Setelah
jatuhnya masa keemasan Islam, perkembangan umat Islam mulai mundur teratur.
Bagi umat Islam, masa keemasan Islam hanya terkesan sebagai dongeng masa lalu
tanpa berusaha untuk kembali membangkitkannya. Semenjak 28 Rajab 1342 H, secara
tidak langsung, kafir Barat mulai mengendalikan pemikiran umat Islam dengan
menggunakan pemerintahan sistem sekular yang bertujuan untuk memberi mereka
pandangan bahwa agama dan politik harus dipisahkan. Pemuka Islam yang sepaham
dengan mereka digaji oleh pemerintah untuk membenarkan semua kontingen kufur
yang ditetapkan. Tugas para ulama yang seharusnya mengislamkan kontingen
pemerintah, lambat laun disekulerkan oleh mereka. Dampak dari insiden ini
adalah kontranya banyak ulama dalam menyikapi gerakan-gerakan Islam yang
terlibat dengan politik. Mereka yang hidup dalam lingkungan pemerintahan kotor
berkesimpulan bahwa Islam yang suci harus dipisahkan dari politik.
Umat
Islam yang hidup dalam lingkungan sekularisme telah mengalami penyempitan
pemikiran. Mereka beranggapan bahwa antara agama dan politik tidaklah saling
terkait, yang ada hanyalah pemaknaan politik sebagai kebutuhan dalam kehidupan.
Yang sangat memprihatinkan adalah ketika mereka mampu belajar, mengkaji, dan
mengamalkan politik sekuler tetapi tidak pada politik Islam. Padahal,
Rasulullah adalah pribadi yang ahli dalam bidang politik. Beliaulah yang
memimpin gerakan Islam semasa di Mekah dan yang menjadi Ketua Negara Islam
semasa di Madinah.
Dalam bahasa Arab, politik (siyasah) berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan, yang berarti
mengurus kepentingan seseorang. Dapat juga diartikan ra’a syu’unahu, yang berarti memelihara urusan-urusannya. Dengan kata lain, makna politik (siyasah) adalah ri’ayah
syu’un al-ummah, yang berarti pengaturan
dan pemeliharaan urusan-urusan umat. Seperti inilah pemaknaan politik dalam
Islam sebagaimana Rasulullah dalam menjalankan perannya sebagai pengurus,
pengatur, dan pemelihara urusan umat Islam. Berdasarkan pengertian ini dapat
disimpulkan bahwa peranan pemerintah dalam politik adalah sebagai pengurus atau
pemelihara umat Islam dalam menjalani kehidupan berwarganegara.
Di dalam Islam, kekuasaan
politik berkaitan dengan al-hukm. Jika hukm berasal dari kata hakama dalam
surat Al-Qalam (ayat 36, 39, dan 48) serta surat Al-Maidah (50 dan 95), dapat
disimpulkan bahwa al-hukm tidak hanya berdasar pada Allah tetapi juga pada
manusia. Artinya adalah agama Islam
menggunakan 2 hukum, yaitu hukum Allah dan hukum manusia. Namun harus
ditegaskan bahwa hukum manusia haruslah tidak bertentangan dengan hukum Allah.
Hukum tersebut harus berlandaskan ajaran agama Islam, sehingga manusia dapat menjalankan
perannya sebagai khalifah sesuai
dengan fitrahnya tanpa melanggar hukum Allah.
Al-Quran tidak menguraikan
bagaimana cara mewujudkan suatu sistem politik secara Islami, namun di beberapa
ayat menjelaskan bahwa kekuasaan politik akan diberikan pada mereka yang
beriman dan beramal shaleh. Kemahiran bermasyarakat, keterampilan jasmani dan
pengendalian rohani dapat menjadi sarana untuk mencapai pemerintahan yang
damai. Namun, keberhasilan suatu pemerintahan tidaklah akan maksimal jika
menggunakan sistem sentralisasi. Kreativitas dan peran aktif masyarakat sangat
dibutuhkan dalam menyukseskan cita-cita untuk meweujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
0 Komentar at “Dampak Politik Sekularisme terhadap Politik Islam”
Posting Komentar