Syahdan, aku merasa penyatuan antara jiwa dan tubuhku hanya karena
adanya ruh. Jiwaku berpetualang dengan liar di alamnya, sementara
tubuhku bergerak terbatas di dunianya, dan ruhku memperhatikan keduanya
di perbatasan antara alam jiwa dan dunia tubuh.
Semakin jauh jiwaku mengelanai alamnya dan semakin diam tubuhku
dibatasi dunianya, ruhku akan semakin merasakan perpisahan keduanya
sebagai substansi. Tiba-tiba tubuhku membuka ensiklopedia angkasa.
Pengetahuan ruhku menghentikan petualangan jiwaku di alamnya, dia
menarik jiwaku mendekat dan memaksanya merasakan apa yang dia rasakan.
Ruh dan jiwaku berbincang mempertanyakan keberadaan tubuhku. Semakin
lama, semakin rumit.
Jiwaku tenggelam oleh kebingungannya, dan tubuhku menjadi semakin
diam, sementara ruhku menjadi semakin kompleks. Ruhku berkata pada
jiwaku, "Mari kita menjadi seorang astronom!"
Jiwaku berkata, "Kita tidak dapat menguak semesta angkasa."
"Kau bukanlah filosof sejati jika mengatakan bahwa manusia tidak mengetahui apapun!" (DS)
"Apakah kita melakukannya demi penyatuan kita dengan tubuh?"
"Kita tidak akan pernah tahu sebelum mencoba."
Lalu jiwaku kembali berkelana dalam alamnya, di angkasa. Sementara ruhku menemui tubuhku, "Apakah kau seorang astronom?"
Tubuhku berkata, "Ya."
Dia melanjutkan, "Aku lelah hanya berdiam diri sementara jiwa
berpetualang dan engkau berceloteh. Aku melihat jiwa mengunjungi
tempat-tempat asing dan aku mendengarmu mempertanyakan cara penyatuan
kami. Aku membuka buku ensiklopedia untuk menjawab pertanyaanmu dan
mengajak jiwa untuk berpetualang di duniaku. Sebab apa lagi yang dapat
mengalihkan kalian dari pemaknaan tentang hidup, selain memikirkan
masalah-masalah asing mengenai semesta alam, masalah ilmu pengetahuan?"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Komentar at “Jiwa, Badan, Ruh”
Posting Komentar