Perasaan Yang Tidak Ternyatakan

Kalian, wahai manusia yang menanam benih kehidupan dengan hasrat keduniaan dan menyiramnya dengan anggur harapan, menghabiskan waktu dengan merayakan kelahiran anak-anak kehidupan. Sementara aku menyesali kelahiran itu seperti penyesalan seorang hamba yang jatuh tergelincir dari Shirothol Mustaqiem, penyesalan seorang hamba yang tidak dapat diperbaiki.
Kalian menyebut kelahiran anak-anak kehidupan sebagai sayap-sayap matahari karena membangkitkan jiwa yang terlelap. Kalian dapat melihat harapan di balik mata yang terpejam menjelma sebagai mata elang yang terbang tinggi mengelilingi langit.
Sementara bagiku, kelahiran anak-anak kehidupan adalah reinkarnasi akan penderitaan yang terbunuh waktu dan terkubur jauh dalam jiwaku. Aku tidak pernah dapat menyentuh kebenaran hingga Cinta mengecup keningku, membuka sekat kebodohan dan menerangi satu-persatu tangga-tangga kebenaran. Cinta telah melepas rantai dan belenggu dari leherku, hingga aku dapat bangkit. Cinta pun menopang kedua kakiku hingga aku dapat melangkah.
Kalian, wahai saudara-saudaraku, dapat bercerita tentang taman-taman bunga, kebun-kebun teh, hamparan luas rumput dan anak-anak domba yang berkejaran di atasnya serta kursi kayu yang mendengarkan senandung cinta kalian. Aku pun dapat bercerita tentang tempat indah seperti itu, di Lombok Utara. Setiap memejamkan mata, kusaksikan semburat matahari di balik keagungan gunung Rinjani yang bayangannya menaungi Bayyinul Ulum, melukis lekukan-lekukan lembah. Setiap menutup telinga, kudengar senandung kehidupan yang diceritakan semilir angin, serta ratapan airmata dalam aliran sungai.
Namun, semua harmoni keindahan yang kuceritakan dan senantiasa kurindukan adalah teror bagi diriku sendiri, bagai mimpi yang terus-menerus datang tanpa pernah dapat terjamah. Bagai seorang hamba yang memiliki pengetahuan mengenai angkasa raya namun tidak dapat menguak rahasianya. Semua harmoni keindahan itu menimbulkan kegelisahan dan ketakutan. Mereka menghantuiku dengan gemerlap harapan yang menuntunku pada Hawiyah.
Tiap kali aku memandang ke arah barat, cahaya senja melukiskan rona kesedihan di wajahku, karena senja akan meninggalkanku tanpa memberitahuku tentang rahasia kehidupan. Tiap kali aku mencium harum lautan, pandanganku terlempar jauh ke depan, mencari sesuatu yang tidak dapat ditemukan.
Wamaa kholaqtul jinna wal insa illaa liya’buduun. Dan untuk itu, manusia harus mencintai Tuhan-Nya untuk mencapai haqikat kebenaran. Namun kalian, wahai saudara-saudaraku, lebih mencintai anak-anak kehidupan dan membiarkan ketidaktahuan akan kebenaran tenggelam ke dasar pengetahuan, membiarkan jiwaraga terlelap di bawah bayang-bayang kebodohan.
Begitulah kehidupanku sebelum mencapai usia sembilanbelas. Usia sembilanbelas laksana tangga pertama yang membawaku menuju penerangan, mengangkatku perlahan menjauhi lumpur kenistaan. Dia merusak penglihatanku akan pesona kehidupan, membasahi bibirku dengan ayat-ayat suci, kemudian membangkitkan hatiku setelah mengalirinya dengan bacaan Istighfar.
Pada saat itu, Tuhan mengembalikanku pada fitrah manusia. Aku dilahirkan kembali sebagaimana hamba yang terlahir kembali setelah berhasil memenuhi hari-hari Ramadhan dengan mencintai Tuhannya. Pada hari itu, aku dapat melihat penderitaan dari kedermawanan seorang lelaki, pun menyaksikan kebahagiaan dari kekurangan-harta seorang wanita. Pada hari itu, aku merasakan kehidupanku sebagai lembaran yang harus ditulis dengan tinta kebenaran. Dan mereka yang belum disentuh Cinta, merasakan hidupnya dipenuhi kekosongan dan kehampaan kasih sayang.


13th of Aug `12

0 Komentar at “Perasaan Yang Tidak Ternyatakan”

Posting Komentar