PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR TENTANG EPISTEMOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang secara khusus diminati semenjak abad ke 17, namun semenjak pertengahan abad ke 20 ini, ia mengalami perkembangan yang sedemikian pesat dan begitu beragam ke arah berbagai jurusan. Sebab utamanya adalah tumbuhnya cabang-cabang ilmu pengetahuan secara terus menerus, tanpa henti.[1]
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam perkembangan epistemologi pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan ini merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersipat kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini. Pandangan itu dikemukakan oleh Francis Bacon de Verulam yang berdiri pada ambang pintu masuk zaman modern. Menurutnya, dalam rangka itulah ilmu-ilmu pengetahuan betul-betul berkembang menjadi nyata dalam sejarah Barat sejak abad ke-15. Menurut Bacon pula, ilmu pengetahuan manusia hanya berarti jika tampak dalam kekuasaan manusia.[2] Pada abad-abad berikutnya, di Barat dan di luar Barat dijumpai keyakinan dan kepercayaan bahwa kemajuan yang dicapai oleh pengetahuan manusia, khususnya ilmu-ilmu alam, akan membawa perkembangan manusia pada masa depan yang semakin gemilang dan makmur.
Tokoh yang banyak memberikan perhatian pada masalah manusia modern adalah Seyyed Hossein Nasr. Kritiknya terhadap manusia modern cukup tajam, seperti terlihat dalam dua karyanya yang menyangkut topik ini: Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968), dan Islam and the Plight of Modern Man (1975). Nasr mendasarkan pembahasannya tentang problem manusia modern dengan melihat manusia Barat modern, yang selanjutnya mempunyai banyak pengikut dan peniru, termasuk di wilayah dunia Muslim.




B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin merumuskan beberapa masalah yang akan penulis bahas dalam makalah ini, yaitu:
1.    Biografi Seyyed Hossein Nasr
2.    Obyek Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
3.    Sifat Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
4.    Jalan Memperoleh Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
5.    Epistemologi Tradisional sebagai Alternatif

C.  Tujuan Masalah
Dengan merumuskan masalah-masalah tersebut, penulis berharap agar pembaca dapat memiliki wawasan tentang:
1.    Biografi Seyyed Hossein Nasr
2.    Obyek Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
3.    Sifat Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
4.    Jalan Memperoleh Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
5.    Epistemologi Tradisional sebagai Alternatif

















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Biografi Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran, Iran. Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan pendidik pada masa dinasti Qajar. Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional. Ia hidup dalam dua tradisi, Islam tradisional dan Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah.[3]
Pendidikan dasarnya dimulai di Teheran dan selanjutnya oleh ayahnya ia dikirim ke Qum untuk bekerja dengan sejumlah ulama besar Iran termasuk at-Thabtaba’i untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawwuf dan menghafal Alquran dan syair-syair klasik Persia. Pada masa pendidikannya di Iran, ketegangan telah mewarnai hubungan antara Barat dan Timur. Kebudayaan Barat yang modern dengan segala corak moralnya telah mempengaruhi negara-negara muslim yang dalam banyak hal sangat bertentangan dengan Islam tradisional. Barangkali hal ini yang mendorong keinginan Nasr untuk belajar ke Barat, bahwa untuk melawan pemikiran sekuler Barat harus masuk ke sarangnya.[4]
Pada usia 13 tahun, Nasr berangkat ke Barat untuk melanjutkan studi sekolah tingkat atas dan selanjutnya perguruan tinggi. Ia mengikuti jurusan matematikan dan fisika di Massachussets, di bawah bimbingan seorang guru terkenal yakni Bertrand Russel. Pada tahun 1954, Nasr melanjutkan studinya ke Universitas Harvard. Pada awalnya ia mengambil jurusan geologi dan geofisika, tetapi kemudian beralih mendalami disiplin ilmu tradisional dengan menekuni bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang bertitik fokus pada ilmu pengetahuan Islam dan filsafat. Di sinilah Nasr belajar sejarah dan pemikiran Islam dari tokoh terkenal lainnya yakni H.A.R. Gibb, sejarah ilmu pengetahuan pada George Sarton dan sejarah Teologi dan Filsafat pada Harry Wolfson.[5]
Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh pemikir keIslaman tradisional seperti Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan sebagainya. Salah satu gagasan mereka yang dikembangkan oleh Nasr adalah pemikiran filsafat metafisika universal.[6]

B.  Obyek Ilmu Pengetahuan
Jika pemikiran modern memandang bahwa obyek ilmu pengetahuan hanyalah realitas empirik, Nasr memandangnya keseluruhan realitas dari yang eksternal hingga yang paling internal. Menurutnya, berbagai realitas itu dipadukan dalam kalimat tauhid laa ilaaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah) sebagai konsep dasar Islam.[7] Makna terdalam dari kalimat tersebut adalah tidak ada wujud (realitas) selain wujud Tuhan. Kandungan makna itu, menurut Nasr, tidak harus menunjuk kepada panteisme yang memandang realitas lain selain Tuhan sebagai tuhan, melainkan harus dipahami bahwa adanya realitas lain selain Tuhan tidak lain hanyalah cermin dari sekian banyak “kehadiran Ilahiah” (al-hadharat al-Ilahiyah).
Ia melanjutkan, bahwa banyaknya kehadiran Ilahi itu dapat disederhanakan dengan membaginya ke dalam lima keberadaan (al-hadharat al-Ilahiyah al-Khamsah) untuk menggambarkan hirarki seluruh realitas dalam urutan menurun: (1) kehadiran hakikat ilahiyah, esensi Tuhan (hahut); (2) keberadaan nama dan sifat Tuhan (lahut); (3) kehadiran malaikat (jabarut); (4) keberadaan psikis dan manifestasi halus, disebut juga dunia perantara (malakut); dan (5) keberadaan fana atau dunia fisikal (nasut).[8]
Keberadaan hakikat Ilahiah, adalah wujud yang tidak dapat dikenal dan tidak dapat dijangkau oleh apapun, kecuali Tuhan sendiri. Oleh karena itu, Ia absolut murni. Keberadaan atau dunia hahut, lahut, dan jabarut berada di atas bentuk-bentuk dan manifestasi formal. Sedang dunia malakut mempunyai bentuk meskipun bukan materi dalam pengertian peripatetik biasa.
Nama Tuhan tidak dikenal di dunia ini. Ialu ia menyebutkan nama dan sifat-sifat-Nya untuk dikenal. Dan, secara emanasi, lahirlah apa yang disebut lahut yang dapat dipersamakan dengan prinsip kreatif atau wujud, yaitu prinsip ontologis dari keseluruhan kosmos. Dengan demikian, ia absolut terhadap seluruh ciptaan. Agar dapat sampai ke dunia, diciptakanlah dunia juga a’yan tsabitah, dimana pola-pola dasar (archetype). Malakut adalah mediator antara Tuhan dengan dunia psikis manusia. Malakut adalah keberadaan cahaya atau substansi jiwa yang ada dalam diri manusia, salah satu bagiannya adalah intelek, sebagai cahaya Ilahi yang mampu menghubungkan manusia dengan malakut. Intelek, bagi manusia, merupakan ciri utama yang melampaui realitas lain. Karena intelek itulah, manusia kerap disebut mikrokosmos, sebagai simbol dari makrokosmos. Nasut adalah keberadaan alam fisik. Ia merupakan manifestasi yang paling akhir, ia juga merupakan lambang ketuhanan. Oleh karena itu, intelek disebut juga ayat. Ia bukan hanya bersifat material melainkan memiliki makna. Hierarki keberadaan itulah yang disebut manifestasi Tuhan (tajalliyat).
Doktrin keesaan (tawhid) adalah formulasi metafisikal yang paling mendalam. Ia mempunyai berbagai aspek dan tingkat pengertian: pertama, penekanan pada karakter kesementaraan dan ketaksubstansialan segala sesuatu selain Allah (masiwa Allah) dan dengan mengikuti urutan ciptaan: yang material adalah yang paling tidak permanen; Kedua, penekanan pada “sesuatu yang lain” sehingga realitas tertinggi menekankan pada kebenaran bahwa Allah sepenuhnya berada di atas seluruh pemikiran dan pengertian awam tentang makna istilah kata “ilah” dalam formulasi di atas.
Dengan mengikuti terminologi Al-Qur’an, Nasr mengemukakan empat kualitas dunia tertinggi: awal, akhir, zhahir, dan bathin, yang satu sama lain bersifat komplementer. Dua sifat Ilahi pertama, yang Awal dan yang Akhir, bersesuaian dengan kepercayaan waktu di dunia atas asal Ilahi. Tuhan Yang Awal berarti bahwa seluruh realitas berasal dari-Nya, sedangkan Tuhan Yang Akhir berarti semua realitas akan kembali kepada-Nya.[9] Dengan kata lain, Ia adalah asal sekaligus tujuan. Dan, dua sifat Ilahi berikutnya, Yang Zhahir dan Yang Bathin, berhubungan dengan ruang. Tuhan Yang Zhahir dan Yang Bathin berarti Yang mencakup segalanya.[10]
Metafisika, bagi Nasr, merupakan pengetahuan tentang yang real. Ia menjelaskan asal-usul dan tujuan semua realitas, tentang yang absolut dan relatif. Oleh karena itu, Nasr mengusulkan jika manusia ingin tinggal di dunia lebih lama, prinsip-prinsip metafisis harus dihidupkan kembali.

C.  Subyek Ilmu Pengetahuan
Konsep sentral Nasr adalah unitas. Ia adalah paham kesatupaduan dan interelasi dari segala yang ada, sehingga dengan merenungkan kesatupaduan kosmos, seseorang dapat menuju ke arah kesatupaduan Ilahi yang dibayangkan dalam kesatuan Alam. Ide unitas dalam ilmu pengetahuan ini merupakan ide turunan dari kalimat syahadat: laa ilaaha illa Allah. Lebih jauh, menurut Nasr, ide unitas bukanlah hanya sebagai sifat ilmu pengetahuan dan seni Islam, ia juga mendominasi pengungkapan ilmu pengetahuan dan seni tersebut.[11] Dengan konsep unitas itu pula memungkinkan terjadinya integrasi keanekaragaman pengetahuan ke dalam keterpaduan. Dalam kata lain, ide unitas itu memungkinkan integrasi pengetahuan dan tindakan manusia ke dalam sebuah kesatuan yang harmo.
Sesungguhnya, menurut Nasr, ide unitas semacam ini tidak hanya khas Islam tetapi lazim dalam semua peradaban tradisional, termasuk Kristen. Namun, aplikasinya di dalam Islam mampu melahirkan sesuatu yang unik, yang tidak ditemukan dalam derajat yang sama pada peradaban dari tradisi lainnya.
Menurut Nasr, kosmologi mampu untuk menjadi alat integrasi konseptual, karena tujuannya adalah “untuk mengadakan sebuah pengetahuan yang memperlihatkan keterkaitan segala sesuatu dan mengadakan hubungan dengan tingkat-tingkat hirarki kosmik satu sama lain dan dengan prinsip tertinggi. Dengan demikian, ia menjadi sebuah pengetahuan yang memungkinkan terjadinya integrasi keanekaragaman ke dalam keterpaduan”.
Menurut Nasr, adanya perbedaan pandangan dan lahirnya berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan, tak lain karena adanya perbedaan tingkat fakultas yang dimiliki manusia. Fakultas-fakultas itu adalah intelek, imajinasi, rasio, dan indera.[12] Intelek di sini, digunakan dalam pengertian asal, intellectus (Latin) atau nous (Yunani). Dalam bahasa Al-Qur’an disebut ‘aql yang berarti mengikat manusia ke asalnya (origin). Secara etimologis, intellect atau ‘aql mempunyai makna yang sama dengan agama karena agama mengikat manusia kepada Tuhan. Pengertian itu, dalam paham modern, menurut Nasr, telah mengalami reduksi menjadi hanya reason semata-mata.

D.  Jalan Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Menurut Nasr, ketika ia memaparkan perkembangan ilmu pengetahuan Islam secara historis, para ilmuwan Muslim menggunakan metode yang majemuk dalam menciptakan elemen ilmu pengetahuan Islam yang sesuai dengan makna term “sains” saat ini. Ilmu pengetahuan Islam senantiasa berupaya menerapkan metode-metode yang beragam sesuai dengan watak subyek yang dipelajari dan cara-cara memahami subyek tersebut. Para ilmuwan Muslim, dalam menumbuhkan dan mengembangkan beraneka ragam ilmu pengetahuan telah menggunakan berbagai metodologi, dari rasionalisasi dan interpretasi Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi.
Kendati dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern sendiri telah terjadi pergeseran konsep metodologi yang ditandai dengan penyingkiran gagasan yang menyatakan hanya ada satu metodologi yang bertanggung jawab atas terciptanya ilmu pengetahuan, dan berlanjut dengan penerimaan pluralitas metodologi oleh kalangan ilmuwan modern, perbedaannya dengan ilmu pengetahuan Islam tetap tampak. Demikian itu, disebabkan metodologi ilmu pengetahuan dalam Islam didasarkan atas sebuah epistemologi yang secara fundamental berbeda dengan epistemologi yang dominan dalam ilmum pengetahuan modern.
Menurut Nasr, keimanan kepada wahyu Al-Qur’an akan menyingkap semua kemungkinan yang terdapat . pada akal manusia. Ketundukan kepada wahyu, pada setiap tingkat membuat akal mampu untuk mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinan ini. Pengembangan akal muslim didasarkan atas suatu kesadaran yang utuh tentang prinsip ini. Dalam perspektif ini, dalam memecahkan masalah-masalah filosofis dan ilmiahnya.
Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa penyucian jiwa dipandang sebagai bagian yang terpadu dari metodologi pengetahuan. Penyucian jiwa menjadi perhatian utama, untuk proteksi dan penggunaan akal manusia dengan benar. Suasana religius dan spiritual yang tercipta dari Al-Qur’an sekaligus menghilangkan rintangan bagi pertumbuhan akal yang wajar dan optimal, dan tentunya, dengan cara yang benar.
Menurut Nasr, persepektif Islam yang menyatukan tidak pernah membenarkan terjadinya pengembangan ilmu pengetahuan dan sains secara independen satu sama lain. Sebaliknya, dalam Islam selalu terdapat interelasi dan hirarki ilmu pengetahuan, sejak dari ilmu pengetahuan yang menyangkut materi sampai kepada metafisika. Semuanya saling berkaitan sebagai refleksi dari haqiqat.[13]

E.  Epistemologi Tradisional sebagai Alternatif
Di dalam karya-karyanya, Nasr menunjukkan signifikansi religius dari upaya penegakan ilmu pengetahuan. Ia mengidentifikasi diri sebagai ilmuwan tradisional. Terma tradisi, menurut Nasr, menyiratkan sesuatu yang sakral. Keprihatinan Nasr terhadap gelombang sekulerisme yang melanda Barat dan telah terasa dampaknya di dunia Islam, menyebabkan Nasr menyerukan untuk kembali kepada tradisi Islam yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Nasr, dominasi Barat dalam filsafat, budaya, seni, politik dan sosial di dunia Islam telah mengancam bukan hanya lembaga tradisional masyarakat muslim, tetapi juga Islam itu sendiri.[14]
Dengan penggunaan terma tradisi di sini, Nasr tampak menginginkan adanya kejelasan alur dan posisi pemikirannya untuk dilihat secara berbeda dari pemikiran “kontra tradisi”. Mereka itu diidentifikasi sebagai kelompok ilmuwan modern, para pemikir Muslim modernis, dan fundamentalis. Pembedaan secara kontras ini dilakukan Nasr mengingat masing-masing kelompok itu memiliki karakteristik spesifik.
Dalam wacana ilmu pengetahuan, tradisi dihadapkan pada terma modern. Tradisi yang dimaksud bukanlah sebagai adat atau kebiasaan, tetapi sebagai suatu nilai yang diturunkan dari pengertian al-din yang seluas-luasnya. Menurud Nasr, tradisi bisa juga berarti al-sunnah, yaitu segala sesuatu yang didasarkan atas model-model sakral yang sudah menjadi kebiasaan turun-menurun di kalangan masyarakat tradisional.[15] Dalam hubungan ini, terma modern bukan dimaksudkan sebagai kontemporer atau mengikuti zaman, melainkan sesuatu yang terpisah dari yang transenden. Dengan demikian, modernisme dipertentangkan dengan al-din. Modernisme meng-implikasikan semua yang semata-mata manusiawi dan semua yang tercerai dan terpisah dari sumber yang Ilahi.
Sekurang-kurangnya ada tiga karakteristik utama yang dapat dijumpai dalam ilmu pengetahuan modern: (1) ilmu pengetahuan modern bersifat antropomorfik. Ia menunjukkan kriteria instrumen-instrumen pengetahuan adalah semata-mata manusia. Sebaliknya, ilmu pengetahuan tradisional benar-benar non-antropomorfik, dalam pengertian bahwa locus dan wadah pengetahuan bukanlah pikiran manusia melainkan, pada akhirnya, kecerdasan Ilahi. Ilmu pengetahuan didasarkan atas kecerdasan yang dimiliki tingkat supra manusiawi, (2) Tidak adanya prinsip-prinsip yang menjadi ciri ilmu pengetahuan modern karena empirisme, rasionalisme, dan rasionalisme-empirik tidak dapat bertindak sebagai prinsip-prinsip dalam pengertian metafisika, (3) tidak memiliki kepekaan terhadap yang sakral. Sementara itu Islam tidak mengenal konsep profan atau sekuler karena dalam Islam, Yang Esa merasuk ke dalam kedalam dunia multiplisitas dan tidak mengesampingkan domain apapun dari tradisi.
Secara keseluruhan tampaknya, Nasr mengemukakan sebuah kebutuhan untuk menghidupkan kembali kosmologi tradisional di dunia modern. Kosmologi ini memiliki peran penting di dalam setiap usulan yang bertujuan membangkitkan kesadaran akan kesatuan ilmu pengetahuan dan pengetahuan spiritual.
Inti dari filsafat Islam yang tidak bisa ditutup-tutupi untuk masa sekarang ini adalah adanya pertautan yang indah antara rasionalitas dengan iluminasi batin, antara intelektual dengan pengalaman spiritual, antara pemikiran dengan kesucian.  Penyatuan akhir ini mencirikan sifat-sifat pokok dan taqdir filsafat Islam, yang disamping kepentingan besarnya dalam wilayah-wilayah logika, matematika dan sains-sains natural, juga selalu berhubungan dengan sains tertinggi dan pengetahuan yang diilhami realisasi batin. Inilah mengapa filsafat Islam tetap bertahan sampai hari ini dan menjadi elemen yang penting dalam dunia multi dimensional dan luas pada spiritual Islam.[16]


























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.    Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran, Iran. Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan pendidik pada masa dinasti Qajar. Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional. Ia hidup dalam dua tradisi, Islam tradisional dan Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah
2.    Menurutnya, obyek pengetahuan adalah  segala realitas. Realitas itu abadi, universal, dan memiliki kesatuan dan hirarki. Realitas tertinggi adalah hakikat Ilahi, realitas nama dan sifat-Nya, realitas malaikat, realitas jiwa atau alam halus, dan realitas fisik yaitu manusia. Adanya kesatuan dan hirarki realitas itu melahirkan hirarki pengetahuan, yaitu pengetahuan intelektual, rasional, dan inderawi.
3.    Mengenai sifat pengetahuan, Nasr mendasarkannya pada prinsip dasar agama, tawhid. Dalam Islam, kesadaran religius terhadap tawhid merupakan sumber dan semangat ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan. Oleh karena itu, tradisi intelektual Islam tidak menerima gagasan bahwa ilmu-ilmu kealaman lebih ilmiah daripada ilmu atau pengetahuan lainnya. Demikian pula, gagasan obyektivitas yang begitu esensial dalam kegiatan ilmiah tidak dapat dipisahkan dari kesadaran religius dan spiritual. Dalam perspektif Islam, pencarian obyektivitas dalam upaya intelektual memiliki signifikansi religius yang besar.
4.    Mengenai jalan memeperoleh pengetahuan, Nasr mendukung gagasan kemajemukan metodologi. Epistemologi Nasr memiliki pandangan yang menyatu tentang kemajemukan metodologi itu. Kendati Nasr juga mengakui bahwa kini metodologi majemuk telah diterima oleh segmen-segmen tertentu dalam masyarakat ilmiah modern, tetapi menurutnya, itu tidak mencakup totalitas metodologi ilmu pengetahuan Islam. Hal itu disebabkan karena meskipun para filosof ilmu pengetahuan kontemporer berbicara tentang penggunaan Kitab Suci dalam metodologi ilmu pengetahuan modern, mereka tidak memberikannya status epistemologis yang sama seperti yang dilakukan oleh ilmu-ilmu pengetahuan tradisional.
5.    Dalam pandangan tradisional, persoalan metodologi secara konseptual tidak dapat dipisahkan dengan tujuan akhir kognisi manusia yang ada kaitannya dengan persoalan tujuan ruhaniah manusia. Nasr menegaskan bahwa terdapat hubungan konseptual yang dalam antara dimensi batiniah Islam, dengan kedalam dan keluasan pemikiran ilmiah Muslim, dan ilmu pengetahuan yang menyubur dalam peradaban Islam. Upaya untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan Islam di dunia modern menghendaki para ilmuwan Muslim agar mencurahkan perhatian yang besar pada keterkaitan yang erat itu. Dalam hubungan ini, epistemologi tradisional yang diajukan Nasr dapat menjadi alternatif bagi upaya tersebut.



























DAFTAR PUSTAKA

Maftukhin. Filsafat Islam. (Jogjakarta: Penebit Teras, 2012).
Nasr, Seyyed Hossein. Intelektual Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis. (Yogyakarta: CIIS, 1995).
Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature. (London: Mandala Books, 1976) dalam Muhammad Kekasih Allah. (Bandung: Mizan, 1992).
Nasr, Seyyed Hossein. Menjelajah Dunia Modern. (Bandung: Mizan, 1994).
Nasr, Seyyed Hossein. Sains dan Peradaban dalam Islam. (Bandung: Pustaka, 1986).
Soleh, H.A. Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014).
Taufik, Akhmad. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005).
Verhaak, C. Filsafat Ilmu Pengetahuan. (Jakarta: Gramedia, 1991).















[1] C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1991, hlm. ix.
[2] Ibid, hlm. 139.
[3] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis, hlm: vi.
[4] H.A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hlm. 362.
[5] Ibid, hlm. 362-363.
[6] Ibid.
[7] Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Krisis of Modern Man, hlm. 18.
[8] Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, hlm. 74.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm. 75.
[11] Ibid, hlm. 1-5.
[12] Ibid, hlm. 18.
[13] Maftukhin,  Filsafat Islam, hlm. 214.
[14] Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, hlm. 7.
[15] Maftukhin,  Filsafat Islam, hlm. 205.
[16] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, hlm. 82.

0 Komentar at “PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR TENTANG EPISTEMOLOGI”

Posting Komentar