BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang secara khusus diminati semenjak abad ke 17,
namun semenjak pertengahan abad ke 20 ini, ia mengalami perkembangan yang
sedemikian pesat dan begitu beragam ke arah berbagai jurusan. Sebab utamanya
adalah tumbuhnya cabang-cabang ilmu pengetahuan secara terus menerus, tanpa
henti.[1]
Sebagian
ciri yang patut mendapat perhatian dalam perkembangan epistemologi pada masa
modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan ini
merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles yaitu bahwa ilmu pengetahuan
sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersipat kontemplatif, diganti
dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya
dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini. Pandangan itu
dikemukakan oleh Francis Bacon de Verulam yang berdiri pada ambang pintu masuk
zaman modern. Menurutnya, dalam rangka itulah ilmu-ilmu pengetahuan betul-betul
berkembang menjadi nyata dalam sejarah Barat sejak abad ke-15. Menurut Bacon
pula, ilmu pengetahuan manusia hanya berarti jika tampak dalam kekuasaan
manusia.[2]
Pada abad-abad berikutnya, di Barat dan di luar Barat dijumpai keyakinan dan
kepercayaan bahwa kemajuan yang dicapai oleh pengetahuan manusia, khususnya
ilmu-ilmu alam, akan membawa perkembangan manusia pada masa depan yang semakin
gemilang dan makmur.
Tokoh
yang banyak memberikan perhatian pada masalah manusia modern adalah Seyyed
Hossein Nasr. Kritiknya terhadap manusia modern cukup tajam, seperti terlihat
dalam dua karyanya yang menyangkut topik ini: Man and Nature: The Spiritual
Crisis of Modern Man (1968), dan Islam and the Plight of Modern Man (1975).
Nasr mendasarkan pembahasannya tentang problem manusia modern dengan melihat
manusia Barat modern, yang selanjutnya mempunyai banyak pengikut dan peniru,
termasuk di wilayah dunia Muslim.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, penulis ingin merumuskan beberapa masalah yang akan
penulis bahas dalam makalah ini, yaitu:
1.
Biografi
Seyyed Hossein Nasr
2.
Obyek
Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
3.
Sifat
Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
4.
Jalan
Memperoleh Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
5.
Epistemologi
Tradisional sebagai Alternatif
C. Tujuan
Masalah
Dengan
merumuskan masalah-masalah tersebut, penulis berharap agar pembaca dapat
memiliki wawasan tentang:
1.
Biografi
Seyyed Hossein Nasr
2.
Obyek
Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
3.
Sifat
Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
4.
Jalan
Memperoleh Ilmu Pengetahuan menurut Nasr
5.
Epistemologi
Tradisional sebagai Alternatif
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Seyyed Hossein Nasr
Seyyed
Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran, Iran.
Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan
pendidik pada masa dinasti Qajar. Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin
menggeser peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional.
Ia hidup dalam dua tradisi, Islam tradisional dan Modernitas Barat. Beliau
dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah.[3]
Pendidikan
dasarnya dimulai di Teheran dan selanjutnya oleh ayahnya ia dikirim ke Qum
untuk bekerja dengan sejumlah ulama besar Iran termasuk at-Thabtaba’i untuk
mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawwuf dan menghafal Alquran dan syair-syair
klasik Persia. Pada masa pendidikannya di Iran, ketegangan telah mewarnai
hubungan antara Barat dan Timur. Kebudayaan Barat yang modern dengan segala
corak moralnya telah mempengaruhi negara-negara muslim yang dalam banyak hal
sangat bertentangan dengan Islam tradisional. Barangkali hal ini yang mendorong
keinginan Nasr untuk belajar ke Barat, bahwa untuk melawan pemikiran sekuler
Barat harus masuk ke sarangnya.[4]
Pada
usia 13 tahun, Nasr berangkat ke Barat untuk melanjutkan studi sekolah tingkat
atas dan selanjutnya perguruan tinggi. Ia mengikuti jurusan matematikan dan
fisika di Massachussets, di bawah bimbingan seorang guru terkenal yakni
Bertrand Russel. Pada tahun 1954, Nasr melanjutkan studinya ke Universitas
Harvard. Pada awalnya ia mengambil jurusan geologi dan geofisika, tetapi
kemudian beralih mendalami disiplin ilmu tradisional dengan menekuni bidang
filsafat dan ilmu pengetahuan yang bertitik fokus pada ilmu pengetahuan Islam
dan filsafat. Di sinilah Nasr belajar sejarah dan pemikiran Islam dari tokoh
terkenal lainnya yakni H.A.R. Gibb, sejarah ilmu pengetahuan pada George Sarton
dan sejarah Teologi dan Filsafat pada Harry Wolfson.[5]
Nasr
banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh pemikir keIslaman tradisional
seperti Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan sebagainya. Salah satu gagasan
mereka yang dikembangkan oleh Nasr adalah pemikiran filsafat metafisika
universal.[6]
B. Obyek
Ilmu Pengetahuan
Jika pemikiran modern memandang bahwa obyek ilmu
pengetahuan hanyalah realitas empirik, Nasr memandangnya keseluruhan realitas
dari yang eksternal hingga yang paling internal. Menurutnya, berbagai realitas
itu dipadukan dalam kalimat tauhid laa
ilaaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah) sebagai konsep dasar Islam.[7] Makna
terdalam dari kalimat tersebut adalah tidak ada wujud (realitas) selain wujud
Tuhan. Kandungan makna itu, menurut Nasr, tidak harus menunjuk kepada panteisme
yang memandang realitas lain selain Tuhan sebagai tuhan, melainkan harus
dipahami bahwa adanya realitas lain selain Tuhan tidak lain hanyalah cermin
dari sekian banyak “kehadiran Ilahiah” (al-hadharat
al-Ilahiyah).
Ia melanjutkan, bahwa banyaknya kehadiran Ilahi itu
dapat disederhanakan dengan membaginya ke dalam lima keberadaan (al-hadharat al-Ilahiyah al-Khamsah) untuk menggambarkan hirarki seluruh
realitas dalam urutan menurun: (1) kehadiran hakikat ilahiyah, esensi Tuhan
(hahut); (2) keberadaan nama dan sifat Tuhan (lahut); (3) kehadiran malaikat
(jabarut); (4) keberadaan psikis dan manifestasi halus, disebut juga dunia
perantara (malakut); dan (5) keberadaan fana atau dunia fisikal (nasut).[8]
Keberadaan hakikat Ilahiah, adalah wujud yang tidak
dapat dikenal dan tidak dapat dijangkau oleh apapun, kecuali Tuhan sendiri.
Oleh karena itu, Ia absolut murni. Keberadaan atau dunia hahut, lahut, dan
jabarut berada di atas bentuk-bentuk dan manifestasi formal. Sedang dunia
malakut mempunyai bentuk meskipun bukan materi dalam pengertian peripatetik
biasa.
Nama Tuhan tidak dikenal di dunia ini. Ialu ia
menyebutkan nama dan sifat-sifat-Nya untuk dikenal. Dan, secara emanasi,
lahirlah apa yang disebut lahut yang dapat dipersamakan dengan prinsip kreatif
atau wujud, yaitu prinsip ontologis dari keseluruhan kosmos. Dengan demikian,
ia absolut terhadap seluruh ciptaan. Agar dapat sampai ke dunia, diciptakanlah
dunia juga a’yan tsabitah, dimana
pola-pola dasar (archetype). Malakut adalah mediator antara Tuhan dengan dunia
psikis manusia. Malakut adalah keberadaan cahaya atau substansi jiwa yang ada
dalam diri manusia, salah satu bagiannya adalah intelek, sebagai cahaya Ilahi
yang mampu menghubungkan manusia dengan malakut. Intelek, bagi manusia,
merupakan ciri utama yang melampaui realitas lain. Karena intelek itulah,
manusia kerap disebut mikrokosmos, sebagai simbol dari makrokosmos. Nasut
adalah keberadaan alam fisik. Ia merupakan manifestasi yang paling akhir, ia
juga merupakan lambang ketuhanan. Oleh karena itu, intelek disebut juga ayat.
Ia bukan hanya bersifat material melainkan memiliki makna. Hierarki keberadaan
itulah yang disebut manifestasi Tuhan (tajalliyat).
Doktrin keesaan (tawhid)
adalah formulasi metafisikal yang paling mendalam. Ia mempunyai berbagai aspek
dan tingkat pengertian: pertama, penekanan pada karakter kesementaraan dan
ketaksubstansialan segala sesuatu selain Allah (masiwa Allah) dan dengan mengikuti
urutan ciptaan: yang material adalah yang paling tidak permanen; Kedua,
penekanan pada “sesuatu yang lain” sehingga realitas tertinggi menekankan pada
kebenaran bahwa Allah sepenuhnya berada di atas seluruh pemikiran dan
pengertian awam tentang makna istilah kata “ilah” dalam formulasi di atas.
Dengan mengikuti terminologi Al-Qur’an, Nasr
mengemukakan empat kualitas dunia tertinggi: awal, akhir, zhahir, dan bathin,
yang satu sama lain bersifat komplementer. Dua sifat Ilahi pertama, yang Awal
dan yang Akhir, bersesuaian dengan kepercayaan waktu di dunia atas asal Ilahi.
Tuhan Yang Awal berarti bahwa seluruh realitas berasal dari-Nya, sedangkan
Tuhan Yang Akhir berarti semua realitas akan kembali kepada-Nya.[9]
Dengan kata lain, Ia adalah asal sekaligus tujuan. Dan, dua sifat Ilahi
berikutnya, Yang Zhahir dan Yang Bathin, berhubungan dengan ruang. Tuhan Yang
Zhahir dan Yang Bathin berarti Yang mencakup segalanya.[10]
Metafisika, bagi Nasr, merupakan pengetahuan tentang
yang real. Ia menjelaskan asal-usul dan tujuan semua realitas, tentang yang
absolut dan relatif. Oleh karena itu, Nasr mengusulkan jika manusia ingin
tinggal di dunia lebih lama, prinsip-prinsip metafisis harus dihidupkan
kembali.
C. Subyek
Ilmu Pengetahuan
Konsep sentral Nasr adalah unitas. Ia
adalah paham kesatupaduan dan interelasi dari segala yang ada, sehingga dengan
merenungkan kesatupaduan kosmos, seseorang dapat menuju ke arah kesatupaduan
Ilahi yang dibayangkan dalam kesatuan Alam. Ide unitas dalam ilmu pengetahuan
ini merupakan ide turunan dari kalimat syahadat: laa ilaaha illa Allah. Lebih jauh, menurut Nasr, ide unitas
bukanlah hanya sebagai sifat ilmu pengetahuan dan seni Islam, ia juga
mendominasi pengungkapan ilmu pengetahuan dan seni tersebut.[11]
Dengan konsep unitas itu pula memungkinkan terjadinya integrasi keanekaragaman
pengetahuan ke dalam keterpaduan. Dalam kata lain, ide unitas itu memungkinkan
integrasi pengetahuan dan tindakan manusia ke dalam sebuah kesatuan yang harmo.
Sesungguhnya, menurut Nasr, ide unitas
semacam ini tidak hanya khas Islam tetapi lazim dalam semua peradaban
tradisional, termasuk Kristen. Namun, aplikasinya di dalam Islam mampu
melahirkan sesuatu yang unik, yang tidak ditemukan dalam derajat yang sama pada
peradaban dari tradisi lainnya.
Menurut Nasr, kosmologi mampu untuk
menjadi alat integrasi konseptual, karena tujuannya adalah “untuk mengadakan
sebuah pengetahuan yang memperlihatkan keterkaitan segala sesuatu dan
mengadakan hubungan dengan tingkat-tingkat hirarki kosmik satu sama lain dan
dengan prinsip tertinggi. Dengan demikian, ia menjadi sebuah pengetahuan yang
memungkinkan terjadinya integrasi keanekaragaman ke dalam keterpaduan”.
Menurut Nasr, adanya perbedaan pandangan
dan lahirnya berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan, tak lain karena
adanya perbedaan tingkat fakultas yang dimiliki manusia. Fakultas-fakultas itu
adalah intelek, imajinasi, rasio, dan indera.[12]
Intelek di sini, digunakan dalam pengertian asal, intellectus (Latin) atau nous
(Yunani). Dalam bahasa Al-Qur’an disebut ‘aql
yang berarti mengikat manusia ke asalnya (origin). Secara etimologis, intellect
atau ‘aql mempunyai makna yang sama
dengan agama karena agama mengikat manusia kepada Tuhan. Pengertian itu, dalam
paham modern, menurut Nasr, telah mengalami reduksi menjadi hanya reason
semata-mata.
D. Jalan
Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Menurut
Nasr, ketika ia memaparkan perkembangan ilmu pengetahuan Islam secara historis,
para ilmuwan Muslim menggunakan metode yang majemuk dalam menciptakan elemen
ilmu pengetahuan Islam yang sesuai dengan makna term “sains” saat ini. Ilmu
pengetahuan Islam senantiasa berupaya menerapkan metode-metode yang beragam
sesuai dengan watak subyek yang dipelajari dan cara-cara memahami subyek
tersebut. Para ilmuwan Muslim, dalam menumbuhkan dan mengembangkan beraneka
ragam ilmu pengetahuan telah menggunakan berbagai metodologi, dari
rasionalisasi dan interpretasi Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi.
Kendati
dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern sendiri telah terjadi pergeseran
konsep metodologi yang ditandai dengan penyingkiran gagasan yang menyatakan
hanya ada satu metodologi yang bertanggung jawab atas terciptanya ilmu
pengetahuan, dan berlanjut dengan penerimaan pluralitas metodologi oleh
kalangan ilmuwan modern, perbedaannya dengan ilmu pengetahuan Islam tetap
tampak. Demikian itu, disebabkan metodologi ilmu pengetahuan dalam Islam
didasarkan atas sebuah epistemologi yang secara fundamental berbeda dengan
epistemologi yang dominan dalam ilmum pengetahuan modern.
Menurut
Nasr, keimanan kepada wahyu Al-Qur’an akan menyingkap semua kemungkinan yang
terdapat . pada akal manusia. Ketundukan kepada wahyu, pada setiap tingkat
membuat akal mampu untuk mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinan ini.
Pengembangan akal muslim didasarkan atas suatu kesadaran yang utuh tentang
prinsip ini. Dalam perspektif ini, dalam memecahkan masalah-masalah filosofis
dan ilmiahnya.
Oleh
karena itu, dapat dimengerti mengapa penyucian jiwa dipandang sebagai bagian
yang terpadu dari metodologi pengetahuan. Penyucian jiwa menjadi perhatian
utama, untuk proteksi dan penggunaan akal manusia dengan benar. Suasana
religius dan spiritual yang tercipta dari Al-Qur’an sekaligus menghilangkan
rintangan bagi pertumbuhan akal yang wajar dan optimal, dan tentunya, dengan
cara yang benar.
Menurut
Nasr, persepektif Islam yang menyatukan tidak pernah membenarkan terjadinya
pengembangan ilmu pengetahuan dan sains secara independen satu sama lain.
Sebaliknya, dalam Islam selalu terdapat interelasi dan hirarki ilmu
pengetahuan, sejak dari ilmu pengetahuan yang menyangkut materi sampai kepada
metafisika. Semuanya saling berkaitan sebagai refleksi dari haqiqat.[13]
E. Epistemologi
Tradisional sebagai Alternatif
Di
dalam karya-karyanya, Nasr menunjukkan signifikansi religius dari upaya
penegakan ilmu pengetahuan. Ia mengidentifikasi diri sebagai ilmuwan tradisional.
Terma tradisi, menurut Nasr, menyiratkan sesuatu yang sakral. Keprihatinan Nasr
terhadap gelombang sekulerisme yang melanda Barat dan telah terasa dampaknya di
dunia Islam, menyebabkan Nasr menyerukan untuk kembali kepada tradisi Islam
yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Nasr, dominasi Barat
dalam filsafat, budaya, seni, politik dan sosial di dunia Islam telah mengancam
bukan hanya lembaga tradisional masyarakat muslim, tetapi juga Islam itu
sendiri.[14]
Dengan
penggunaan terma tradisi di sini, Nasr tampak menginginkan adanya kejelasan
alur dan posisi pemikirannya untuk dilihat secara berbeda dari pemikiran
“kontra tradisi”. Mereka itu diidentifikasi sebagai kelompok ilmuwan modern,
para pemikir Muslim modernis, dan fundamentalis. Pembedaan secara kontras ini
dilakukan Nasr mengingat masing-masing kelompok itu memiliki karakteristik
spesifik.
Dalam
wacana ilmu pengetahuan, tradisi dihadapkan pada terma modern. Tradisi yang
dimaksud bukanlah sebagai adat atau kebiasaan, tetapi sebagai suatu nilai yang
diturunkan dari pengertian al-din
yang seluas-luasnya. Menurud Nasr, tradisi bisa juga berarti al-sunnah, yaitu segala sesuatu yang
didasarkan atas model-model sakral yang sudah menjadi kebiasaan turun-menurun
di kalangan masyarakat tradisional.[15] Dalam
hubungan ini, terma modern bukan dimaksudkan sebagai kontemporer atau mengikuti
zaman, melainkan sesuatu yang terpisah dari yang transenden. Dengan demikian,
modernisme dipertentangkan dengan al-din.
Modernisme meng-implikasikan semua yang semata-mata manusiawi dan semua yang
tercerai dan terpisah dari sumber yang Ilahi.
Sekurang-kurangnya
ada tiga karakteristik utama yang dapat dijumpai dalam ilmu pengetahuan modern:
(1) ilmu pengetahuan modern bersifat antropomorfik. Ia menunjukkan kriteria
instrumen-instrumen pengetahuan adalah semata-mata manusia. Sebaliknya, ilmu
pengetahuan tradisional benar-benar non-antropomorfik, dalam pengertian bahwa
locus dan wadah pengetahuan bukanlah pikiran manusia melainkan, pada akhirnya,
kecerdasan Ilahi. Ilmu pengetahuan didasarkan atas kecerdasan yang dimiliki
tingkat supra manusiawi, (2) Tidak adanya prinsip-prinsip yang menjadi ciri
ilmu pengetahuan modern karena empirisme, rasionalisme, dan
rasionalisme-empirik tidak dapat bertindak sebagai prinsip-prinsip dalam
pengertian metafisika, (3) tidak memiliki kepekaan terhadap yang sakral.
Sementara itu Islam tidak mengenal konsep profan atau sekuler karena dalam
Islam, Yang Esa merasuk ke dalam kedalam dunia multiplisitas dan tidak
mengesampingkan domain apapun dari tradisi.
Secara
keseluruhan tampaknya, Nasr mengemukakan sebuah kebutuhan untuk menghidupkan
kembali kosmologi tradisional di dunia modern. Kosmologi ini memiliki peran
penting di dalam setiap usulan yang bertujuan membangkitkan kesadaran akan kesatuan
ilmu pengetahuan dan pengetahuan spiritual.
Inti
dari filsafat Islam yang tidak bisa ditutup-tutupi untuk masa sekarang ini
adalah adanya pertautan yang indah antara rasionalitas dengan iluminasi batin,
antara intelektual dengan pengalaman spiritual, antara pemikiran dengan
kesucian. Penyatuan akhir ini mencirikan
sifat-sifat pokok dan taqdir filsafat Islam, yang disamping kepentingan
besarnya dalam wilayah-wilayah logika, matematika dan sains-sains natural, juga
selalu berhubungan dengan sains tertinggi dan pengetahuan yang diilhami
realisasi batin. Inilah mengapa filsafat Islam tetap bertahan sampai hari ini
dan menjadi elemen yang penting dalam dunia multi dimensional dan luas pada
spiritual Islam.[16]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Seyyed
Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran, Iran.
Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan
pendidik pada masa dinasti Qajar. Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin menggeser
peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional. Ia hidup
dalam dua tradisi, Islam tradisional dan Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di
dalam keluarga ulama Syi’ah
2.
Menurutnya,
obyek pengetahuan adalah segala
realitas. Realitas itu abadi, universal, dan memiliki kesatuan dan hirarki.
Realitas tertinggi adalah hakikat Ilahi, realitas nama dan sifat-Nya, realitas
malaikat, realitas jiwa atau alam halus, dan realitas fisik yaitu manusia.
Adanya kesatuan dan hirarki realitas itu melahirkan hirarki pengetahuan, yaitu
pengetahuan intelektual, rasional, dan inderawi.
3.
Mengenai
sifat pengetahuan, Nasr mendasarkannya pada prinsip dasar agama, tawhid. Dalam Islam, kesadaran religius
terhadap tawhid merupakan sumber dan
semangat ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan. Oleh karena itu, tradisi
intelektual Islam tidak menerima gagasan bahwa ilmu-ilmu kealaman lebih ilmiah
daripada ilmu atau pengetahuan lainnya. Demikian pula, gagasan obyektivitas
yang begitu esensial dalam kegiatan ilmiah tidak dapat dipisahkan dari
kesadaran religius dan spiritual. Dalam perspektif Islam, pencarian
obyektivitas dalam upaya intelektual memiliki signifikansi religius yang besar.
4.
Mengenai
jalan memeperoleh pengetahuan, Nasr mendukung gagasan kemajemukan metodologi.
Epistemologi Nasr memiliki pandangan yang menyatu tentang kemajemukan
metodologi itu. Kendati Nasr juga mengakui bahwa kini metodologi majemuk telah
diterima oleh segmen-segmen tertentu dalam masyarakat ilmiah modern, tetapi
menurutnya, itu tidak mencakup totalitas metodologi ilmu pengetahuan Islam. Hal
itu disebabkan karena meskipun para filosof ilmu pengetahuan kontemporer
berbicara tentang penggunaan Kitab Suci dalam metodologi ilmu pengetahuan
modern, mereka tidak memberikannya status epistemologis yang sama seperti yang
dilakukan oleh ilmu-ilmu pengetahuan tradisional.
5.
Dalam
pandangan tradisional, persoalan metodologi secara konseptual tidak dapat
dipisahkan dengan tujuan akhir kognisi manusia yang ada kaitannya dengan
persoalan tujuan ruhaniah manusia. Nasr menegaskan bahwa terdapat hubungan
konseptual yang dalam antara dimensi batiniah Islam, dengan kedalam dan
keluasan pemikiran ilmiah Muslim, dan ilmu pengetahuan yang menyubur dalam
peradaban Islam. Upaya untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan Islam di
dunia modern menghendaki para ilmuwan Muslim agar mencurahkan perhatian yang
besar pada keterkaitan yang erat itu. Dalam hubungan ini, epistemologi
tradisional yang diajukan Nasr dapat menjadi alternatif bagi upaya tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Maftukhin. Filsafat Islam. (Jogjakarta: Penebit Teras, 2012).
Nasr, Seyyed Hossein. Intelektual
Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis. (Yogyakarta:
CIIS, 1995).
Nasr,
Seyyed Hossein. Man and Nature. (London:
Mandala Books, 1976) dalam Muhammad
Kekasih Allah. (Bandung: Mizan, 1992).
Nasr,
Seyyed Hossein. Menjelajah Dunia Modern.
(Bandung: Mizan, 1994).
Nasr,
Seyyed Hossein. Sains dan Peradaban dalam
Islam. (Bandung: Pustaka, 1986).
Soleh,
H.A. Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik
Hingga Kontemporer. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014).
Taufik,
Akhmad. Sejarah Pemikiran dan Tokoh
Modernisme Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005).
Verhaak, C. Filsafat Ilmu Pengetahuan. (Jakarta:
Gramedia, 1991).
[1] C. Verhaak, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1991, hlm. ix.
[2] Ibid, hlm. 139.
[3] Seyyed
Hossein Nasr, Intelektual Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis, hlm: vi.
[4] H.A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hlm. 362.
[5] Ibid, hlm. 362-363.
[6] Ibid.
[7] Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Krisis of
Modern Man, hlm. 18.
[8] Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, hlm.
74.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm. 75.
[11] Ibid, hlm. 1-5.
[12] Ibid, hlm. 18.
[14] Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, hlm. 7.
[15] Maftukhin, Filsafat Islam, hlm. 205.
[16] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, hlm. 82.
0 Komentar at “PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR TENTANG EPISTEMOLOGI”
Posting Komentar