Jum’at, 16 Des 2011
“Ven, apa kau melihatnya?”
“Melihat apa?”
“Dia. Gama datang untuk melihat keadaanku. Dia peduli, Ven!”
Aku menarik nafas dalam. Sepertinya, Augi telah kehilangan akal sehat karena berpikir bahwa orang yang mencelakannya masih peduli padanya.
“Aku tidak melihatnya. Kau pasti salah orang..”
Acuh. Masih duduk tegak menatap ke luar jendela kamar di RS Budi Utomo.
“Dia menyayangiku, Ven.. Dia berdiri di ujung jalan itu, disana.”
Ahh, rasanya tak sanggup untuk menghancurkan istana mimpinya. Dia baru pulih pasca aborsi yang dia jalani seminggu yang lalu. Tapi aku tidak boleh membiarkannya untuk terus-menerus mengharapkan seseorang yang telah merampas keperawanannya. Tidak!
Senin, 5 Des 2011
“Ven, Jum’at besok ada acara, nggak?”
“Aku tidak tahu. Kenapa?”
“Ngg.. Apa kau mau menemaniku?”
“Kemana?”
“Aku ingin aborsi, Ven..”
Percakapan singkat di telpon waktu itu adalah awal dari keterlibatanku dalam musibah yang sedang Augi ratapi. Aku benar-benar tidak menyangka Augi akan mengalaminya. Selama ini, aku mengenal Augi sebagai sosok pendiam jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain.
Jum’at, 9 Des 2011
“Aku takut, Ven.”
“Lalu kenapa mau melakukannya?”
“Karena Gama menyuruhku. Dia yakin inilah yang terbaik. Aku percaya padanya!”
“Don’t be naif, please! He is a boy, and you? Just a stupid girl who over believing..”
“Aku hanya takut, jika aku mengugurkan janin ini, aku tak kan pernah lagi mengandung janin dari orang yang berbeda!”
Damn! Aku tidak mengerti. Jika ini yang mereka sebut Cinta, lalu dimana letak nilai kasih sayang yang mereka elu-elukan? Apakah dengan seks? Lalu dengan gampangnya si lelaki menyuruh si perempuan untuk menggugurkan ‘buah cinta’ mereka?
Selasa, 6 Des 2011
Pagi ini, aku sama sekali tidak merasa dingin seperti orang-orang itu. Mungkin karena aku terlalu marah. Aku marah pada Gama. Orang yang telah menghamili sekaligus menghancurkan masa depan sahabatku, Augi. Sudah kutahan rasa marahku selama semalam setelah mendapat telpon dari Augi. Sudah kuputuskan. Aku harus menemuinya hari ini. Mungkin rasa marah yang kuredam semalaman dapat sedikit membuat lebam di muka orientalnya itu.
“Gama!”
Sepertinya dia tidak mendengar teriakanku. Mungkin inilah saatnya. Akan kukumpulkan semuanya dalam tangan kananku ini.
BUKK!!
“Aww!”
“Ups, sorry, gak sengaja.. Kamu terlalu sibuk dengan urusanmu sampai tidak mendengar panggilanku.”
“Never mind. Ada perlu apa sampai datang kesini?”
“Aku hanya sedang lapar. Apa kau mau mentraktirku? Aku akan sangat berterimakasih.”
“Eh, serius? Okelah, kau mau apa? Disini atau diluar?”
“Aku sedang ingin memenuhi perutku dengan bakso di kampusmu ini. Ayo!”
Aku cukup puas dengan 1 pukulan kerasku di pipi Gama. Meski semuanya tak akan pernah bisa hilang begitu saja.
Sabtu, 17 Des 2011
Augi duduk sambil memandang ke luar jendela. Sama seperti kemarin. Mungkin, dia juga sedang mengharap kehadiran Gama disini.
“Augi.. Bagaimana keadaanmu?”
Dia menoleh. Tersenyum. “Baik.” Kemudian kembali memandang keluar sana. Mencari sesuatu.
“Aku membawa bubur kesukaanmu. Kau harus makan karena aku susah-payah mendapatkannya.”
“Terimakasih..”
“It’s okay. Mm, aku harus pergi. Aku akan segera kembali. Ingat, kau harus makan agar kesehatanmu dapat pulih total.”
Aku menjauh dari kamar Augi dirawat. Aku harus segera menghubungi orangtua Augi untuk mengabarkan keadaan anak mereka sekarang. Harusnya mereka tidak meninggalkan anak semata-wayangnya sendirian dan pergi berbisnis ke luar negeri. Tapi mungkin itulah ungkapan rasa kasih sayang menurut mereka..
I wanna be, forever be the angel that you seek and with my wings, I’ll hold you lovingly, you must believe, believe that you and I will always be, so in love, just you and me..
“Halo.. Halo? Ha, ha..”
Seseorang membentuk tangannya menyerupai telpon, mengisyaratkan bahwa handphone dialah yang tadi berdering. Shit!
“Sorry, itu ringtone dari handphone-ku.”
“Aku tahu.”
“Kau sedang menunggu telpon seseorang?”
“Itu bukan urusanmu. Maaf, aku harus pergi.”, aku bergegas pergi.
Lelaki itu menarik lenganku. “Tunggu. Apa kita akan bertemu lagi?”
“Entahlah. Mungkin? Tolong lepaskan tanganku..”
“Bagaimana jika takdir memutuskan untuk mempertemukan kita lagi?”
“Aku tidak mengenalmu. Kau juga tidak. Dan tolong, lepaskan tanganku!”, aku melepas kasar genggaman tangannya.
Aku telah berhasil menghubungi orangtua Augi. Mereka berjanji akan segera datang dan menitipkan rasa menyesalnya untuk Augi. Aku bergegas menuju kamar Augi. Tidak ada seorangpun yang menjaganya disana. Dari sekian banyak orang yang mengenal Augi, memang hanya aku yang mengetahui musibah ini.
“Gama?!”
“I, Iven.. Sedang apa kau disini?”
“Pertanyaan bodoh. Harusnya aku yang bertanya seperti itu! Sedang apa kau disini? Kenapa tidak masuk saja dan menemui Augi di dalam? Dia selalu menanti kehadiranmu, Gama!
“Pertanyaan bodoh. Harusnya aku yang bertanya seperti itu! Sedang apa kau disini? Kenapa tidak masuk saja dan menemui Augi di dalam? Dia selalu menanti kehadiranmu, Gama!
“Tak perlu. Dia tahu aku disini. Dia juga pasti tahu kenapa aku tidak pernah menemuinya lagi.”
“Bullshit. Kau hanya ingin lari dari tanggung jawab, kan?”
“Maafkan aku, Ven. Aku harus pergi..”
Itulah terakhir kali aku melihat Gama. Dengan jaket biru muda dan topi hitam dia datang ke RS tempat Augi dirawat. Hanya berdiri di depan pintu kamarnya. Memperhatikan..
“Itu Gama, kan? Dia datang, Ven, aku tahu! Dia berkata apa saja padamu? Apa dia menanyakanku?
Minggu, 18 Des 2011
“Hai, Ven..”, sapa Augi.
“Hai, Gi..”
“Apa kau melihat Gama sebelum masuk kesini?”
“Tidak. Aku tidak melihatnya lagi.”
Mungkin kebiasaan Augi memandang ke luar jendela karena dia memang pernah melihat Gama di luar sana. Tepat di tempat Gama berdiri yang aku lihat sebelum masuk kamar ini.
Aku harus menandatangani surat persetujuan operasi Augi. Orangtuanya masih belum datang juga hingga dokter mempercayakanku sebagai satu-satunya orang yang dianggap paling mengenal Augi. Augi harus segera menjalani operasi kanker rahim. Surat keterangan pasca aborsi mengatakan bahwa Augi memiliki sel kanker di rahimnya.
“Iven!”
Tak kuhiraukan. Tidak ada yang mengenalku disini.
“Iven, ini aku..”
Aku berhenti melangkah. Orang itu mendahuluiku, lelaki itu lagi..
“Kenapa kau selalu disini?”
“...”
“Apa kau sakit?”
“...”
“Hey, aku bertanya padamu. Tidakkah kau peduli!”
Dia membentakku. Untuk apa?
“Darimana kau tahu namaku?”
“Iven.. Bukan nama yang sulit. Hanya unik..”, dia tertawa.
“Apa selama ini kau memata-mataiku?”
“Aku tidak suka melakukan hal itu.”
“Apa kau menyukaiku?”
“...”
“Jika kau menyukaiku, kukatakan padamu bahwa aku tak akan pernah menyukai seseorang yang belum pernah aku kenal. Dan jika aku harus menyukainya, bukan dengan cara seperti ini..”
“Apa yang membuatmu begitu membenci laki-laki?”
“...”
“Kau terlihat seperti psikis yang sangat trauma pada lelaki. Maaf jika aku lancang.”
“Dengar, temanku sedang dirawat disini. Keadaannya buruk setelah mengaborsi janin yang dikandungnya dari seorang bajingan seperti kalian!”
“Lalu kau berpikir bahwa kami semua seperti itu? Bodoh!”
Aku terpekur sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu. “Ikut aku..”
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku melakukan ini. Aku hanya ingin tahu apa yang reaksinya jika aku melakukan ini.
“Apa yang akan kau lakukan?
“Maksudmu?
Sebodoh inikah dia? Atau hanya berpura-pura?
“Menurutmu? Apa yang akan kau lakukan pa, daku..” Apa aku yakin? “Ji, jika berada di tempat sepi seperti ini. Hanya kau, dan aku..” Aku telah mengatakannya.
Orang itu menatap mataku langsung. Lama.
“Hei, jangan menatapku seperti itu!” Aku mendorongnya.
Terhempas. Dia mendorong tubuhku hingga membentur tembok.
“Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau..”
Shit! Kenapa seperti ini? Kenapa aku takut? Bukankah tidak ada satupun yang dapat membuatku takut?
“Aku bisa menjadi seperti bajingan yang memperkosa temanmu.”
Dia menarik bajuku. Mencoba membuka paksa kancing-kancing bajuku.
“Apa kau takut?” Tersenyum.
“Aku tidak takut?”
Satu kancing lepas..
“Benarkah?”
“To, tolong jangan lakukan!”
“Apa kau mau menjadi pacarku?”
“Tidak akan!”
“Tidak akan!”
“Aku tidak akan melakukannya jika kau mau menjadi pacarku..”
Dia pasti sukses membuka seluruh kancing bajuku jika saja aku tidak cepat mengatakan,
“Aku mau!”
Senin, 19 Des 2011
“Aku ingin tahu apa kau benar-benar akan menjagaku selama aku menjadi pacarmu?”
“Entahlah..”
Aku merengut mengisyaratkan keheranan. “Apa alasanmu menyukaiku?”
“Aku tidak tahu..”
“Kau pasti tahu jawabannya!”
“Aku tidak tahu! Aku pikir, tidak ada jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaanmu..”
“Pasti ada jawaban dari tiap pertanyaan, kau tahu..”
“Kau tidak tahu..”
“...”
“Ven..”
“...”
“Aku akan tetap melakukannya padamu..”
Aku baru akan berontak sebelum dia berkata,
“Jika kau menjadi istriku..”
Selasa, 22 Des 2011
Sudah hampir dua minggu berlalu tanpa kehadiran orang itu. Dia menghilang begitu saja.
“Ven, Bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Boleh saja..”
“Apa kau menyukaiku?”
“Tentu saja tidak!”
“Apa aku boleh menanyakan satu hal lagi?”
Lama. Hanya diam..
Apa yang ingin dia tanyakan? Kenapa dia hanya memandangku?
“...”
Kenapa wajahku terasa panas? Apa yang terjadi padaku?
“Bagaimana?”
“Ba, bagaimana apanya?”
“Bagaimana perasaanmu?”
“Aku tidak merasakan apa-apa..”
“Kau tahu aku tahu kau sedang berbohong..”
“...”
“Lalu apa jawabanmu?”
“Aku tidak tahu..”
“Bukankah selalu ada jawaban dari tiap pertanyaan?”
Ya, kau benar.. Itu karena aku mulai menyukaimu..
Selasa, 6 Des 2011
“Permisi, apa kau melihat Gama?”
Lelaki itu menggeleng. Menoleh ke suatu arah, kemudian menunjukkan sesuatu disana.
“Terimakasih..”, aku tersenyum lalu meninggalkannya.
Apakah dia lelaki yang pernah aku tanyai di kampus Gama? Tapi siapa dia? Mengapa dia mengaku sebagai teman Gama? Bukankah Gama bilang bahwa dia tidak memiliki teman dengan ciri yang aku sebutkan? Aku pacarnya. Tapi namanya pun aku tidak tahu!
0 Komentar at “M.O.Z.A.I.C”
Posting Komentar