Di bawah bayang-bayang reruntuhan, seorang gadis duduk
menyandarkan punggungnya pada tubuh kehidupan. Dia menerawang jauh dalam
memaknai keberadaan dirinya sendiri. Dan tidak ada buah pikirannya yang
terwujud dalam kata-kata. Semuanya larut bersamaan dengan pemaknaan-pemaknaan
baru yang telah mengakar dalam jiwanya.
Dengan segenap perasaanku, aku menghampirinya lalu membelai
rambut cokelatnya. Aku berkata, “Wahai saudaraku, apa yang telah merasuki
pikiranmu sehingga membuatku lengah akan kehadiranku disini?”
Dia menatapku, lalu lebih jauh, dia memejamkan matanya,
kemudian bulir-bulir air mulai jatuh dari matanya. Dia berkata, “Jika Tuhan
menciptakan segala sesuatu dengan mengabarkan kepadanya sebuah misi penting
untuk dia perjuangkan, lalu mengapa aku dan jiwaku dibiarkan mengelanai waktu
tanpa tahu pasti siapa diriku?”
“Pernahkan anda merasakan apa yang tengah aku rasakan,
leluasa melakukan apapun tanpa mengahadirkan jiwamu sendiri dalam tubuhmu?
“Nona, seseorang pernah berkata, ‘Tubuh senantiasa berkembang
berdampingan dengan waktu, dia akan hancur pada saatnya nanti, namun jiwa
adalah kekal.’ Lalu bagaimana denganku, dengan jiwaku yang lebih dulu
meninggalkan tubuhku?”
“Aku merasa seperti Rapunzel yang memandang kehidupan
terbatas pada loteng menara yang memenjarakannya.”
Dia membenamkan kepalanya pada kedua lututnya yang tertekuk.
Lama. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan memandang jauh ke langit. Kemudian
dia mulai berbicara, “Andai siang dapat membagi dirinya seperti balok-balok
lego, dan dia menyatukan satu bagian dari dirinya pada bagian malam yang gelap;
mungkin, aku juga dapat mengikat jiwaku pada tubuhku agar aku tak lagi merasa
asing dengan dunia ini!”
Kata-kata terakhirnya terasa sangat sengit. Dia
mengingatkanku pada seseorang dia masa laluku yang pernah menjadi bagian dari
diriku. Dia adalah tubuh yang menopangku di masa itu. “Kasihku, pemenuh
kebutuhanku, yang merindukan pertemuan antara tubuh dan jiwa, aku adalah
jiwamu. Aku adalah siang yang mencari celah pada bagian balok-balok malam itu.
Namun sepanjang perjalananku, malam pada tiap masa menolakku, aku terlalu
berliku untuk menyatukan diri dengan celah mereka. Kini, Tuhan telah
mempertemukan kita dalam masa yang lain. Ijinkan aku memelukmu agar kita dapat
mengalun bersama nada-nada kehidupan.
Kemudian kami bersatu untuk tidak lagi berpisah.
0 Komentar at “JIWA”
Posting Komentar