BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia dikaruniai akal dengan kadar kemampuan,
jenis, serta jumlah informasi yang berbeda. Informasi yang dialami manusia pun
berbeda. Belum lagi sikap apriori atau fanatisme yang menyebabkan munculnya
perbedaan pandangan atau sikap. Hal ini memungkinkan tiap manusia memahami
sesuatu dengan berbeda pula.[1]
Dalam menyikapi keragaman agama, manusia pasti akan
mengalami perbedaan-perbedaan konsepsi di antara agama-agama tersebut.
Perbedaan itu terjadi hampir di semua aspek dalam agama, baik konsepsi tentang
Tuhan maupun konsepsi sistem pengaturan kehidupan. Sebagian kalangan
berpendapat bahwa perbedaan konsepsi itulah yang menjadi sumber konflik utama
antara umat manusia.[2]
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama
sebagai sumber konflik, telah memunculkan berbagai upaya penafsiran kembali
ajaran-ajaran agama untuk tujuan perdamaian. Salah satu di antaranya
adalah upaya pengabaian perbedaan
konsepsi di antara agama-agama yang ada, kemudian dicarikan titik temu
tertentu. Gagasan ini selanjutnya dikenal sebagai pluralisme.[3]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian Pluralisme Agama.
2.
Faktor timbulnya Pluralisme Agama.
3.
Kajian kritis terhadap Pluralisme Agama.
4.
Pemetaan Pluralisme Agama.
C.
Tujuan
Masalah
1.
Mengetahui pengertian Pluralisme Agama.
2.
Mengetahui faktor timbulnya Pluralisme
Agama.
3.
Mengetahui kajian kritis terhadap
Pluralisme Agama.
4.
Mengetahui pemetaan Pluralisme Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme berasal dari kata pluralism
yang berarti plural (beragam), jamak, atau majemuk. Sedangkan secara
terminologis, pluralisme yaitu suatu pandangan atau paham yang memiliki prinsip
bahwa keanekaragaman itu tidak dapat menghalangi untuk bisa hidup berdampingan
secara damai dalam satu masyarakat yang sama.[4]
Di Indonesia,
Pluralisme dipadankan dengan inklusivisme. Gagasan ini diartikan sebagai
pilihan keagamaan yang mengakui dan menerima kebenaran agama lain. Apalagi jika
tujuannya dikatakan untuk menemukan common platform demi terwujudnya
kebersamaan dan kerukunan antarumat beragama. Namun pada hakikatnya,
inklusivisme cukup berbahaya. Dia mengajarkan bahwa agama bukanlah sau-satunya
jalan keselamatan. Kita tidak boleh menganggap penganut agama lain akan
menghuni neraka. Asal mereka beriman dan berbuat baik, agama apapun bisa saja
selamat. Menurur mereka, Islam berarti penyerahan diri kepada tuhan, meskipun secara formal dia berada di luar
agama Islam, dia boleh disebut muslim.[5]
John Hick, seorang teolog Modern yang mengemukakan pemikiran pluralisme
agama yang terkenal dan kontroversial, mengatakan bahwa pluralisme agama adalah
suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi
yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap,
Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang
bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju
pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata
kultural manusia tersebut- dan terjadi, sejauh yang diamati, sampai pada batas
yang sama. Definisi Hick tersebut menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah
merupakan manifestasi-manifestasi dari Realitas yang Satu.[6]
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pluralisme agama adalah kondisi keragaman agama
di suatu wilayah, yang memungkinkan mereka untuk hidup berdampingan tanpa
menghilangkan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.
B.
Faktor
Timbulnya Pluralisme Agama
Manusia
dikaruniai akal dengan kadar kemampuan, jenis, serta jumlah informasi yang
berbeda. Informasi yang dialami manusia pun berbeda. Belum lagi sikap apriori
atau fanatisme yang menyebabkan munculnya perbedaan pandangan atau sikap. Hal
ini memungkinkan tiap manusia memahami sesuatu dengan berbeda pula.[7]
Dalam menyikapi keragaman
agama, manusia pasti akan mengalami perbedaan-perbedaan konsepsi di antara
agama-agama tersebut. Perbedaan itu terjadi hampir di semua aspek dalam agama,
baik konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi sistem pengaturan kehidupan.[8]
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa faktor timbulnya pluralisme agama dapat dibagi menjadi dua,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internalnya adalah sebagai
berikut:
1)
Keyakinan konsep ketuhanannya adalah
yang paling benar (Truth Claim). Jika
kita membandingkan tiga agama langit (Yahudi, Kristen, dan Islam), kita akan
menemukan konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Yahudi mengklaim bahwa Yahweh
adalah tuhan bagi mereka saja, Kristen yakin bahwa tuhan bereinkarnasi dalam
bentuk manusia, dan Islam yakin bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Apalagi
jika ditambah dengan agama lainnya, konsep ketuhanan akan semakin banyak
ragamnya.
2)
Keyakinan bahwa agamanyalah yang menjadi
jalan keselamatan. Tidak hanya agama-agama langit saja yang meyakini bahwa
jalan keselamatan ada pada agama mereka, tapi juga agama-agama lain di dunia
pun mengklaim keyakinan tersebut.
3)
Keyakinan sebagai umat pilihan.
Keyakinan sebagai bangsa terpilih oleh Tuhan merupakan suatu aqidah yang hampir
didapati dalam semua agama. Pada prinsipnya aqidah ini lebih dikena43aqqc;l di
kalangan agama-agama samawi dibanding agama-agama lain. Dalam agama Yudaisme,
kitab-kitab sucinya menjelaskan pemilihan tuhan kepada mereka. Bahkan Al-Qur’an
surat Ad-Dukhan[44] ayat 32 juga telah menguatkan hal ini dengan firman Allah,
Ïs)s9ur öNßg»tR÷tI÷z$# 4n?tã AOù=Ïã n?tã tûüÏHs>»yèø9$# ÇÌËÈ
“dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka
dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa (yang ada pada masa mereka itu).”[9]
Berdasarkan ketiga faktor ini, para penggagas
pluralisme melihat konflik yang terjadi seringkali dilandasi oleh
keyakinan-keyakinan internal agama itu sendiri. Sehingga konsep tentang
ketuhanan, jalan keselamatan, dan umat pilihan harus didefinisikan ulang agar
agama tidak lagi berwajah ekslusif.
Kenyataannya,
tidak semua konflik dipicu oleh perbedaan konsepsi agama yang berbeda-beda. Konflik
yang terjadi bisa karena faktor eksternal sebagai berikut:
1) Pergeseran
cara pandang kajian terhadap agama. Dalam kajian agama yang seharusnya berpijak
pada keyakinan, kajian ilmiah modern memposisikan agama sebagai obyek kajian
yang sama sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu berpijak pada
keraguan. Hal ini sangat sejalan dengan kebanyakan agama, tapi tidak untuk
agama Islam karena dasar agama Islam adalah keyakinan.
2) Faktor
ideologis dari kapitalisme untuk melanggengkan kuasanya di dunia. Selain
isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan serta perdamaian dunia,
kapitalisme agama adalah gagasan yang terus disuarakan oleh kapitalisme global
yang digalang oleh Amerika Serikat untuk mengahalang kebangkitan Islam. [10]
C.
Kajian
Kritis terhadap Pluralisme Agama
Tidak
dapat dipungkiri bahwa Islam mengakui keberadaan ragam suku dan bangsa serta
identitas-identitas agama selain Islam. Allah berfirman,
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan
Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling
bertakwa di sisi Allah.”[11]
Keragaman ini sudah
ada sejak jaman Nabi Muhammad saw., beliau dilahirkan di tengah masyarakat Arab
yang berlatar belakang agama berbeda seperti Paganisme, Yahudi, Nasrani dan
lainnya. Sikap toleransi yang diwujudkan oleh Nabi Muhammad saw. saat itu
adalah Perjanjian Madinah, yaitu perjanjian yang menjunjung kebebasan beragama
dan memberikan perlindungan kepada kaum minoritas sebagai ahlul dhimmi.
Islam
hanya mengakui keberadaan ragam agama, namun Islam tidak mengakui kebenaran
ragam agama tersebut. Sangat mustahil apabila semua agama dapat bersatu jika
konsepsi mereka tentang ketuhanan dan kenabian saja sudah begitu beragam.[12] Allah dengan tegas menyatakan,
¨bÎ) úïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3
“Sesungguhnya agama yang diridhai di
sisi Allah hanyalah Islam.”[13]
Allah
swt. pun menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan
Nasrani, ataupun agama-agama lainnya.
ÏMs9$s%ur ßqßguø9$# í÷tãã ßûøó$# «!$# ÏMs9$s%ur t»|Á¨Y9$# ßxÅ¡yJø9$# ÚÆö/$# «!$# ( Ï9ºs Oßgä9öqs% óOÎgÏdºuqøùr'Î/ ( cqä«Îg»Òã tAöqs% tûïÏ%©!$# (#rãxÿ2 `ÏB ã@ö6s% 4 ÞOßgn=tG»s% ª!$# 4 4¯Tr& cqà6sù÷sã ÇÌÉÈ (#ÿräsªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrß «!$# yxÅ¡yJø9$#ur Æö/$# zNtötB !$tBur (#ÿrãÏBé& wÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã cqà2Ìô±ç ÇÌÊÈ
“Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani
berkata: "Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga
mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”[14]
Serta memandang mereka
sebagai orang-orang kafir
ôs)s9 txÿ2 úïÏ%©!$# (#þqä9$s% cÎ) ©!$# uqèd ßxÅ¡yJø9$# ßûøó$# zOtótB ( tA$s%ur ßxÅ¡yJø9$# ûÓÍ_t7»t @ÏäÂuó Î) (#rßç6ôã$# ©!$# În1u öNà6/uur ( ¼çm¯RÎ) `tB õ8Îô³ç «!$$Î/ ôs)sù tP§ym ª!$# Ïmøn=tã sp¨Yyfø9$# çm1urù'tBur â$¨Y9$# ( $tBur úüÏJÎ=»©à=Ï9 ô`ÏB 9$|ÁRr& ÇÐËÈ
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah ialah Al masih
putera Maryam’, Padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun.”[15]
Pada
tanggal 29 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa yang lebih
tegas. MUI secara tegas menyatakan bahwa sekularisme, liberalisme dan
pluralisme agama adalah pemahaman yang menyimpang dari ajaran Islam. Menurut penjelasan dalam fatwa ini,
pluralisme secara empirik adalah “...suatu paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh
karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya
saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.” Dengan demikian, pluralisme
telah melangkah jauh dari batas-batas toleransi yang dibenarkan oleh agama.[16]
2.
Menurut Fundamentalisme
Di satu sisi, fundamentalisme adalah fungsi dominasi
ahli syariah yang memiliki kebebasan menafsir doktrin Islam sesuai kondisi
objektif yang mengitarinya. Pada sisi lain, keberadaan ahli syariah merupakan
prasyarat bagi realisasi aturan syariah dan untuk memelihara identitas diri
sebagai “orang-orang Islam.”[17]
Pada sisi lainAl-Attas dalam buku Wajah Peradaban
Barat karangan Adian Husaini mengatakan bahwa tata cara dan bentuk penyerahan
diri kepada tuhan yang terdapat dalam suatu agama pastilah terkait dengan
konsepsi tentang tuhan dalam agama itu. Oleh karena itu, konsepsi tentang tuhan
dalam agama tersebut sangat menentukan bentuk artikulasi ketundukan yang benar.
Ketundukan menurut Islam adalah ketundukan yang tulus dan sungguh-sungguh
terhadap kehendak Allah.[18]
Bentuk ketundukan yang berkembang sesuai dengan budaya dapat dimasukkan ke dalam jenis ketundukan
yang tidak sukarela dan akhirnya dapat menyebabkan kekafiran.
Adian Husaini pesimis terhadap konsep pluralisme
untuk menyatukan keberagaman agama. Dia menyatakan bahwa konsepsi tentang tuhan
yang beragam tidak akan mampu menjadi solusi atas masalah tersebut. Jika tujuan
pluralisme adalah untuk menghindari konflik yang diduga disebabkan oleh faktor
agama, maka pengabaian fakta bahwa konsepsi agama memanglah berbeda dapat
memicu konflik tidak terduga, karena gagasan pluralisme tidak mungkin diterima
oleh semua pemeluk agama.
Atas pandangan kedua tokoh tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa fundamentalis memandang pluralisme sebagai upaya
dekonstruksi atau reduksi makna dan konsep Islam. Sehingga, jika seseorang
menerapkan paham ini, maka dia sedang berusaha keluar dari jalan Islam yang
benar.
3.
Menurut Liberalisme
Dalam urusan
agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa
saja sesuai kecenderungan, kehendak, dan selera masing-masing. Bahkan,
liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya, konsep amar
ma’ruf nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap
bertentangan dengan semangat liberalisme.[19]
Pemikiran dan
pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal adalah bahwa ajaran Islam harus
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Al-Qur’an dan hadits harus dikritisi dan ditafsirkan ulang dengan menggunakan
pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya, serta tunduk pada aturan
pergaulan internal berdasarkan hak asasi manusia, pluralisme dan lain-lain.[20]
Menurut Gus Dur
dalam buku NU Liberal karangan Mujamil Qomar, isu kristenisasi sebenarnya
muncul dari semangat sektarianisme. Padahal kita hidup dalam pluralisme. Kita
kaya dan kuat karena menjaga jiwa pluralistik. Pluralisme terjaga kalau ada
demokrasi. Jika suatu masyarakat demokratis, Islam akan terjamin. Karena dalam
masyarakat yang luas dan harmonis yang masing-masing unsur menghargai unsur
lainnya, rasanya tidak mungkin umat Islam membentuk komunitas sendiri yang
terpisah dan hubungan sosial yang terputus dengan komunitas lainnya.[21]
Menyematkan
budaya ke dalam Islam merupakan salah satu bentuk pluralisme. Namun penulis
menyimpulkan bahwa selama budaya itu tidak menggeser nilai keislaman itu
sendiri demi Islamisasi, maka pluralisme diperbolehkan.
D.
Pemetaan
Pluralisme Agama
Dalam
membuat tipologi pluralisme, Kuntowijoyo menggunakan istilah pluralisme negatif
dan pluralisme positif.
1) Istilah
pluralisme negatif digunakan untuk menunjukkan sikap keberagamaan seseorang
yang sangat ekstrim ketika misalnya mengatakan bahwa beragama itu ibarat
memakai baju sehingga dia bisa menggantinya kapan saja dikehendaki. Jadi
terdapat pengakuan bahwa ada banyak agama. Secara prinsip, pernyataan ini
memang sesuai realitas. Tetapi dengan menyatakan bahwa perpindahan agama itu
wajar terjadi, semudah orang mengganti baju, tentu merupakan hal yang dapat
menimbulkan kontroversi.
2) Pluralisme
positif merupakan sikap keberagamaan yang sangat mengedepankan penghormatan dan
penghargaan terhadap pendapat, pilihan hidup dan keyakinan keagamaan. Dalam
tipologi pluralisme positif, seorang yang sudah beragama tetap memegang teguh
dan melaksanakan keyakinan agamanya. Tetapi, dia memahami bahwa ada agama lain
yang hidup bersandingan dengan agama yang dianutnya, sehingga dia harus
menghargai pemeluk agama lain tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pluralisme agama adalah kondisi
keragaman beragama di suatu wilayah, yang memungkinkan mereka untuk hidup
berdampingan tanpa menghilangkan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing
agama.
2.
Faktor penyebab timbulnya pluralisme
agama ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor
internal dianggap sebagai pemicu konflik oleh penggagas pluralisme, padahal
konflik yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh faktor internal saja melainkan
juga faktor eksternal. Adanya faktor internal yang dianggap sebagai pemicu
konflik antar pemeluk agama melahirkan pluralisme agama yang bertujuan untuk
menghilangkan eksistensi faktor tersebut.
3.
a) Islam memang mengakui keberadaan
ragam agama, namun Islam tidak mengakui kebenaran ragam agama tersebut. Kita
dapat hidup berdampingan satu sama lain tanpa menyingkirkan nilai-nilai dalam
agama kita.
b)
Fundamentalis memandang pluralisme sebagai upaya dekonstruksi atau reduksi
makna dan konsep Islam. Sehingga, jika seseorang menerapkan paham ini, maka dia
sedang berusaha keluar dari jalan Islam yang benar.
c)
Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal adalah bahwa ajaran
Islam harus disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Al-Qur’an dan hadits harus dikritisi dan ditafsirkan ulang.
Namun penulis menyimpulkan bahwa selama budaya itu tidak menggeser nilai
keislaman itu sendiri demi Islamisasi, maka pluralisme diperbolehkan.
4.
Dalam membuat tipologi pluralisme,
Kuntowijoyo menggunakan istilah pluralisme negatif dan pluralisme positif. Istilah
pluralisme negatif digunakan untuk menunjukkan sikap keberagamaan seseorang
yang sangat ekstrim, karena dengan menyatakan bahwa perpindahan agama itu wajar
terjadi, semudah orang. Pluralisme menjadi negatif saat dia menyentuh
nilai-nilai Islam sendiri. Sedangkan pluralisme positif merupakan sikap
keberagamaan yang sangat mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap
pendapat, pilihan hidup dan keyakinan keagamaan. Dia memahami bahwa ada agama
lain yang hidup bersandingan dengan agama yang dianutnya, sehingga dia harus
menghargai pemeluk agama lain tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,
(Jakarta: Gema Insani, 2008).
Husaini, Adian, Tinjauan Historis Konflik Yahudi—Kristen—Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2004).
Husaini, Adian, Wajah Peradaban
Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2005).
Mulkhan, Abdul Munir, Islam Murni
dalam Masyarakat Petani. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000)
Mundzirin, Yusuf, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005).
Qomar, Mujamil, NU Liberal: Dari
Tradisionalisme ahlussunnah ke universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002).
Zainuddin, Pluralisme Agama
Pergaulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia, (Malang: UIN Malang Press,
2010).
http://kemenag.go.id/file/dokumen/TELAAHKRITISPLURALISMEAGAMA.pdf.
http://ppilebanon.wordpress.com/about/redaksi-bulleti/pluralisme-agama-adalah-paham-yang-bertentangan-dengan-ajaran-islam/.
http://www.al-intima.com/ghazwul-fikri/pluralisme-agama.
(Al-Qur’an
Terjemah Pustaka Alfatih).
[1] Husaini,
Adian, Tinjauan Historis Konflik
Yahudi—Kristen—Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 1-2.
[2] Ibid.
[3] Ibid, hlm. 3.
[4] Mundzirin,
Yusuf, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 30.
[5] Ibid, hlm. 83.
[6] Ibid, hlm.
24-25.
[7] Husaini,
Adian, Tinjauan Historis Konflik
Yahudi—Kristen—Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 1-2.
[8] Ibid.
[9] QS.
Ad-Dukhan[44]: 32 (Al-Qur’an Terjemah
Pustaka Alfatih).
[10]
http://kemenag.go.id/file/dokumen/TELAAHKRITISPLURALISMEAGAMA.pdf
[11] QS. Al-Hujurat[49]:
13 (Al-Qur’an Terjemah Pustaka Alfatih).
[12] Husaini,
Adian, Tinjauan Historis Konflik
Yahudi—Kristen—Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 8.
[13] QS. Ali
‘Imran[3]: 19 (Al-Qur’an Terjemah
Pustaka Alfatih).
[14] QS
At-Taubah [9]: 30-31 (Al-Qur’an Terjemah Pustaka
Alfatih).
[15] QS al-Maidah
[5]: 72 (Al-Qur’an Terjemah Pustaka
Alfatih).
[16]
http://www.al-intima.com/ghazwul-fikri/pluralisme-agama
[17] Mulkhan, Abdul
Munir, Islam Murni dalam Masyarakat Petani. (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2000), hlm. 91.
[18] Husaini,
Adian, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 355-358.
[19] Arif,
Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani,
2008), hlm. 77.
[20] Ibid, hlm. 79.
[21] Qomar,
Mujamil, NU Liberal: Dari Tradisionalisme ahlussunnah ke universalisme
Islam, (Bandung: Mizan, 2002).
0 Komentar at “Pluralisme Agama”
Posting Komentar