Peri Cahaya dan Pulau Cengkeh


Pada suatu hari, adalah seorang Peri Cahaya bernama Aishi. Dia sedang terbang mengelilingi pulau-pulau di Kerajaan Rempah untuk menaburkan serbuk-serbuk cahaya di langit, hingga sampailah dia pada puncak penghabisan serbuk peri sumber kekuatannya. Dia berkata pada burung yang terbang di sampingnya, “Wahai, Ksatria Berparuh, adakah engkau bersedia berbaik hati padaku untuk mengantarkanku pada salah satu pulau terdekat?”, suaranya mengalun pada simfoni harapan.
“Oh, selamat pagi, Peri Kecil.. Apa yang membawamu terbang sampai kesini? Bukankah wilayah ini tak dapat dijangkau oleh peri sekecil dirimu?”, burung kecil itu terkekeh. “Marilah naik ke punggungku, akan kubawa kau mengelilingi pulau-pulau yang belum pernah kau lihat di kerajaan ini.”
“Oh, selamat pagi, Peri Kecil.. Apa yang membawamu terbang sampai kesini? Bukankah wilayah ini tak dapat dijangkau oleh peri sekecil dirimu?”, burung kecil itu terkekeh. “Marilah naik ke punggungku, akan kubawa kau mengelilingi pulau-pulau yang belum pernah kau lihat di kerajaan ini.”
Peri Cahaya tersenyum atas pengabulan harapannya. Dia melompat dan berputar, kemudian berterimakasih pada penyelamat kecilnya, “Begitu mulianya! Sungguh akan kusampaikan budi luhurmu pada Raja Rempah. Aku sedang dalam pengabdianku sebagai Peri Cahaya untuk menerangi pagi di Kerajaan Rempah, namun aku tidak cukup membawa serbuk peri dalam perbeklanku kali ini, sehingga aku tak lagi kuasa untuk terbang..”
“Begitukah? Kalau begitu, ceritakan aku sebagai seekor burung yang perkasa agar Raja Rempah terkagum-kagum mendengar ceritamu tentangku, sehingga dia mau mengangkatku sebagai ksatria kerajaan. Ayolah naik, waktu kita tidak banyak!”
Kemudian mereka terbang lincah melawan arus angin hingga terlihatlah sebuah bayangan hitam di ujung penglihatan Peri Cahaya. “Wahai Ksatria Berparuh, layarkanlah pandanganmu ke arah matahari terbit. Bukankah itu sebuah pulau? Marilah kita mendarat disana, barangkali aku menemukan kali-serbuk-peri dan dapat meminta sekantung penuh pada penjaganya untuk bekalku pulang..”
Burung itu menyipitkan matanya, kemudian berseru hingga Peri Cahaya nyaris terlempar dari punggungnya. “Oh, lihat, lihat! Itu adalah Pulau Cengkeh yang keberadaannya jarang mendarat di telinga pengelana sepertiku. Namun sungguh, Peri, pulau itu menyimpan sejuta pesona bagi siapa saja yang bersedia menyapukan pandangannya disana..”, burung kecil itu tersenyum menghadirkan pesona misterius dalam tatapan kosongnya.
Peri Cahaya tak kuasa menolak tawanan Ksatria Berparuh. Lebih tepatnya, lebih karena dia telah lelah terbang mengelilingi Kerajaan Rempah. “Benarkah? Tunggu apa lagi, Ksatria Tangguh, rentangkan kedua sayapmu dan meluncurlah bagai elang!”, dia mengalirkan bara semangat pada tiap urat si burung kecil. Dan benar saja,  Ksatria Berparuh melejitkan kecepatan terbangnya untuk segera mencapai pulau tersebut. Peri Cahaya tertawa riang dan berteriak sesuka hati. Mereka benar-benar terlihat bercahaya. “Ksatria Berparuh, kita sampai lebih cepat dari apa yang sempat aku bayangkan! Kau memang pantas menjadi ksatria kerajaan”, Peri Cahaya tertawa menggoda.
“Baiklah, Peri, kutunggu kedatanganmu beserta undangan Raja Rempah di sangkarku. Kita harus berpisah disini karena aku masih harus terbang mengelilingi Kerajaan Rempah untuk mencatat pertumbuhan pulau-pulau baru di kerajaan ini. Semoga beruntung!”, kemudian burung itu melesat bagaikan roket ke angkasa. “Sampai jumpa lagi, Peri Kecil!”, pekiknya dari kejauhan, kemudian hilang..
^^^
Di suatu perbukitantandus di Pulau Cengkeh, hiduplah seorang pemuda yang mengasingkan diri dari keramaian demi menemukan seorang kekasih. Dia adalah Liliput Tampan salah satu penghuni Pulau Cengkeh yang telah menghabiskan setahun hidupnya dalam pencarian yang belum menemukan garis akhir. Dan ketika dia sedang berbaring menikmati langit sore, dia melihat Peri Cahaya di dahan pohon kenari. Dia berseru, “Hei, Peri Asing, apa yang kau lakukan disana? Maksudku, dengan sayap yang dapat membawamu terbang, kenapa kau memilih untuk memanjat pohon?”
“Oh, sukurlah!”, pekik Peri Cahaya ketika menyadari keberadaan sosok liliput itu. “Aku Peri Cahaya. Maukah kau memberiku ramah-tamahmu sebagai tuan rumah?”, Peri Cahayaberusaha menyembunyikan rasa takutnya.
“Hei, Peri Kecil, sungguh sangat disesalkan jika aku harus menikmati keindahanmu dari bawah sini. Turunlah dan tampakkan kecantikanmu di hadapanku!”, titah si liliput kecil.
Peri Cahaya agak ketakutan, namun dia memutuskan untuk turun dan menemui tuan rumah demi mendapat ramah-tamahnya. “Selamat sore, Tuan, maafkan ketidaksopananku menegurmu dalam keasingan..”, segan Peri Cahaya disiratkan oleh gerakan mengelus lengan kirinya sendiri.
“Betapa indahnya seorang peri!”, liliput itu menggosok-gosok kedua matanya, ragu akan apa yang sedang disaksikannya. “Namaku Teru. Panggil saja Ru. Sudah sepantasnya tuan rumah mengetahui jenis angin yang menerbangkan tamunya ke tempat singgah mereka..”, dia mulai ramah.
Peri Cahaya menyadari itu dan dia pun tersenyum. “Terimakasih. Aku aishi, panggil saja Ai. Aku adalah Peri Cahaya yang bertugas menaburkan serbuk-serbuk cahaya di langit Kerajaan Rempah, namun aku kehabisan serbuk peridan takdir mendaratkanku di pulau ini. Maukah kaumengantarkanku pada kali-serbuk-peri agar aku dapat memenuhi kantung serbukku kemudian kembali pulang ke pelukan ibumu?”
“Entahlah. Aku tidak yakin pulauku memiliki hal seperti itu. Namun selama perjalanku, Ai, aku tidak pernah melihat kali itu disini..” Liliput itu terlihat ragu, atau mungkin saja sedang berbohong! Dia takut kehilangan Peri Cahaya.
“Begitukah, Ru?” Peri Cahaya—terlihat sekali—begitu berusaha menyembunyikan perasaan kecewa di balik senyum manisnya. “Lalu bagaimana aku dapat pulang dan menceritakan budi luhur Ksatria Berparuh pada Raja Rempah?”
“Aku rasa Raja Rempah sengaja mengirimmu untukku sebagai akhir pencarianku akan seorang kekasih.” Liliput ini sungguhlah pandai bersandiwara, karena dia berhasil meyakinkan Peri Cahaya pada tiap omongannya. “Maukah kau menjadi kekasihku, Ai?”
“Aishiteru.”
^^^
“Kasih, selama aku bernafas menghirup udara disini, tak pernah kulihat seorang wanita dari kaummu.” Peri Cahaya memulai percakapan di suatu pagi yang tenang.
Liliput Tampan yang kini menjadi kekasihnya terkekeh, “Itu karena Pulau Cengkeh ini begitu menghargai kalian kaum wanita. Panglima Cengkeh sangat pandai menyembunyikan para wanita sehingga keberadaan kalian bagaikan harta karun!”
Peri Cahaya berpedar merah jambu. “Begitukah? Hei, Liliput Tampan, aku merindukan rumahku. Maukah kau mengantarku dan menemui ibu kita?” Tiba-tiba saja.
“Eh?” Masihkah kau membutuhkan cinta selai cintaku, Peri Kecil?” Liliput Tampan yang malang. Sepertinya dia akan kehilangan Peri Cahaya sebentar lagi. “Pergilah jika rindumu mengalir terlalu deras dan merobohkan bendungan cinta kita..”
“Jangan khawatir, aku akan kembali seperti matahari yang selalu hadir menyinari dunia!” Wajah Peri Cahaya berseri kemudian memeluk Liliput Tampan. “Aishiteru”, bisiknya. Peri Cahaya menghambur keluar bagai anak-anak lebah. Namun rupanya, Dewi Fortuna tidak selalu menyelamatkan peri-peri di Kerajaan Rempah. Para pengawal Panglima Cengkeh melihat dan menangkap Peri Cahaya. “Hei, lepaskan aku!”
“Jangan memberontakdan turuti saja perintahku! Kau, Peri Kecil, apa yang kau lakukan di pondok liliput ini? Kau bukanlah penghuni Pulau Cengkeh, lantas apa yang membawamu kesini?” Satu-persatu para pengawal mewujudkan rasa herannyadalam pertanyaan yang mencekik kemanusiaan Peri Cahaya..
“Oh, para pengawal yang baik hati, aku hanyalah peri yang sedang sial dan menerima takdir tanpa berusaha melawan terlebih dahulu. Dan aku adalah kekasih liliput ini, jadi jangan membawaku pergi untuk menerima hukuman dari Panglima Cengkeh..”, Peri Cahaya jelas sedang memohon kepada mereka.
“Saru-satunya kesalahanmu adalah mendiami pulau yang tidak mengijinkan seorang wanita tinggal bersama para pemuda sebagai pasangan kekasih. Para pemuda haruslah menyelesaikan rintangan dari Panglima Cengkeh agar mendapat ijinnya untuk menikahi gadi-gadis liliput. Sementara kekasihmu tidak menaati peraturan kami, maka ikutlah kalian menghadap Panglima Cengkeh!”
Putri Cahaya dan Liliput Tampan pun menuruti perintah para pengawal yang gagah itu untuk menghadap Panglima Cengkeh. Panglima Cengkeh bertanya, “Wahai liliput, apakah kau benar-benar mengingkari perintahku dengan menikahi wanita tanpa menyelesaikan tugasmu terlebih dahulu?”
“Tidak, Panglima, peri asing itu berbohong. Aku rasa, dia hanyalah peri pengintai yang diutus oleh musuh-musuh kita dari Pulau Jahe..” Liliput Tampanlah yang sedang berbohong, namun Peri Cahaya tak dapat membalasnya karena dia hanya dapat menyinari sudut-sudut kegelapan.
Biarlah cinta hanya menjadi cinta. Biarkan cintaku tetap bersemayam dalam tubuh kekasihku itu. Biarkan dia lepas dan hukumlah aku karena memang akulah sang penyebab. Biarlah cinta hanya menjadi cinta. Biarlah hanya aku yang tak diakui, jangan lagi wanita lain. Biarlah hanya aku..

0 Komentar at “Peri Cahaya dan Pulau Cengkeh”

Posting Komentar