Toilet Anak Anjing [PART II]



Aku melempar pandanganku ke sembarang arah. Mm, toilet.. Aku memandang lembut sebuah ruang kecil di ujung lorong. Aku melangkah pelan menuju ruang itu, membiarkan urat - urat tegang dalam tubuhku melemas di pangkuan toilet duduk kesayanganku, Toru..

Huaaahh, aku menggeliat pelan, menghembuskan nafas, kemudian menyenderkan tubuhku. Perasaan itu kembali mengambil alih diriku, rasa rindu akan sebuah keluarga utuh. Aku merindukan saat kami menyatu dalam sebuah lingkaran kebersamaan, Ayah yang selalu rakus, Kakak yang mengomel karena sikap Ayah, dan Bunda yang tertawa geli melihat tingkah mereka. Tapi sekarang? Tess..

"Toru, apa kamu pernah memiliki sebuah keluarga?"
"Yang dengannya kamu dapat merangkai cerita indah?"
"Aku pernah.."
"Hikz.. Aku memang cengeng!"

Kehilangan sosok ibu membuatku menjadi makin penyendiri. Aku lebih suka meluapkan perasaanku pada Toru dibanding dengan siapa saja. Kak Olan? Ah, lupakan.. Dia paling tidak bisa mendengar semua jenis cerita, ahir nya pasti akan sama, tertidur.. .

Tubuhku terasa lelah. Entah sudah berapa lama aku menangis. Dan benar saja, tidak lama kemudian aku sudah lelap di pangkuan Toru.

Damai sekali..

***

tok tok tok
tok tok tok tok tok tok
TOK TOK!

Suara gedoran pintu yang makin lama makin keras membuat aku terlempar dari dunia mimpiku. Aku membuka pelan mataku, melihat sekeliling dan mulai mengenali tempat dimana diriku sekarang. Seperti nya aku ketiduran di toilet "lagi".

"Fuppiii, Fuuuuupi!"
"Ngapain aja sih lama banget?!"
"Buruan donk keluar, kakak kebelet nih!"
"FUUUUUPPI!!"
"..."

Teriakan seseorang di balik pintu mengagetkanku. Kak Olan, hari ini pasti kesiangan lagi. Dia memang hampir selalu terlambat datang kerja dan hampir selalu memisahkanku dengan Toru. Jika sudah begini, dia akan menjadi monster tukang bentak. Entah disengaja atau tidak, yang jelas aku tidak suka saat dia membentakku, bising sekali rasa nya.

 "Eh? Hah? Ngoaaaaamm.. Iya, Kak, bentaaarr.."
 "Bentar kapaaan? Kakak udah gak tahan niiih!"
 "Iya, Kak, iyaaaaa.."
 "FUUUUUPPIII!"
 "Iya, Kak!"
 "FFFUUUUUUUUUUUPPIIIII!"
 "@#$%^"

Tapi sepertinya, dia sangat suka membentakku.. 

***

 "Aku duluan, Kak.." Ujarku setelah melahap habis potongan terahir sarapanku. "Daaah.." Lanjutku sambil mengacak tatanan rapih rambut Kak Olan.
 "Fuppi, rese ya! Nanti Kakak aduin Ayah soal Hoo.."
 "Kak Olan cakep deh.. Nanti aku salamin Kak Icha dari Kakak ya, dah~"
 "Eh? Hah? Mm.. Oke, makasih, Pi.."

Aku sudah dapat menebak apa yang ada dalam pikiran Kak Olan. Dia hendak mengadukanku pada Ayah mengenai Hoshi. Hoshi? Kami backstreet. Ayah belum mengetahui hubunganku dengan Hoshi, sebenar nya bukan hanya Hoshi, Ayah melarangku untuk berhubungan dengan laki - laki mana pun. Beda dengan Bunda, beliau dapat melihat ketulusan hati Hoshi. "Mata nya tidak mengatakan kata lain selain ketulusan, mata adalah jendela hati setiap mahluk, sayang." Ujar nya, dulu..

Icha? Mmm, Kak Icha adalah kakak kelasku di sekolah. Aku mengenal nya dari Hoshi suatu waktu saat menemani Hoshi latihan teater. Sama seperti Hoshi, Kak Icha juga aktif di kegiatan teater sekolah. Kak Icha anak yang ramah, asik dan tidak jarang kami saling berbagi cerita. Kami cukup dekat hingga aku mengajak nya mampir ke rumahku. Dan Kak Olan.. Langsung menaruh hati pada nya 

***

2 jarum utama jam membentuk sudut lancip menunjukkan pukul 6:35. Butuh waktu kurang lebih lima belas menit untuk sampai di sekolah dengan berjalan kaki. 10 menit lagi bel masuk berdering. Aku mungkin sudah menambah sedikit kecepatan berjalanku di hari biasa, tapi tidak hari ini. Murid kelas X dan XI sudah menyelesaikan ujian kenaikan kelas yang berarti aku sebagai salah satu murid kelas XI dapat sedikit terlambat datang ke sekolah, yang juga berarti dapat sedikit berlama - lama di toilet bersama Toru, yay! 

Dan benar saja, tidak lama setelah kusapa penjaga pagar dengan senyumku, bel masuk berdering, "KRIIIIIIIIIINGGG!", pertanda pagar harus ditutup dan tidak ada ampun sedikit pun pada murid di luar pagar. Aku bersukur, meski sering datang terlambat, setidak nya tidak lebih parah dari Kak Olan. Dan aku bersukur memiliki teman dekat seperti Hoshi karena rela memberikan jam tangan kesayangan nya padaku. Sebenar nya aku mampu membeli jam tangan sendiri, tapi Hoshi melarangku. Dia ingin benda kesayangan nya dapat dijaga oleh orang yang disayangi nya. Aneh.

 "Selamat PAAAGIII, Miss lazy laaate.." Tegur Grace dengan nada mengejek.
 "Eh?" Aku heran mendengar teguran Grace, "Hufh.. Iyaa, pagi, Miss perfecto.." Lanjutku asal begitu menyadari Grace sedang mengejekku.
 "Nggak kencan sama Bu Linda lagi, Pi?" Tanya Achy.
 "Enggak donk.. Miss lazy late udah berevolusi jadi Miss nead and steady dooonk~"
 "Hahahaha"

Bu Linda adalah guru TI sekaligus bertugas sebagai ketertiban di sekolahku. Biasa nya, beliau menunggu di dekat pagar bersiap mencubit murid yang datang terlambat sebagai peringatan, atau mencatat point di buku pelanggaran apabila kami melalaikan peringatan nya. Dan aku adalah salah satu murid yang paling suka melalalikan peringatan beliau .

Kehilangan sosok ibu membuatku menjadi makin penyendiri. Penyendiri, bukan pemurung.. Bagi teman terdekatku, aku tetaplah Fuppi yang periang, cerewet dan menyebalkan. Kalian tahu, aku sangat suka mengusili teman - temanku, bahkan guruku sendiri . Aku pernah menyembunyikan sepatu Bapak Hasan saat beliau sedang solat di mushalla. Dan begitu ketahuan, aku dihukum hormat mengahadap bendera sampai pingsan. Tapi sama sekali tidak membuatku jera .

Aku pamit pada Grace dan Achy ke perpustakaan. Aku ingin membaca puisi - puisi karangan Abdul Wachid yang terputus kemarin. Hey, aku ingin kalian membaca puisi nya yang berjudul Nyanyian Urban Tersihir, menarik!

Nyanyian Urban Tersihir
berkali kami rampok sendiri
rizki yang masih tersimpan di kantong waktu
seperti nya setangah sadar setengah tidur
kami terjebak di belantara baja
kemana jalan pulang kami jelang
neraka penuh gairah
atau surga di bayang kepahitan?

di sekeliling
srigala menyeringai lewat
lenggang pinggul dan bibir sarat minat
mencupang jantung
dan hati yang semula teratai

tapi kamu tersihir
meski malam berkali menawarkan
bergelas cahaya-Nya
kami serahkan hati bagai kilat parang
lipstik yang memerahkan sahwat
ya, kami memperkosa diri sendiri
si ruang yang menjanjikan masadepan

dan parfum kota itu kian menyebar
meninabobokan saraf kami
anak-anak dunia ketiga!

Bagaimana? Mm, aku perlu banyak belajar mengerti bahasa yang beliau pakai. Sebab perbincangan tanpa mengerti bahasa yang dipakai bagai seorang buta yang mendengar omongan si bisu, tidak berguna sebuah umpan pada ikan yang kenyang, atau si tunanetra yang bermimpi menjadi seorang astronomi?

Haha, mustahil..

***

Seperti biasa, hari ini Hoshi mengantarku pulang. Sebenar nya aku tidak suka dia selalu mengantarku. Bukankah menyebalkan jika sering melihat orang yang sama setiap hari? Ah, apa mau dikata, dia pacarku, dia bersih-keras ingin selalu mengantar dan menjemputku setiap hari. Ckck dasar aneh..

 "Siapa lagi korban kamu hari ini?" Tanya Hoshi membuka pembicaraan.
 "Eh? Maksud kamu apa?"
 "Iyaa.." Hoshi mendahuluiku lalu menghadapku, "Siapa lagi 'korban' keusilan kamu hari ini, Puppy sayang?" Dia memposisikan kepala nya di antara kedua jari telunjuk dan jari tengah nya yang membentuk tanda kutip.
 "Oh hahahaha.." Sontak aku tertawa melihat tingkah Hoshi.
 "Yeh, ketawa.. Siapa lagi, Pi? Temen? Guru? Aaatau kucing yang sering lewat depan kelas kamu, iya? Hahahaha.." Hoshi kembali berjalan di sampingku.
 "Yey, dosa kali, Ko.. Enggak, hari ini cuma baca - baca di perpus aja kok. Ujian Neko tadi gimana?" Jawabku. Neko adalah panggilan untuk Hoshi, berasal dari bahasa Jepang yang berarti kucing. Oh iya, ayah Hoshi adalah orang Jepang, jadi Hoshi berdarah Jepang. Kalian dapat membayangkan wajah Hoshi dengan kumis tipis? Mirip kucing menurutku XDD
 "Oh.. Ujian aku.. Mm, kimia lancar aja sih, fisika nggak gitu sulit juga. Lancar lah." Kedua mata Hoshi melirik ke arah kiri atas mencoba mengingat ujian yang dia kerjakan hari ini.

Kami terus mengobrol sampai ahir nya aku melihat ayah sedang mencium pipi seorang gadis muda di depan rumah. Kaget, marah, sedih, kecewa menyatu menjadi perasaan membingungkan yang cukup menjadi alasan air-mataku untuk jatuh.

"Ke, kenap.." Hoshi mencoba bertanya tetapi aku memotong nya.

"Ayah!" Bentakku pada ayah..

"A, ayah? Tanya Hoshi yang mulai menyadari alasan yang membuatku menangis.

"Fu, Fuppi, ini gak sep.."

BRAKK!

Aku membanting pintu kasar. Mengacuhkan Ayah yang mencoba menjelaskan suatu alasan yang menurutku tidak akan menjelaskan apa pun selain penghianatan. Aku marah pada nya karena beliau menghianati Bunda. Aku masuk toilet, menghentakkan tubuhku di pangkuan Toru, tidak memperdulikan apa yang Ayah dan Hoshi bicarakan di luar. Baru seminggu Bunda pergi tapi Ayah sudah berani mencium perempuan lain, pikirku.

tok tok tok "Pi, buka pintu donk, denger penjelasan Ayah dulu.." tok tok tok
"Sayang, buka dooonk.." tok tok tok tok

Tidak kuhiraukan..

"Kamu tau, apa yang membuat kenangan terasa indah dan manis?""Karena dia nggak bakal pernah terulang.""Itu yang membuat nya lebih berarti.."

0 Komentar at “Toilet Anak Anjing [PART II]”

Posting Komentar