Berlarik-larik awan memuntahi sebidang tanah
lempung, yang walau terus-menerus disapa gemerintik air tetap enggan menelan
berkah dari yang duduk di ‘Arsy.
Memebangun kolam renang untuk para katak. Dan tetap enggan surut sebelum
menggelar jubah hitam berkilaunya. Siang bagi para bapak-bapak tikus berlari
terpatah-patah untuk mencarikan istri nafkah. Yang kemudian membuka mata-mata
terlelap dengan ocehan seorang santri harisah
karena tong sampah yang tumpah. Berjalan di hadapanku.
Sementara kupu-kupu terbang di bawah dahan rendah
untuk mencari bunga-bunga pertama musim hujan. Barangkali ada yang mekar. Jika tidak
begitu, pasukan lebah tidak dapat segera mengumpulkan madu untuk diolah menjadi
Sugar Dingin, “obat” panas dalam. Dan Sulastri tidak akan sibuk mencampuri
sebotol madu bercap 100% Madu Asli dengan sari tebu, cengkeh, jahe,d an beribu
rempah yang tumbuh mekar di Indonesia.
“Siapa bilang tingi tembok pesantren meredam birahi
untuk hidup, Ajeng?” matahari memberontak dipeluk awan, menyorot wajah yang
bercerita sejarah, melukis bayang-bayang hitam yang jatuh di bawah kulit
keriput. “Bahkan, di balik lemari pun, kau dapat menemukan sarang laba-laba.
Kehidupan!”
Ajeng tercenung. Bukan itu yang dia harapkan untuk
dijuluki sebagai Kehidupan. Bukan dengan bernafas di atas tanah atau memejamkan
mata saat tidur. Bukan. “Dia bukan seperti itu, Bunda,” melempar pandangan jauh
ke pulau tetangga. “Dia itu berbeda. Bernafas di bawah air atau menari di bawah
jubah hitam malam. Aku ingin benar-benar ada untuk Kehidupan.”
“Memangnya apa yang dapat diharapkan oleh
kehidupanmu dari seorang pecundang yang melarikan diri dari hal-hal sepele?”
sinis. “Menari sajadi bawah matahari. Kelak kau akan menemui malam, Ajeng,
lakukan saja!” Suara paraaunya memecah jarak.
Siapa pun tak akan mampu berdiam mendengar do’a dari
seorang patuh. Jangkrik pun menjadi syahdu. “Gusti.. Aku telah menghabiskan
setahun waktuku di sekolah-Mu. Aku patuh pada perintah-Mu. Namun jiaka
orang-orang temanku tetap tidak berbaik-sangka padaku, aku menjadi kelu. Untuk
apa aku menghabiskan percuma waktu-Mu yang singkat untuk mempelajari nahu-sarraf atau ushul fiqh yang selalu bertengkar? Mereka pun tak akan
mendengarku.” Kupu-kupu terbang di bawah dahan rendah. Mencari bunga-bunga
pertama musim hujan.
0 Komentar at “Bunga-bunga Pertama Musim Hujan”
Posting Komentar