Nasiruddin Ath-Thusi


1.             Biografi Nasiruddin Ath-Thusi
Nama lengkap Ath-Thusi adalah Khwajah Nasir al Din abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Hasan. Dia adalah seorang sarjana yang mahir dalam ilmu matematika, astronomi, dan politik. Lahir di kota Tus pada tahun 1201 M/597 H. Ayahnya, Muhammad bin Hasan, mendidik Ath-Thusi sejak pendidikan dasar. Kemudian dia mempelajari fiqh, ushul fiqh, hikmah, dan  kalam, serta isyaratnya Ibnu Sina dan matematika.[1]
Kemudian Ath-Thusi meninggalkan kota kelahirannya untuk pergi ke kota Baghdad. Di sana, dia belajar tentang ilmu pengobatan dan filsafat dari guru Qutb al Din, matematika dari Kamal al Din ibn Yunus, dan fiqh dari Salim ibn Badran.[2]
Ath-Thusi memulai karier sebagai ahli astronomi, pada pemerintahan Nasir al Din ‘Abd al Rahim di benteng gunung Ismailiyah Quhistan. Hal ini sampai pemerintahan ‘Ala al Din Muhammad, Syek Agung VII dari Alamut.[3]
Namun nasib yang kurang baik bagi Ath-Thusi. Dia diberhentikan oleh atasannya karena berhubungan dengan wazir Khalifah Abbasiah terakhir, al Musta’sim dari Baghdad, kemudian dipindahkan ke Alamut. Meskipun dia diawasi dengan sangat ketat, namun dia menikmati segala kemudahan dalam belajar.[4]
Yang membuat Ath-Thusi mencapai kemashuran adalah keberhasilannya membujuk Hulagu untuk mendirikan observatorium Rasad Kanah di Maraghah, Azarbaijan (1259 M/657 H). Di sini, dia menyusun tabel-tabel astronomisnya, Zij al-Ikhani, yang menjadi terkenal sampai ke seluruh Asia termasuk Cina. Kedua, sebagaimana Ibnu Thufail (meninggal tahun 1185 M/581 H) yang membuat pemerintahan ‘Abd al Mu’min menjadi galaksi bintang intelektual cemerlang yang mendorong perkembangan pengetahuan dan kebijaksanaan di Barat, Ath-Thusi membuat observatorium Maraghah menjadi suatu majelis yang hebat yang terdiri atas orang-orang yang pandai dan terpelajar dengan membuat rencana khusus untuk pengajaran ilmu-ilmu filsafat, di samping astronomi dan matematika, juga menyisihkan dana untuk beasiswa. Ketiga, observatorium itu dihubungkan dengan perpustakaan besar tempat disimpannya khazanah pengetahuan yang tak terusakkan, yang dirampas oleh bangsa Mongol dan Tartar ketika mereka menaklukkan Irak, Baghdad, Syria, dan daerah-daerah lain. Menurut Ibnu Syakir, perpustakaan itu berisi lebih dari empat ratus ribu judul buku.[5]
Ath-Thusi tetap berpengaruh di bawah Abaqa, pengganti Hulagu, tanpa mendapat rintangan sampai dia meninggal pada tahun 1274 M/672 H.[6]

2.             Karya Nasiruddin Ath-Thusi
Karl Brockelmann mengumpulkan tidak kurang dari 56 judul karya Ath-Thusi, sementara Ivanov mengatakan bahwa karya Ath-Thusi ada 150 judul, sedangkab Mudarris Ridwi menyebutkan sekitar 130 judul. Di antara karya Ath-Thusi adalah:[7]
·               Tentang Logika
o      Asas al-Iqtibas
o      Al-Tajrid fi ‘Ilm al-Mantiq
o      Ta’dil al-Miyar
·               Tentang Metafisika
o      Risaleh dar Ithbat-i Wajib
o      Itsbat-i Jauhar al-Mufariq
o      Risaleh dar Wujud-i Jauhar-i Mujarrad
o      Risaleh dar Itsbat-i ‘Aql-i Fa’al
o      Risaleh Darurat-i Marg
o      Risaleh Sudur Kathrat az Wahdat
o      Risaleh ‘Ilal wa Ma’lulat
o      Fushul
o      Tashawwurat
o      Talkhis al-Muhassal
o      Hall-i Musykilat al-Isyarat


·               Tentang Etika
o      Akhlaq-i Nasiri
o      Ausaf al-Asyraf
·               Tentang Teologi/Dogma
o      Tajrid al-‘Aqaid
o      Qawa’id al’Aqaid
o      Risaleh-i I’tiqadat
·               Tentang Astronomi
o      Kitab al-Mutawassitat Bain al-Handasa wal Hai’a
o      Ilkhanian Tables
o      Kitab al-Tazkira fi al-Ilm al-Hai’a
o      Zubdat al-Hai’a
o      Kitab al-Tahsil fi al-Nujum
o      Tahzir al-Majisti
o      Mukhtasar fi al-Ilm al-Tanjim wa Ma’rifat al-Taqwim
o      Kitab al-Barifi ulum al-Taqwim wa Harakat al-Aflak wa Ahkam al-Nujum
·               Tentang Aritmatika, Geometri, dan Trigonometri
o      Al-Mukhtasar bi jami al-Hisab bi al-Takht wa al-Turab
o      Kitab al-Jabr wa al-Muqabala
o      Al-Usul al-Maudua
o      Qawaid al-Handasa
o      Tahrir al-Ushul
o      Kitab Shakl al-Qatta
·               Tentang Optik
o      Tahrir Kitab al-Manazir
o      Mabahis Finikas al-Shur’ar wa in Itafiha
·               Tentang Musik
o      Kitab fi ‘Ilm al-Mausiqi
o      Kanz al-Tuhaf
·               Tentang Medikal
o      Kitab al-Bab Bahiya fi al-Tarakib al-Sultaniya
3.             Filsafat Nasiruddin Ath-Thusi
A.             Filsafat Logika
Pemahaman Ath-Thusi terhadap logika dapat diibaratkan seperti bulan(alat ilmu) yang menangkap cahaya matahari(ilmu) untuk kemudian dipantulkan ke bumi sebagai cahayanya sendiri. Bulan disini sebagai alat atau sarana yang digunakan energi utama(matahari) untuk menyampaikan cahayanya ke belahan bumi lain yang tidak mendapat cahaya matahari. Sementara bagi belahan bumi itu sendiri, bulan adalah energi utama yang berperan sebagai sumber cahaya di malam hari. Logika adalah alat dan sumber ilmu; dikatakan alat saat dia menjadi kunci untuk memahami berbagai ilmu, dan dikatakan sumber ilmu saat dia memberikan pengertian dan menjelaskan sifat dari suatu makna. Dan apabila pengertian dan penjelasan tersebut dapat dipahami dengan baik, maka logika dapat menjadi seni yang membebaskan pikiran dari kesalahan atau biasa disebut sebagai pengetahuan. Menurut Ath-Thusi, pengetahuan dapat dicapai melalui definisi dan silogisme. Dengan demikian, logika adalah hukum untuk berpikir tepat.[8]
B.             Filsafat Moral
Ath-Thusi menggunakan pemahaman Aristoteles mengenai akal praktis dari teori pembedahan. Menurut Ath-Thusi, penyebab penyimpangan adalah segala sesuatu yang berlebihan, karena keadaan jiwa yang tidak seimbang disebabkan oleh keberlebihan, keberkurangan atau ketidakwajaran akal. Misalnya seorang pencuri yang tertangkap akan memberontak terhadap si penangkap karena adanya perasaan takut terhadap hukum, atau seorang anak yang berniat bunuh diri saat kedua orangtuanya meninggal dunia.[9]
C.            Filsafat Metafisika
Metafisika terdiri atas dua bagian, yaitu Ilmu Ketuhanan dan Filsafat Pertama. Ilmu Ketuhanan(‘Ilm-i Ilahi), mencakup persoalan ketuhanan akal, jiwa, dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut: seperti kenabian(nubuwwat), kepemimpinan spiritual(imamat), dan hari pengadilan(qiyamat). Filsafat Pertama(Falsafah-i Ula), meliputi alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan.[10]
Bagi Ath-Thusi, Tuhan tidak dapat dianalisa dengan logika dan metafisika. Baginya, Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat. Hal ini disebabkan keterbatasan dalam kemampuan manusia.[11]
D.            Filsafat Jiwa
Menurut Ath-Thusi, eksistensi jiwa hanya dapat dibuktikan melalui jiwa itu sendiri, sehingga jiwa  menjadi mustahil untuk dipelajari. Jiwa mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi tubuh tidak dapat merasakan keberadaan jiwa.[12]
Jiwa merupakan substansi immaterial. Hal ini lantaran jiwa dapat menampung logika, matematika, teologi dan sebagainya tanpa tercampur-baur dan dapat diingat dengan kejelasan yang khas, yang tidak dapat dilakukan oleh substansi material.[13]
Ath-Thusi menjelaskan bahwa jiwa imajinatif berada di antara jiwa hewani dan jiwa manusiawi. Dalam jiwa manusiawi terdapat dua jenis akal, yaitu akal teoritis dan akal praktis. Dalam akal teoritis tercakup empat tingkat perwujudan, yaitu akal material, akal malaikat, akal aktif, dan akal yang diperoleh. Pada tingkatan akal yang diperoleh, bentuk konsepsual yang terdapat dalam jiwa menjadi nyata terlihat. Sementara akal praktis berkenaan dengan tindakan sengaja dan yang tidak sengaja, sehingga potensialnya diwujudkan dengan tindakan-tindakan.[14]
E.             Filsafat Politik
Menurut Ath-Thusi, selain karena fitrah manusia yang selalu ingin berhubungan dengan sesamanya, manusia juga membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Namun karena beragamnya motivasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, muncullah istilah pertentangan dan ketidakadilan. Untuk itu diperlukan pemerintah yang adil sebagai penengah kedua setelah hukum-hukum Tuhan.[15]
Ath-Thusi juga membicarakan etika perang. Menurutnya, perang hanya boleh dilakukan jika tidak dapat menemukan jalan keluar dari suatu pertentangan, dilakukan atas nama Tuhan, dan dengan persetujuan seluruh anggota. Dan jika memperoleh kemenangan, tawanan tidak diperbolehkan untuk dibunuh.[16]
F.             Filsafat Rumah Tangga
Tujuan rumah tangga adalah untuk mewujudkan rasa ingin memiliki dan rasa ingin melindungi antar anggota keluarga, bukan sebagai pemenuh syahwat. Untuk memelihara keharmonisan keluarga dibutuhkan ketersediaan harta yang didapat dengan terhormat, sempurna, dan adil.[17]
Laki-laki, menurut Ath-Thusi, diibaratkan sebagai jantung yang hanya dapat bekerja pada satu tubuh saja, mustahil dapat bekerja pada lebih dari satu tubuh. Jika seorang laki-laki tidak dapat menjaga dan memperbaiki keseimbangan keluarga, lebih baik dia tidak menikah terlebih berpoligami.[18]
Ath-Thusi mengikuti pendapat Ibn Maskawaih dalam mendidik anak-anak, yaitu dengan penanaman moral yang baik melalui pujian, hadiah, dan celaan yang halus. Setelah itu mengajarkan tata cara bergaul dan bersikap dalam masyarat, barulah melatih untuk memilih pekerjaan baik yang sesuai dengan mereka.[19]
Ath-Thusi menekankan untuk memperhatikan hak-hak orangtua. Menurutnya, anak baru dapat menyadari hak-hak ayahnya saat dia sudah dapat membedakan sesuatu. Sementara hak-hak ibunya sudah lama sejak dia mulai peka terhadap lingkungan. Hal ini dikarenakan hak ayah bersifat mental, sementara hak ibu bersifat fisik.[20]
Terakhir, Ath-Thusi menyarankan agar memperlakukan pelayan keluarga seperti tangan dan kaki bagi dirinya. Dia berpendapat bahwa perlakuan yang baik mendorong pelayan untuk melayani majikannya atas dasar cinta, penghormatan, dan pengharapan; bukan karena kebutuhan, paksaan, dan ketakutan yang menciptakan rasa tidak nyaman dalam keluarga.[21]
G.            Filsafat Kenabian
Menurut Ath-Thusi, Nabi merupakan utusan Tuhan untuk membawa aturan                                                                                              suci-Nya untuk menjaga kehidupan manusia dari kekacauan dalam kehidupan sosial. Jadi kehadiran seorang Nabi sangat penting bagi kehidupan manusia sebagai pemimpin spiritual yang melanjutkan aturan suci dari Tuhan.[22]
H.            Baik dan Buruk
Menurut Ath-Thusi, kebaikan datang dari Tuhan, sementara keburukan merupakan kebetulan yang terjadi dalam perjalanan kebaikan tersebut. Ibarat air, kebaikan diciptakan dengan membawa banyak manfaat. Namun di luar pengaruh air tersebut, tersumbatnya aliran sungai misalnya, dapat membawa keburukan, yaitu bencana banjir. Adanya indra, imajinasi, kesenangan dan pikiran menjauhkan kebijaksanaan untuk memperkirakan akibat-akibat dari suatu masalah. Sehingga kebanyakan dari manusia menyalahkan air sebagai penyebab terjadinya bencana tersebut. Padahal ketiadaan air akan menjadi keburukan penuh jika dibandingkan dengan keberadaannya.[23]












DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pertama.
Mustofa, HA. 2009. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.


[1] Mustofa, 2009: 311
[2] Mustofa, 2009: 311
[3] Mustofa, 2009: 311
[4] Mustofa, 2009: 311
[5] Mustofa, 2009: 311-312
[6] Mustofa, 2009: 311-314
[7] Nasution, 2005: 131-133
[8] Mustofa, 2009: 313
[9] Mustofa, 2009: 314
[10] Nasution, 2005: 133
[11] Nasution, 2005: 133
[12] Supriyadi, 2009: 254-255
[13] Supriyadi, 2009: 255
[14] Supriyadi, 2009: 255
[15] Nasution, 2005: 142, 143
[16] Nasution, 2005: 142, 143
[17] Mustofa, 2009: 327
[18] Nasution, 2005: 141
[19] Nasution, 2005: 141
[20] Nasution, 2005: 141-142
[21] Mustofa, 2009: 328
[22] Nasutionn, 2005: 143
[23] Mustofa, 2009: 329

0 Komentar at “Nasiruddin Ath-Thusi”

Posting Komentar