Tafsir, Ta'wil, dan Hermeneutika


BAB I
PENDAHULUAN


A.           Latar Belakang Masalah
Sebagai pedoman umat Islam, Al-Qur’an tidak hanya berisi penjelasan mengenai hukum-hukum dalam Islam. Sebagai titah Allah, Al-Qur’an memiliki nilai esensi yang tidak terdapat pada kitab-kitab lain. Al-Qur’an bersifat kekal, sehingga tidak perlu mengganti isinya untuk mengikuti perkembangan jaman.
Kenyataannya, banyak orang sering menyalah-artikan Al-Qur’an. Dalam mengartikan Al-Qur’an, kalangan mayoritas—termasuk penulis sendiri— sering tidak mencapai makna yang dimaksud oleh Allah. Yang paling parah adalah ketika seseorang mengartikan Al-Qur’an agar sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan pribadinya.

B.            Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, saya dapat merumuskan beberapa pokok permasalahan agar dapat menyusun makalah yang sistematis. Adapun pokok permasalahan itu adalah sebagai berikut:
1.      Tafsir
2.      Ta’wil
3.      Hermeneutika

C.           Tujuan Masalah
Dengan membahas permasalahan yang disebutkan dalam Rumusan Masalah, saya yakin makalah ini dapat membantu kita semua untuk dapat membedakan antara tafsir, ta’wil, dan hermeneutika.







BAB II
PEMBAHASAN


A.           Tafsir
1.             Pengertian Tafsir
·               Menurut Al-Kilabi
Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyarat atau tujuannya. (Ash-Shiddieqy, 1994: 178)
·               Menurut Syekh Al-Jazairi
Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafazh tersebut. (Ash-Shiddieqy, 1994: 178)
·               Menurut Abu Hayyan
Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna-makna yang terkandung di dalamnya. (Anwar, 2010: 210)
·               Menurut Abu Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., serta menyimpulkan kandungan-kandungan dan hikmahnya. (Anwar, 2010: 210)
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah menjelaskan kata yang sulit dimengerti dengan menggunakan sinonim atau kata lain yang dianggap mendekati, juga menerangkan makna dari tujuan penggunaan kata dalam suatu kalimat.

2.             Klasifikasi Tafsir
a)             Tafsir bi Al-Ma’tsur
Sebagaimana dijelaskan Al-Farmawy, tafsir bi Al-Ma’tsur adalah penafsiran Al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Qur’an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in. (Al-Aridh, 1992: 42)
Dengan berlandaskan pengertian tersebut, ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi Al-Ma’Tsur, yaitu:
·                Al-Qur’an sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Qur’an sendiri
Maksud kata muttaqin—pada surat Ali Imran [33]: 1—dijelaskan pada ayat berikutnya sebagai perintah untuk menafkahkan harta baik di waktu lapang, sempit, dan seterusnya.  (Anwar, 2010: 214)
·                Hadis Nabi sebagai mubayyin Al-Qur’an
Maksud kata Az-Zulm—pada surat Al-An’am [6]—ditafsirkan oleh Nabi sebagai syirik, dan kata Al-Quwwah sebagai Ar-Ramy (panah). (Al-Aridh, 1992: 43)
·                Sahabat yang dianggap banyak mengetahui Al-Qur’an
Ibnu Abbas (w. 68/687) menafsirkan kandungan surat An-Nashr sebagai kedekatan waktu kewafatan Nabi. (Anwar, 2010: 215)
·                Tabi’in yang dianggap pernah bertemu langsung dengan sahabat
Tabi’in menafsirkan surat Ash-Shaffat dalam syair ‘Imr Al-Qays. (Al-Aridh, 1992: 43)
Para ulama masih memperdebatkan kelayakan tabi’in sebagai sumber penafsiran Al-Qur’an, karena tabi’in terkadang melakukan ijtihad dan memberi interpretasi sendiri terhadap Al-Qur’an. Namun mayoritas ulama dan ‘ikramah menerima otoritas mereka karena umumnya mendengar langsung dari sahabat. (Anwar, 2010: 215)
b)            Tafsir bi Ar-Ra’yi
Tafsir Ar-Ra’yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad—dibantu oleh syi’ir Jahiliyyah, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan lainnya— dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata-kosa kata Arab beserta muatan-muatan artinya. (Anwar, 2010: 220)
Menurut sifatnya, para ulama membagi tafsir bi Ar-Ra’yi berdasarkan dua bagian, yaitu maqbul/mahmudah dan  mardud/madzmum. Tafsir Ar-Ra’yi dapat diterima selama menghindari hal-hal berikut:
·                Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan dia tidak memenuhi syarat untuk itu.
·                Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (hanya otoritas Allah).
·                Menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan.
·                Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan madzhab sebagai dasar, sedangkan penjelesannya mengikuti paham madzhab tersebut.
·                Menafsirkan Al-Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian, tanpa didukung dalil. (Anwar, 2010: 224)

B.            Ta’wil
1.             Pengertian Ta’wil
·               Menurut Al-Jurzani
Ta’wil adalah memalingkan lafazh dari makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al-Kitab dan As-Sunnah. (Anwar, 2010: 211)
·               Menurut Ulama Salaf
        Menafsirkan dan menjelaskan makna suatu ungkapan, baik sesuai dengan makna lahirnya atau pun bertentangan.
        Hakikat sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan. (Anwar, 2010: 212)
·               Menurut Ulama Khalaf
Mengalihkan suatu lafazh dari maknanya yang rajih pada yang marjuh karena ada indikasi untuk itu. (Anwar, 2010: 212)
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ta’wil adalah menerangkan makna suatu kalimat dengan beberapa kemungkinan—apabila didukung oleh dalil-dalil.

2.             Syarat Ta’wil
Fahmi Salim mengutip dari Syaikh Musthafa Asy-Syalabi, “Untuk mewujudkan ta’wil yang benar, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
·               Lafazh yang hendak dita’wil harus berupa lafazh yang memiliki potensi menerima ta’wil—seperti lafazh yang asal mula peletakannya mengandung makna ta’wil, misalnya lafazh zhahir dan nash. Apabila lafazh itu tidak memiliki potensi dita’wil, maka ta’wil itu adalah ta’wil yang batil.
·               Makna yang akan menjadi makna ta’wil adalah makna yang memang dikandung oleh lafazh itu secara kebahasaan atau digunakan secara syar’i. Apabila makna yang akan menjadi makna ta’wil tidak termasuk makna yang dikandung lafazh dalam hukum asalnya, maka ta’wil itu adalah ta’wil yang batil.
·               Didasarkan pada dalil yang benar—baik berupa teks, ijma’, qiyas, maupun dalil-dalil shahih yang lain. Apabila tidak ada dalil sama sekali atau ditentang oleh dalil yang lain—yang berkekuatan sama, bahkan lebih kuat—maka ta’wil tersebut adalah ta’wil yang dilandasi hawa nafsu sehingga tidak dapat diperhitungkan.
·               Orang yang mena’wil haruslah orang yang sudah pakar dalam bidangnya—seperti imam mujtahid dan para pemilik jiwa keilmuan yang matang—yang berhak menyimpulkan hukum-hukum keagamaan dari teks-teks. Apabila pena’wil tidak demikian, maka ta’wilnya tidak dapat digunakan. (Salim, 2010:16)

C.           Hermeneutika
1.             Pengertian Hermeneutika
·               Menurut Jhon Martin Caladinus
Hermeneutika adalah seni menggapai pemahaman sempurna tentang ungkapan-ungkapan verbal dan tertulis. Hermeneutika lebih menyerupai logika dan dapat membantu penafsir untuk menjelaskan kesamaran teks. (Salim, 2010: 53)



·               Menurut Fredrich August Wolf
Hermeneutika adalah pengetahuan tentang kaidah untuk memahami pemikiran verbalis dan tertulis dari pengujar atau penulis sesuai dengan kehendaknya secara tepat. (Salim, 2010: 53)
·               Menurut Fahrudin Faiz
Hermeneutika adalah metode untuk menafsirkan teks untuk dicari arti dan maknanya—dengan syarat adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak pernah dialami dan dibawa ke masa sekarang. (Faiz, 2002: 9)
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah teori untuk menginterpretasi pernyataan verbal dan tertulis, sehingga dapat mengungkap makna asli pernyataan tersebut.

2.             Madzhab Hermeneutika
a)             Hermeneutical Theory
Hermeneutika sebagai metode dan ilmu pengetahuan yang khas ilmu budaya. Hermeneut memandang hermeneutika sebagai ilmu humanioralogi—karena ilmu humaniora mengutamakan pemahaman fenomena dan segala hal yang berkaitan dengannya. (Salim, 2010: 139)
b)            Hermeneutical Philosophy
Filsafat hermeneutika beranggapan bahwa pemahaman terhadap sesuatu tidak dapat dibakukan menjadi sebuah metodologi tertentu. Antara penafsir dengan objek yang dipelajarinya saling melengkapi satu sama lain, sehingga tiap penafsir memiliki prakonsepsinya masing-masing. (Salim, 2010: 140)
c)             Critical Hermeneutics
“Apakah makna teks memiliki kebenaran atau tidak?” Jika teori hermeneutika menilai pertanyaan tersebut berada di luar metodologis dan epistemologi pemahaman, filsafat hermeneutika mengutamakan peran budaya dan prakonsepsi penafsir, maka hermeneutika kritis berperan mengajukan dan mendiskusikan pertanyaan tersebut. (Salim, 2010:140)


3.             Segitiga Hermeneutika (Pengarang, Teks, dan Pembaca)
a)             Pengarang
E.D.JR Hirsh mengatakan bahwa kita dapat berbicara tentang ta’wil tertentu jika kita belum mengetahui tujuan pengarang menulis karangan tersebut. (Salim, 2010:140)
b)            Teks
Teks tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang bernilai subjektif atau objektif karena teks adalah eksperimen eksistensial. (Salim, 2010:146)
Dr. Shalah Fadhl membagi teks ke dalam dua bagian, yaitu:
·                Teks Statis yang Tetap
Hasil kerja para strukturalis analisis untuk menemukan unsur-unsur yang potensial dalam sistem hubungan susunannya.
·                Teks Dinamis yang Bergerak
Berkonsentrasi pada intertekstualitas. (Salim, 2010:145)
c)             Pembaca
Pembaca memiliki pengalaman hidup yang memperngaruhinya dalam memahami teks. Pengalaman hidup adalah sesuatu yang subjektif, tapi dia tidak dapat keluar dari konteks teks.















D.           Glosarium
Aqwal tabi’in       : Perkataan tabi’in.
Asbab An-Nuzul  : Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan.
Dilalah                : Dalil.
Ghanah               : Tujuan.
Ijma’                    : Kesepakatan.
Ijtihad                  : Usaha.
Istihsan                : Menilai segala sesuatu baik berdasarkan persepsinya.
Khalaf                  : Modern.
Lafazh                  : Perkataan.
Madzmum            : Tercela.
Madzhab              : Golongan.
Mahmudah          : Terpuji.
Mansukh              : Dihapus.
Maqbul                : Diterima.
Mardud                : Ditolak.
Marjuh                 : Yang kurang kuat atau yang dikuatkan.
Mubayyin             : Penjelas.
Mufassir               : Penafsir.
Muttaqin              : Orang-orang yang bertaqwa.
Nash                    : Ketetapan.
Nasikh                 : Diambil.
Qiyas                   : Kiasan.
Rajih                    : Yang kuat.
Salaf                    : Tradisional.
Shahih                 : Dijamin kebenarannya.
Tabi’in                 : Orang yang dianggap pernah bertemu dengan para sahabat.
Zhahir                  : Kuat.
‘Ikramah              : Yang mulia.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Aridh. 1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: Rajawali Press.
Anwar, Rosihon. 2010. Ulum Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, TM Hasbi. 1994. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran. Bandung: Bulan Bintang.
Faiz, Fahruddin. 2002. Hermeneutika Qur’ani. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Salim, Fahmi. 2010. Kritik terhadap Studi Al-Qur’an kaum LIBERAL. Jakarta: Kelompok Gema Insani.

0 Komentar at “Tafsir, Ta'wil, dan Hermeneutika”

Posting Komentar