetahui pemetaan Pluralisme Agama.

BAB II
PEMBAHASAN


A.           Pengertian Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme berasal dari kata pluralism yang berarti plural (beragam), jamak, atau majemuk. Sedangkan secara terminologis, pluralisme yaitu suatu pandangan atau paham yang memiliki prinsip bahwa keanekaragaman itu tidak dapat menghalangi untuk bisa hidup berdampingan secara damai dalam satu masyarakat yang sama.[4]
Di Indonesia, Pluralisme dipadankan dengan inklusivisme. Gagasan ini diartikan sebagai pilihan keagamaan yang mengakui dan menerima kebenaran agama lain. Apalagi jika tujuannya dikatakan untuk menemukan common platform demi terwujudnya kebersamaan dan kerukunan antarumat beragama. Namun pada hakikatnya, inklusivisme cukup berbahaya. Dia mengajarkan bahwa agama bukanlah sau-satunya jalan keselamatan. Kita tidak boleh menganggap penganut agama lain akan menghuni neraka. Asal mereka beriman dan berbuat baik, agama apapun bisa saja selamat. Menurur mereka, Islam berarti penyerahan diri kepada tuhan,  meskipun secara formal dia berada di luar agama Islam, dia boleh disebut muslim.[5]
John Hick, seorang teolog Modern yang mengemukakan pemikiran pluralisme agama yang terkenal dan kontroversial, mengatakan bahwa pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut- dan terjadi, sejauh yang diamati, sampai pada batas yang sama. Definisi Hick tersebut menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari Realitas yang Satu.[6]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pluralisme agama adalah kondisi keragaman agama di suatu wilayah, yang memungkinkan mereka untuk hidup berdampingan tanpa menghilangkan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.

B.            Faktor Timbulnya Pluralisme Agama
Manusia dikaruniai akal dengan kadar kemampuan, jenis, serta jumlah informasi yang berbeda. Informasi yang dialami manusia pun berbeda. Belum lagi sikap apriori atau fanatisme yang menyebabkan munculnya perbedaan pandangan atau sikap. Hal ini memungkinkan tiap manusia memahami sesuatu dengan berbeda pula.[7]
Dalam menyikapi keragaman agama, manusia pasti akan mengalami perbedaan-perbedaan konsepsi di antara agama-agama tersebut. Perbedaan itu terjadi hampir di semua aspek dalam agama, baik konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi sistem pengaturan kehidupan.[8]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor timbulnya pluralisme agama dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internalnya adalah sebagai berikut:
1)        Keyakinan konsep ketuhanannya adalah yang paling benar (Truth Claim). Jika kita membandingkan tiga agama langit (Yahudi, Kristen, dan Islam), kita akan menemukan konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Yahudi mengklaim bahwa Yahweh adalah tuhan bagi mereka saja, Kristen yakin bahwa tuhan bereinkarnasi dalam bentuk manusia, dan Islam yakin bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Apalagi jika ditambah dengan agama lainnya, konsep ketuhanan akan semakin banyak ragamnya.
2)        Keyakinan bahwa agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Tidak hanya agama-agama langit saja yang meyakini bahwa jalan keselamatan ada pada agama mereka, tapi juga agama-agama lain di dunia pun mengklaim keyakinan tersebut.
3)        Keyakinan sebagai umat pilihan. Keyakinan sebagai bangsa terpilih oleh Tuhan merupakan suatu aqidah yang hampir didapati dalam semua agama. Pada prinsipnya aqidah ini lebih dikena43aqqc;l di kalangan agama-agama samawi dibanding agama-agama lain. Dalam agama Yudaisme, kitab-kitab sucinya menjelaskan pemilihan tuhan kepada mereka. Bahkan Al-Qur’an surat Ad-Dukhan[44] ayat 32 juga telah menguatkan hal ini  dengan firman Allah,
Ïs)s9ur öNßg»tR÷ŽtI÷z$# 4n?tã AOù=Ïã n?tã tûüÏHs>»yèø9$# ÇÌËÈ  
 “dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa (yang ada pada masa mereka itu).”[9]
Berdasarkan ketiga faktor ini, para penggagas pluralisme melihat konflik yang terjadi seringkali dilandasi oleh keyakinan-keyakinan internal agama itu sendiri. Sehingga konsep tentang ketuhanan, jalan keselamatan, dan umat pilihan harus didefinisikan ulang agar agama tidak lagi berwajah ekslusif.
Kenyataannya, tidak semua konflik dipicu oleh perbedaan konsepsi agama yang berbeda-beda. Konflik yang terjadi bisa karena faktor eksternal sebagai berikut:
1)      Pergeseran cara pandang kajian terhadap agama. Dalam kajian agama yang seharusnya berpijak pada keyakinan, kajian ilmiah modern memposisikan agama sebagai obyek kajian yang sama sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu berpijak pada keraguan. Hal ini sangat sejalan dengan kebanyakan agama, tapi tidak untuk agama Islam karena dasar agama Islam adalah keyakinan.
2)      Faktor ideologis dari kapitalisme untuk melanggengkan kuasanya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan serta perdamaian dunia, kapitalisme agama adalah gagasan yang terus disuarakan oleh kapitalisme global yang digalang oleh Amerika Serikat untuk mengahalang kebangkitan Islam. [10]

C.           Kajian Kritis terhadap Pluralisme Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam mengakui keberadaan ragam suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam. Allah berfirman,
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah.[11]
Keragaman ini sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad saw., beliau dilahirkan di tengah masyarakat Arab yang berlatar belakang agama berbeda seperti Paganisme, Yahudi, Nasrani dan lainnya. Sikap toleransi yang diwujudkan oleh Nabi Muhammad saw. saat itu adalah Perjanjian Madinah, yaitu perjanjian yang menjunjung kebebasan beragama dan memberikan perlindungan kepada kaum minoritas sebagai ahlul dhimmi.
Islam hanya mengakui keberadaan ragam agama, namun Islam tidak mengakui kebenaran ragam agama tersebut. Sangat mustahil apabila semua agama dapat bersatu jika konsepsi mereka tentang ketuhanan dan kenabian saja sudah begitu beragam.[12] Allah dengan tegas menyatakan,
¨bÎ) šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.”[13]
Allah swt. pun menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani, ataupun agama-agama lainnya.
ÏMs9$s%ur ߊqßguø9$# í÷ƒtãã ßûøó$# «!$# ÏMs9$s%ur t»|Á¨Y9$# ßxŠÅ¡yJø9$# ÚÆö/$# «!$# ( šÏ9ºsŒ Oßgä9öqs% óOÎgÏdºuqøùr'Î/ ( šcqä«Îg»ŸÒムtAöqs% tûïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 `ÏB ã@ö6s% 4 ÞOßgn=tG»s% ª!$# 4 4¯Tr& šcqà6sù÷sムÇÌÉÈ   (#ÿräsƒªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrߊ «!$# yxÅ¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã šcqà2̍ô±ç ÇÌÊÈ  
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”[14]





Serta memandang mereka sebagai orang-orang kafir
ôs)s9 txÿŸ2 šúïÏ%©!$# (#þqä9$s% žcÎ) ©!$# uqèd ßxŠÅ¡yJø9$# ßûøó$# zOtƒótB ( tA$s%ur ßxŠÅ¡yJø9$# ûÓÍ_t7»tƒ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) (#rßç6ôã$# ©!$# În1u öNà6­/uur ( ¼çm¯RÎ) `tB õ8ÎŽô³ç «!$$Î/ ôs)sù tP§ym ª!$# Ïmøn=tã sp¨Yyfø9$# çm1urù'tBur â$¨Y9$# ( $tBur šúüÏJÎ=»©à=Ï9 ô`ÏB 9$|ÁRr& ÇÐËÈ  
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam’, Padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”[15]
Pada tanggal 29 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa yang lebih tegas. MUI secara tegas menyatakan bahwa sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama adalah pemahaman yang menyimpang dari ajaran Islam. Menurut penjelasan dalam fatwa ini, pluralisme secara empirik adalah “...suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.” Dengan demikian, pluralisme telah melangkah jauh dari batas-batas toleransi yang dibenarkan oleh agama.[16]
2.             Menurut Fundamentalisme
Di satu sisi, fundamentalisme adalah fungsi dominasi ahli syariah yang memiliki kebebasan menafsir doktrin Islam sesuai kondisi objektif yang mengitarinya. Pada sisi lain, keberadaan ahli syariah merupakan prasyarat bagi realisasi aturan syariah dan untuk memelihara identitas diri sebagai “orang-orang Islam.”[17]
Pada sisi lainAl-Attas dalam buku Wajah Peradaban Barat karangan Adian Husaini mengatakan bahwa tata cara dan bentuk penyerahan diri kepada tuhan yang terdapat dalam suatu agama pastilah terkait dengan konsepsi tentang tuhan dalam agama itu. Oleh karena itu, konsepsi tentang tuhan dalam agama tersebut sangat menentukan bentuk artikulasi ketundukan yang benar. Ketundukan menurut Islam adalah ketundukan yang tulus dan sungguh-sungguh terhadap kehendak Allah.[18] Bentuk ketundukan yang berkembang sesuai dengan budaya  dapat dimasukkan ke dalam jenis ketundukan yang tidak sukarela dan akhirnya dapat menyebabkan kekafiran.
Adian Husaini pesimis terhadap konsep pluralisme untuk menyatukan keberagaman agama. Dia menyatakan bahwa konsepsi tentang tuhan yang beragam tidak akan mampu menjadi solusi atas masalah tersebut. Jika tujuan pluralisme adalah untuk menghindari konflik yang diduga disebabkan oleh faktor agama, maka pengabaian fakta bahwa konsepsi agama memanglah berbeda dapat memicu konflik tidak terduga, karena gagasan pluralisme tidak mungkin diterima oleh semua pemeluk agama.
Atas pandangan kedua tokoh tersebut, penulis menyimpulkan bahwa fundamentalis memandang pluralisme sebagai upaya dekonstruksi atau reduksi makna dan konsep Islam. Sehingga, jika seseorang menerapkan paham ini, maka dia sedang berusaha keluar dari jalan Islam yang benar.
3.             Menurut Liberalisme
Dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja sesuai kecenderungan, kehendak, dan selera masing-masing. Bahkan, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya, konsep amar ma’ruf nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme.[19]
Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal adalah bahwa ajaran Islam harus disesuaikan  dengan perkembangan zaman. Al-Qur’an dan hadits harus dikritisi dan ditafsirkan ulang dengan menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya, serta tunduk pada aturan pergaulan internal berdasarkan hak asasi manusia, pluralisme dan lain-lain.[20]
Menurut Gus Dur dalam buku NU Liberal karangan Mujamil Qomar, isu kristenisasi sebenarnya muncul dari semangat sektarianisme. Padahal kita hidup dalam pluralisme. Kita kaya dan kuat karena menjaga jiwa pluralistik. Pluralisme terjaga kalau ada demokrasi. Jika suatu masyarakat demokratis, Islam akan terjamin. Karena dalam masyarakat yang luas dan harmonis yang masing-masing unsur menghargai unsur lainnya, rasanya tidak mungkin umat Islam membentuk komunitas sendiri yang terpisah dan hubungan sosial yang terputus dengan komunitas lainnya.[21]
Menyematkan budaya ke dalam Islam merupakan salah satu bentuk pluralisme. Namun penulis menyimpulkan bahwa selama budaya itu tidak menggeser nilai keislaman itu sendiri demi Islamisasi, maka pluralisme diperbolehkan.

D.           Pemetaan Pluralisme Agama
Dalam membuat tipologi pluralisme, Kuntowijoyo menggunakan istilah pluralisme negatif dan pluralisme positif.
1)   Istilah pluralisme negatif digunakan untuk menunjukkan sikap keberagamaan seseorang yang sangat ekstrim ketika misalnya mengatakan bahwa beragama itu ibarat memakai baju sehingga dia bisa menggantinya kapan saja dikehendaki. Jadi terdapat pengakuan bahwa ada banyak agama. Secara prinsip, pernyataan ini memang sesuai realitas. Tetapi dengan menyatakan bahwa perpindahan agama itu wajar terjadi, semudah orang mengganti baju, tentu merupakan hal yang dapat menimbulkan kontroversi.
2)   Pluralisme positif merupakan sikap keberagamaan yang sangat mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap pendapat, pilihan hidup dan keyakinan keagamaan. Dalam tipologi pluralisme positif, seorang yang sudah beragama tetap memegang teguh dan melaksanakan keyakinan agamanya. Tetapi, dia memahami bahwa ada agama lain yang hidup bersandingan dengan agama yang dianutnya, sehingga dia harus menghargai pemeluk agama lain tersebut.










BAB III
PENUTUP


A.           Kesimpulan
1.             Pluralisme agama adalah kondisi keragaman beragama di suatu wilayah, yang memungkinkan mereka untuk hidup berdampingan tanpa menghilangkan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.
2.             Faktor penyebab timbulnya pluralisme agama ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal dianggap sebagai pemicu konflik oleh penggagas pluralisme, padahal konflik yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh faktor internal saja melainkan juga faktor eksternal. Adanya faktor internal yang dianggap sebagai pemicu konflik antar pemeluk agama melahirkan pluralisme agama yang bertujuan untuk menghilangkan eksistensi faktor tersebut.
3.             a) Islam memang mengakui keberadaan ragam agama, namun Islam tidak mengakui kebenaran ragam agama tersebut. Kita dapat hidup berdampingan satu sama lain tanpa menyingkirkan nilai-nilai dalam agama kita.
b) Fundamentalis memandang pluralisme sebagai upaya dekonstruksi atau reduksi makna dan konsep Islam. Sehingga, jika seseorang menerapkan paham ini, maka dia sedang berusaha keluar dari jalan Islam yang benar.
c) Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal adalah bahwa ajaran Islam harus disesuaikan  dengan perkembangan zaman. Al-Qur’an dan hadits harus dikritisi dan ditafsirkan ulang. Namun penulis menyimpulkan bahwa selama budaya itu tidak menggeser nilai keislaman itu sendiri demi Islamisasi, maka pluralisme diperbolehkan.
4.             Dalam membuat tipologi pluralisme, Kuntowijoyo menggunakan istilah pluralisme negatif dan pluralisme positif. Istilah pluralisme negatif digunakan untuk menunjukkan sikap keberagamaan seseorang yang sangat ekstrim, karena dengan menyatakan bahwa perpindahan agama itu wajar terjadi, semudah orang.   Pluralisme menjadi negatif saat dia menyentuh nilai-nilai Islam sendiri. Sedangkan pluralisme positif merupakan sikap keberagamaan yang sangat mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap pendapat, pilihan hidup dan keyakinan keagamaan. Dia memahami bahwa ada agama lain yang hidup bersandingan dengan agama yang dianutnya, sehingga dia harus menghargai pemeluk agama lain tersebut.
DAFTAR PUSTAKA


Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Husaini, Adian, Tinjauan Historis Konflik Yahudi—Kristen—Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004).
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
Mulkhan, Abdul Munir, Islam Murni dalam Masyarakat Petani. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000)
Mundzirin, Yusuf, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005).
Qomar, Mujamil, NU Liberal: Dari Tradisionalisme ahlussunnah ke universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002).
Zainuddin, Pluralisme Agama Pergaulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia, (Malang: UIN Malang Press, 2010).
http://kemenag.go.id/file/dokumen/TELAAHKRITISPLURALISMEAGAMA.pdf.
http://ppilebanon.wordpress.com/about/redaksi-bulleti/pluralisme-agama-adalah-paham-yang-bertentangan-dengan-ajaran-islam/.
http://www.al-intima.com/ghazwul-fikri/pluralisme-agama.
(Al-Qur’an Terjemah  Pustaka Alfatih).


[1] Husaini, Adian, Tinjauan Historis Konflik Yahudi—Kristen—Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 1-2.
[2] Ibid.
[3] Ibid, hlm. 3.
[4] Mundzirin, Yusuf, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 30.
[5] Ibid, hlm. 83.
[6] Ibid, hlm. 24-25.
[7] Husaini, Adian, Tinjauan Historis Konflik Yahudi—Kristen—Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 1-2.
[8] Ibid.
[9] QS. Ad-Dukhan[44]: 32 (Al-Qur’an Terjemah  Pustaka Alfatih).
[10] http://kemenag.go.id/file/dokumen/TELAAHKRITISPLURALISMEAGAMA.pdf
[11] QS. Al-Hujurat[49]: 13 (Al-Qur’an Terjemah  Pustaka Alfatih).
[12] Husaini, Adian, Tinjauan Historis Konflik Yahudi—Kristen—Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 8.
[13] QS. Ali ‘Imran[3]: 19 (Al-Qur’an Terjemah  Pustaka Alfatih).
[14] QS At-Taubah [9]: 30-31 (Al-Qur’an Terjemah  Pustaka Alfatih).
[15] QS al-Maidah [5]: 72 (Al-Qur’an Terjemah  Pustaka Alfatih).
[16] http://www.al-intima.com/ghazwul-fikri/pluralisme-agama
[17] Mulkhan, Abdul Munir, Islam Murni dalam Masyarakat Petani. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 91.
[18] Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005),  hlm. 355-358.
[19] Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 77.
[20] Ibid, hlm. 79.
[21] Qomar, Mujamil, NU Liberal: Dari Tradisionalisme ahlussunnah ke universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002).

0 Komentar at “Pluralisme Agama”

Posting Komentar