BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada dasarnya, agama
Kristen merupakan agama sejarah yang berlandaskan pada kejadian-kejadian nyata Nabi
Isa—seorang Yahudi yang tidak pernah mengikuti pendidikan, bahkan untuk menulis
pemikirannya pada selembar kertas.[1]
Dalam kitab-kitab Injil, khususnya dalam kitab Injil Matius, terdapat
ulasan-ulasan yang disertai dengan banyak pujian yang ditujukan kepada Nabi
Isa. Namun akan sangat salah jika kita menitikberatkan perhatian kita pada hal
tersebut, karena sesungguhnya beliau tidak pernah menggunakan mukjizat yang
dimilikinya untuk meyakinkan orang lain, karena hampir seluruh perbuatan luar
biasa yang beliau lakukan terjadi secara diam-diam.[2]
Kesederhanaan Nabi Isa
seakan tidak dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi kaum muslim
mayoritas untuk memandang beliau sebagai sosok yang lebih baik dibandingkan
dengan penggambaran pakaiannya—pandangan universal bahwa dia yang disalib
adalah Nabi Isa—sebagaimana 9Ball mendeskripsikan Tuhan umat Kristen sebagai
manusia yang hanya memakai celana dalam. Muslim mayoritas terkesan menyalahkan
Nabi Isa as berkenaan dengan ajaran agama Kristen yang menuhankan dirinya,
padahal beliau sendiri tidak pernah menyatakan dirinya sebagai Tuhan.
B.
Rumusan
Masalah
Merujuk pada latar
belakang tersebut, saya dapat merumuskan masalah yang akan saya bahas dalam
makalah ini sebagai berikut:
1.
Etika Agama Islam
terhadap sesama
2.
Etika Agama Tauhid “kristen”
Nabi Isa terhadap sesama (manusia)
3.
Realitas Etika Muslim Mayoritas
dan Nasrani
C.
Tujuan
Masalah
Melihat masalah yang
akan dibahas, maka saya harap makalah ini dapat menambah wawasan pembaca
terhadap apa dan bagaimana dua agama terkait menerapkan etika dalam ajaran
agamanya masing-masing.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Etika
Islam terhadap Sesama
1.
Ajaran Etika Islam
terhadap Muslim
Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas
merupakan sumber hukum ajaran agama Islam yang inti dari sebagian besar isinya
adalah ajaran untuk menjalani semua apa yang diperintahkan dan menjauhi semua
apa yang dilarang oleh Allah Swt. Sebagai agama yang diridhai oleh Allah, maka barangsiapa
berperang untuk menjunjung kalimat Allah, maka ia berada di jalan Allah
(Muttafaq ‘Alaihi).[3] Salah satu dari ajaran
agama Islam adalah etika terhadap sesama (muslim). Islam mengajarkan
penganutnya bahwa tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kamu sehingga ia
mencintai bagi saudaranya (sesama muslim) segala sesuatu yang dia cintai bagi
dirinya sendiri (HR. Bukhari dan Muslim).[4]
Namun
demikian, kebanyakan orang yang kurang teliti dalam mengkaji ajaran agama Islam
akan mengatakan bahwa agama Islam hanya mengajarkan penganutnya untuk kasih-mengasihi
antar sesama muslim.[5] Padahal, agama Islam pun mengajarkan
penganutnya untuk berbuat baik dan adil terhadap ahli kitab.
2.
Ajaran Etika Islam
terhadap Ahli Kitab
Dalam
Al-Qur’an, Allah memberi banyak peringatan kepada kaum muslim untuk
berhati-hati terhadap ahli kitab, termasuk kaum Nasrani, karena sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan
agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman,
karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran...[6] Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan
kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri,
dan mereka tidak menyadarinya.[7]
Akan tetapi, mereka itu tidak
sama. Di antara Ahli Kitab ada golongan yang berlaku
lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di
malam hari, sedang mereka juga bersujud.[8] Dan sesungguhnya di antara Ahli
Kitab ada orang yang beriman kepada Allah, dan kepada
apa yang diturunkan kepada kamu, dan apa yang diturunkan kepada
mereka sedang mereka berendah hati kepada
Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga
yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.
Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.[9] Dengan demikian, umat Islam harus
bersikap kritis terhadap pengaruh negatif yang datang dari ahli kitab, dan pada
saat yang sama tidak mudah menggeneralisasi mereka.
Selain
mengharuskan kaum muslim untuk bersikap kritis dalam menghadapi ahli kitab,
Allah pun tidak melarang kaum muslim untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.[10] Bahkan, Allah telah menurunkan surat An-Nisaa’ ayat 105
kepada Nabi Muhammad Saw untuk menegur beliau karena berlaku tidak adil
terhadap non muslim.[11]
Dengan demikian, akan sangat salah jika mengatakan bahwa
agama Islam hanya mengajarkan kasih-mengasihi antar sesama muslim, karena Allah
sendiri telah memerintahkan kepada kaum muslim untuk bersikap baik dan adil
kepada para ahli kitab.
B.
Etika
Agama Tauhid “kristen” Nabi Isa terhadap Sesama (Manusia)
1.
Sejarah Kelahiran
Agama Kristen
Marvin
Perry mencatat, di saat kematian Nabi Isa (29 M), agama Kristen hanya merupakan
satu sekte kecil dari agama Yahudi, yang kurang memiliki prospek untuk bisa survive.[12]
Seorang Yahudi bernama Saul berhasil memisahkan Yahudi-Kristen dan mendirikan
agama Kristen dengan menanamkan kepercayaan kepada pengikut Nabi Isa bahwa Nabi
Isa telah bangkit dari kematian pada hari ketiga sejak pemakamannya.[13]
Paulus merumuskan ide-ide yang merepresentasikan pemutusan secara mendasar
dengan Yudaisme dan kemudian menjadi inti dari agama baru ini.[14]
Para ulama Barat telah menyimpulkan beberapa ajaran Paulus yang menyimpang dari
ajaran Nabi Isa, namun dipegang teguh oleh agama Nasrani, sebagai berikut:
·
Nabi Isa selalu
mementingkan tentang akan datangnya kerajaan Allah; sedangkan Paulus
menitikberatkan kedatangan Nabi Isa kembali (Messianisme; akan datangnya
Messiah).
·
Nabi Isa tidak pernah
membicarakan tentang adanya dosa warisan; sedangkan Paulus telah
mengajarkannya.
·
Nabi Isa mengajarkan
tentang pengampunan dari Tuhan atas penyesalan dan tobat sungguh-sungguh dari
hambanya pada perkataan dan perbuatan manusia dan atas sifat Pengampun Tuhan
itu sendiri; sedangkan Paulus menyatakan bahwa pengampunan Tuhan didasarkan
pada penyaliban Yesus.
·
Nabi Isa tetap
mengakui hukum Taurat berlaku bagi pengikutnya; sedangkan Paulus telah
menggantikan hukum Taurat dengan iman kepada penyaliban Yesus untuk menebus
dosa manusia.
·
Syariat Taurat tidak
berlaku lagi dengan mengajarkan Injil dalam lingkungan Yahudi saja; sedangkan
Paulus mengajarkan Injil pada orang-orang luar Yahudi.
·
Nabi Isa mewajibkan
kepada pengikutnya kepada pengikutnya untuk meneruskan hukum Ibrahim tentang
bersunat; sedangkan Paulus tidak mewajibkan lagi.
·
Nabi Isa menyangkal
dan menolak dirinya dipertuhankan di samping Tuhan Yang Maha Esa; sedangkan
Paulus mengangkat Isa sebagai Tuhan dan menganggap dirinya sebagai penjelmaan
dari Kristus.
Namun,
karena ajaran Paulus banyak menyimpang dari ajaran Nabi Isa yang asli, terutama
yang berkenaan dengan ketuhanan, maka muncullah pertikaian dengan beberapa
pengikut Nabi Isa yang lain—seperti Barnaba dan Petrus.[15]
Dengan
adanya penyimpangan-penyimpangan tersebut, muncullah tuduhan bahwa ajaran agama
Kristen sekarang adalah ajaran Paulus.[16]
Dan karena pertentangan-pertentangan ini akan dapat membahayakan kestabilan
negara, maka pada masa pemerintahan Kaisar Constantin diadakan kongres antar
para pemeluk agama, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Nabi Isa adalah anak Tuhan
dan sehakikat dengan Allah (Tuhan Bapa), meski pun Nabi Isa sendiri tidak
pernah mengajarkannya.[17]
2.
Ajaran Etika Nabi Isa
Mengapa
kita harus mencintai, bukan hanya sahabat-sahabat kita, tetapi juga musuh-musuh
kita, dan mendoakan mereka yang berbuat jahat kepada kita? Jawab Yesus sangat
jelas: Karena dengan demikian, kamu menjadi anak-anak Bapakmu di Surga, yang
menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan bagi orang yang baik, dan
menurunkan hujan bagi orang yang benar dan bagi orang yang tidak benar...karena
itu haruslah kamu sempurna sama seperti Bapakmu yang di Surga (yang juga adalah
sempurna). Paul Ramsey, dalam bukunya Basic
Christianian Ethics, memberikan penjelasan dari ayat tersebut sebagai
berikut: Engkau harus mengabaikan sama sekali sifat-sifat pribadi pada
orang-orang tertentu yang biasanya menimbulkan perasaan suka atau tidak suka
terhadap mereka. Karena itu, hendaklah engkau menghilangkan sifat mementingkan
diri-sendiri dan bersifat pemurah dalam setiap hal yang menyangkut kebaikan
hatimu, seperti Bapamu di Surga memberikan perhatian-Nya kepada semua umat
manusia.[18]
Kita diajarkan untuk
tidak melawan kejahatan orang lain terhadap diri kita, saat dunia memilih untuk
melawannya sekuat tenaga dengan cara apa pun; kita diajarkan untuk mencintai
musuh-musuh kita dan berdoa memohon kebaikan untuk mereka yang mengutuk kita,
saat dunia mengajarkan untuk mencintai sahabat dan membenci musuh; kita
diajarkan bahwa Tuhan menerbitkan matahari untuk mereka yang bersifat adil atau
pun yang tidak jujur, saat dunia mengatakan bahwa matahari hanya terbit untuk
mereka yang adil saja; kita diajarkan untuk bersikap bebas seperti burung yang
sedang terbang di udara, saat dunia menyarankan untuk menjaga keamanan diri
kita sendiri; kita diajarkan bahwa orang kaya akan sulit mencapai Surga, saat
dunia menghormati kekayaan.[19] Bahkan
ahli sejarah Carlyle menyatakan, jika ada seseorang yang dapat memberikan
gambaran yang pasti mengenai keadaan lahiriah Nabi Isa, orang itu pasti akan
mengatakan bahwa walau pun Nabi Isa adalah seorang yang tidak kaya, dia akan
memberikan sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya.[20] Demikianlah,
kebanyakan pesan-pesan Nabi Isa mencakup ajaran tentang etika terhadap sesama
manusia—cintailah sesamamu manusia seperti anda mencintai diri sendiri; lakukan
terhadap orang lain apa yang anda ingin lakukan terhadap diri sendiri; datanglah
kepadaku, kamu semua yang letih dan berbeban berat dan aku akan menyegarkan
kamu; carilah kebenaran maka kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”—bahwa Tuhan
telah melimpahkan cinta-Nya kepada manusia dan kewajiban manusia untuk menerima
cinta itu untuk kemudian dialirkan kembali kepada sesamanya.[21]
C.
Realitas
Etika Muslim Mayoritas dan Nasrani
Banyak
pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar kebaikan tetapi
perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak
diajarkan menghafal tentang bagusnya sifat jujur, berani, kerja keras,
kebersihan, serta jahatnya kecurangan. Tetapi, nilai-nilai kebaikan itu
diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihapal sebagai
bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian.
Praktik-praktik tidak terpuji terus berlangsung dengan kasat mata di tengah
masyarakat. Tak terkecuali di dunia pendidikan. Pungutan liar saat penerimaan
murid baru di sekolah-sekolah negeri bukanlah cerita hayalan. Di tengah
meningkatnya kucuran dana pendidikan dari pemerintah, terjadi pula peningkatan
pungutan biaya pendidikan kepada peserta didik. Orangtua dibuat tidak berdaya,
sebab seringkali pungutan itu mengatasnamakan kesepakatan Komite Sekolah yang
beranggotakan orangtua atau wali peserta didik.[22]
Dengan merujuk pada penggambaran Adian Husaini terhadap moral
muslim mayoritas di Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa muslim mayoritas
telah menjadi sekuler dalam melakoni perannya terhadap negara. Kebanyakan
muslim mayoritas melupakan ajaran agamanya demi memenuhi urusan keduniawiannya.
Sementara muslim
mayoritas bergerak perlahan meninggalkan ajaran-ajaran agama Islam, kaum non
muslim di Barat berlomba-lomba menerapkan ajaran-ajaran tersebut dalam
membangun negaranya—seperti dalam perbankan, kebersihan, hukuman. Sehingga,
seorang muslim yang berada di salah satu negara tersebut berkata, “Aku tidak
melihat muslim disini, namun aku melihat Islam.” Hal ini menunjukkan, meskipun
mereka tidak berkeyakinan Islam sebagai agamanya, mereka dapat memahami ajaran
agama Islam dan menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Namun demikian, muslim
mayoritas seolah tidak dapat melihat kenyataan ini sehingga terus-menerus
memusuhi kaum non muslim. Bahkan tidak jarang muslim mayoritas mengikutsertakan
Nabi Isa As—yang oleh mayoritas dianggap sebagai Yesus—sebagai penyebab
penyelewengan ajaran agama Kristen, padahal Nabi Isa sendiri tidak pernah
mengajarkan ajaran salah yang tercantum dalam kitab Bibel agama Kristen
sekarang, melainkan karena Paulus yang merekontruksinya. Terlebih lagi, muslim
tidak pernah diajarkan untuk membenci kaum non muslim; sebaliknya, muslim
diajarkan untuk menghormati dan bekerjasama dengan kaum non muslim.[23] Karena
kebencian tidak akan membawa pengaruh yang baik, maka kita tidak perlu
mempermasalahkan keyakinan kaum non muslim yang berbeda. Lagi pula, tidak ada
seorang pun menanggung dosa atas kesalahan orang lain.[24] Bukankah hanya Allah-lah Yang Maha Membaca Hati?
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agama Islam adalah
sebuah keyakinan yang berlandaskan pada Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas
yang inti dari sebagian besar isinya adalah ajaran untuk menjalani semua apa
yang diperintahkan dan menjauhi semua apa yang dilarang oleh Allah Swt. Salah
satu ajarannya adalah kasih-mengasihi kepada saudara; namun bukan hanya kepada
sesama, agama Islam juga mengajarkan untuk kasih-mengasihi kepada ahli kitab.
Namun kebanyakan muslim mayoritas kurang teliti dalam mengkaji ajaran ini
(kasih-mengasihi kepada saudara), sehingga mereka dengan mudah berbuat tidak
baik kepada ahli kitab. Bahkan, mereka menyalahkan Nabi Isa sebagai penyebab
dari kekeliruan ajaran agama Kristen. Padahal jika diteliti, etika ahli kitab
ini justru sangat Islami dibandingkan dengan diri mereka sendiri.
B.
Saran
Ada kalanya kita
sebagai penganut suatu agama akan bersikap sangat subjektif terhadap ajaran
agama lain. Namun dengan memahami ayat Al-Qur’an tentang toleransi terhadap
ahli kitab, sebaiknya kita berbuat baik dan adil kepada mereka sebagaimana ayat
tersebut. Tidak ada manfaat bagi kita yang menganiayanya, karena tidak ada
seorang pun yang dapat menanggung dosa orang lain.
GLOSARIUM
Generalisasi : Penyamaran; proses pemikiran yang
bertujuan untuk memperoleh pendapat secara menyeluruh bagi umat manusia.
Prospek :
Kemungkinan; harapan.
Sekte :
Kelompok orang yang memiliki kepercayaan atau pandangan agama yang sama, yang
berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama
tersebut; madzhab.
Survive : Bertahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Adian
Husaini, Pendidikan Islam Membentuk
Manusia Berkarakter dan Beradab, (Depok: Komunitas NuuN, 2011).
Adian
Husaini, Tinjauan Historis Konflik
Yahudi-Kristen-Islam, (Jakarta: GIP, 2004).
HaditsWeb
3.0 - Kumpulan dan Refrensi Belajar Hadits.
Huston
Smith, Agama-agama Manusia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001).
Jalaluddin
As-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an,
(Jakarta: GIP, 2008).
Mujahid
Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996).
[1]
Huston Smith, Agama-agama Manusia,
hal.356
[2]
Ibid, hal.368
[3] HaditsWeb
3.0 - Kumpulan dan Refrensi Belajar Hadits (Bulughul Maram Min Adilatil
Akram, Kitab Jihad, Hadits 8)
[4] HaditsWeb
3.0 - Kumpulan dan Refrensi Belajar Hadits (Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi,
Kitab Mencintai Milik Orang Lain seperti Mencintai Miliknya Sendiri, Hadits 13)
[5]
Diskusi di Yahoo (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130208184536AARkyKa diakses pada 28 April 2013)
[6] Al-Baqaarah [2]: 109
[7] Ali Imran [3]: 69
[8]
Ali Imran [3]: 113
[9]
Ali Imran [3]: 199
[10] Al-Mumtahanah
[60]: 8
[11]
Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, hal.199-201
[12]
Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik
Yahudi-Kristen-Islam, hal.60
[13]
Ibid
[14]
Ibid, hal.61
[15]
Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama,
hal.74-75
[16]
Ibid, hal.70
[17]
Ibid, hal.75-76
[18]
Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama,
hal.88
[19]
Huston Smith, Agama-agama Manusia,
hal.361-362
[20]
Ibid, hal.356
[21]
Ibid, hal.362
[22]
Adian Husaini, Pendidikan Islam:
Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab
[23]
Ali Imran [3]: 64
[24]
As-Saba’ [34]: 25
0 Komentar at “Kasidah Muslim Mayoritas terhadap 'Pakaian Yesus'”
Posting Komentar