SEJARAH DALAM PERSPEKTIF ARNOLD JOSEPH TOYNBEE

BAB I
PENDAHULUAN

A.           LATAR BELAKANG MASALAH
Spengler menyatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai sesuatu yang menjadi (it becomes)[1] Mengutip dari J.J. Honingman, Koentjaraningrat menyebutkan bahwa ada tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artifacts. Selanjutnya gejala kebudayaan ini juga disebut sebagai wujud dari kebudayaan, yaitu sistem budaya (ideas), sistem sosial (activities) dan kebudayaan fisik (artifacts). Dengan mengacu pada pemikiran tersebut, Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil fisik yang dibuat oleh manusia dalam masyarakat melalui proses belajar.[2] Setelah muncul kebudayaan dalam sebuah kelompok manusia, hal ini terus berkembang menjadi peradaban. Dalam Modern Dictionary of Sociology, peradaban yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization, yang berarti kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala, antara lain pengenalan tulisan, kehidupan kota, pembagian kerja secara kompleks, teknologi yang telah maju, serta berkembangnya pranata-pranata politik, agama, filsafat, dan seni.[3] Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa peradaban adalah suatu kebudayaan yang berhasil bertahan dan menjadi solid. Peradaban berasal dari kebudayaan.
Salah satu sejarawan yang secara gamblang menerangkan tentang konsep peradaban, mulai dari kemunculan hingga keruntuhan kebudayaan itu adalah sejarawan asal Inggris, yaitu Arnold J. Toynbee, yang akan dibahas dalam makalah ini.

B.            RUMUSAN MASALAH
1.      Riwayat Hidup Arnold J. Toynbee
2.      Hasil Pemikiran Arnold J. Toynbee

C.           TUJUAN MASALAH
1.      Mengetahui Riwayat Hidup Arnold J. Toynbee
2.      Mengetahui Hasil Pemikiran Arnold J. Toynbee
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Riwayat Hidup Arnold J. Toynbee
Arnold Joseph Toynbee lahir pada tanggal 14 April 1889 di London. Arnold J. Toynbee adalah anak dari Henry Valpy Toynbee, seorang pengimpor teh yang beralih menjadi pekerja sosial, dan Sarah Edith Marshall, sarjana unofficial di bidang sejarah dari Universitas Cambridge. Semasa kecil, Toynbee dididik oleh ibunya dan seorang guru private perempuan. Kemudian dia meneruskan ke Wotton Court di Kent dan Winchester College. Dia cemerlang dalam studinya, dan mendapatkan beasiswa untuk disiplin sastra Yunani dan Romawi Kuno ke Balliol College, Oxford.[4]
 Ketika banyak teman Toynbee dimilisikan saat Perang Dunia I meletus dan pada akhirnya meninggal, dia dibebaskan dari wajib militer lantaran kondisi kesehatannya yang buruk. Entah lantaran merasa bersalah atau bersyukur sebab tidak meninggal bersama-sama temannya, dia memutuskan membantu mewujudkan perdamaian sejati yang langgeng dengan memberi informasi kepada khalayak tentang kejadian-kejadian masa lalu dan politik perang. Dalam Nationality and the War, misalnya, Toynbee berusaha membeberkan ide dan kejadian yang ada di balik pembunuhan Archduke Franz Ferdinand di Sarajevo dan menunjukkan bahwa penyelesaian konflik dengan Jerman yang telah kalah akan menjauhkan orang-orang Eropa dari nasionalisme dan mendekatkan mereka kepada kerjasama.

B.  Hasil Pemikiran Arnold J. Toynbee
1.    Teori Siklus
Teori ini mencoba melihat bahwa suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya. Menurut Toynbee, gerak sejarah berjalan menurut tingkatan-tingkatan seperti berikut:
a)    Lahirnya peradaban. Toynbee berpendapat bahwa kelahiran sebuah peradaban tidak berakar pada faktor ras atau pun lingkungan geografis, tetapi bergantung pada dua kombinasi kondisi, yaitu adanya tantangan dan respons. Lingkungan memberikan tantangan kepada minoritas kreatif yang memimpin mayoritas tidak kreatif, kemudian respons itu diikuti oleh mayoritas. Tantangan baru kemudian muncul, diikuti oleh respons yang sukses kembali. Kesuksesan respons oleh minoritas kreatif dalam menjawab tantangan membawanya kepada tingkat peradaban.
b)   Perkembangan peradaban. Dalam pemikiran Toynbee, pertumbuhan peradaban tidak diukur dari perkembangan geografis masyarakatnya, tetapi diukur dari aspek hubungan antar sosial dan antar individu. Pertumbuhan adalah respons dari minoritas kreatif yang sukses terhadap tantangan-tantangan yang ada.
c)    Keruntuhan peradaban. Kehancuran peradaban bukan karena faktor penyerbuan dari luar. Toynbee berpendapat bahwa kehancuran peradaban terjadi karena ketiadaan minoritas kreatif dalam masyarakat yang menyebabkan moyoritas enggan untuk mengikuti minoritas kreatif. Akibatnya, kesetiaan kaum mayoritas terhadap kaum minoritas pun pudar.[5] Minoritas menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak akan berkembang lagi. Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, keruntuhan mulai nampak. Keruntuhan terjadi dalam tiga tahap, yaitu:
(1)     Kemerosotan kebudayaan. Kemerosotan kebudayaan itu terjadi jika golongan minoritas sudah kehilangan daya kreatifitasnya. Jika sudah begitu, golongan mayoritas tidak mau lagi mengikuti jejak golongan minoritas. Selanjutnya, hubungan antara mayoritas dan minoritas akan kacau. Hal ini dapat mengakibatkan lenyapnya tunas-tunas kebudayaan yang seharusnya dapat tumbuh dan berkembang.
(2)     Kehancuran kebudayaan. Hancurnya kebudayaan itu akan tampak  jika tunas-tunas kebudayaan itu lenyap sama sekali, sehingga mengakibatkan terhentinya pertumbuhan dan perkembangan. Arnold J. Toynbee meyebut keadaan yang ini sebagai pembatuan dimana semua unsur-unsur  kebudayaan mejadi batu atau fosil.
(3)     Lenyapnya kebudayaan. Lenyapnya kebudayaan  itu terjadi jika tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur dan lenyap sama sekali.[6]

2.    Konsep Peradaban
Toynbee membagi sejarah dunia dalam 26 peradaban. Dari jumlah peradaban itu 16 telah musnah, 3 lebur, sementara 7 lainnya masih bertahan. Ketujuh peradaban itu kemudian dikombinasikan menjadi lima, yaitu Peradaban Barat, Kristen Ortodoks (termasuk Eropa Tenggara), Islam, Hindu, dan timur jauh (termasuk Cina, Jepang dan Korea). Peradaban-peradaban yang menjadi kajian dari Toynbee adalah Mesir, Andean, Sinic, Minoan, Sumeria, Maya, Indic, Hittite, Hellenik, Peradaban Barat, Kristen kaum Ortodox di Rusia dan Eropa, Cina dan timur jauh (Korea dan Jepang), Iran, Arab, Hindu, Mexico, Yucatek, dan Babylonia.
Dalam mengkaji peradaban itu, Toynbee melakukan pendekatan yang sama. Dia dengan detail mengulas tentang asal-usul, pertumbuhan, kemuduran, status universal, dan disintegrasi. Dia membuat generalisasi berdasarkan semua bukti historis yang pernah tercatat. Menurutnya, unit studi sejarah yang tepat adalah “unit menengah”, yang rentangan ruang dan waktunya lebih besar daripada sebuah masyarakat tertentu tetapi lebih kecil daripada kemanusiaan, yakni peradaban. Gagasan tentang adanya keunikan atau potensi dominan dalam setiap peradaban muncul kembali. Contohnya, estetika dalam peradaban Hellenis; agama dalam peradaban Hindu; ilmu dan teknologi dalam peradaban Barat.
Toynbee melihat gejala peradaban sebagai sebuah siklus. Seperti halnya riwayat hidup organisme, peradaban mengalami tahap-tahap kelahiran, tumbuh dewasa dan runtuh. Dalam proses perputaran itu, sebuah peradaban tidak selalu berakhir dengan kemusnahan total.[7] Terdapat kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun dengan corak yang tidak sepenuhnya sama dengan peradaban yang mendahuluinya. Setiap peradaban baru yang muncul dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari tempat lain. Dengan demikian, memungkinkan setiap siklus baru memunculkan tahap pencapaian yang lebih tinggi. Ini berarti setiap siklus dibangun di atas peradaban yang lain.[8]

3.    Prinsip Indeterminisme
Toynbee menyatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan kebebasan dalam kehidupan. Hasil pemikirannya tentang teori siklus sebuah peradaban menunjukkan bahwa manusia memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar.
Toynbee menyatakan bahwa kehancuran peradaban dapat ditahan. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al-Mahdi, karena usaha untuk menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkin berhasil adalah penggantian suatu kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Hal ini dibuktikan dengan adanya juru selamat masyarakat. Secara khusus ada empat jenis juru selamat yang muncul, yaitu:
a)     Juru selamat dengan pedang, yakni pencipta dan penegak keadaan universal. Toynbee mengatakan bahwa penyelamat yang menggunakan pedang akan gagal. Dia memberikan alasan yang didasarkan pada Injil: “Semua orang yang menggunakan pedang akan musnah bersama pedangnya”.
b)    Juru selamat dengan mesin waktu, yakni orang yang berpandangan kolot atau yang berpandangan maju. Orang yang berpandangan kolot (arkaris) adalah yang merasa selamat dengan memulihkan zaman ke masa lalu. Sedangkan yang berpandangan maju (futuris) adalah mereka yang selamat dengan melompat ke masa depan yang belum diketahui, dengan revolusi yang memutuskan hubungan masyarakat dengan masa lalu.
c)     Falsafah yang menyatakan bahwa raja mencerminkan penyelesaian masalah tanpa menggunkan pedang dan mesin waktu. Penyelesaian ini memerlukan suatu kesatuan falsafah dan kekuatan politik, yaitu seorang filosof yang bersembunyi di balik topeng raja.
d)    Penjelmaan tuhan dalam diri manusia. Ini seperti yang ada pada diri juru selamat yang mencerminkan dirinya sendiri sebagai tuhan yang menawarkan harapan. Toynbee seperti sedang membayangkan tokoh Jesus Kristus seperti yang digambarkan oleh para penulis ke-empat Injil.
Namun demikian, prinsip indeterminisme Toynbee dianggap kurang matang karena adanya kandungan determinisme dalam karyanya. Toynbee mengatakan bahwa peradaban akan menemui kematian. Kebudayaan-kebudayaan tidak mampu memiliki kehendak bebas untuk memelihara dirinya sendiri atau menjamin masa depannya. Ini bertentangan dengan pernyataan teoritisnya bahwa dia termasuk orang-orang yang mempercayai kehendak bebas dan kebebasan manusia.[9]










BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
1.             Arnold Joseph Toynbee lahir pada tanggal 14 April 1889 di London. Arnold J. Toynbee adalah anak dari Henry Valpy Toynbee, seorang pengimpor teh yang beralih menjadi pekerja sosial, dan Sarah Edith Marshall, sarjana unofficial di bidang sejarah dari Universitas Cambridge. Semasa kecil, Toynbee dididik oleh ibunya dan seorang guru private perempuan. Kemudian dia meneruskan ke Wotton Court di Kent dan Winchester College. Dia cemerlang dalam studinya, dan mendapatkan beasiswa untuk disiplin sastra Yunani dan Romawi Kuno ke Balliol College, Oxford.
2.             Teori siklus mencoba melihat bahwa suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya. Teori siklus Toynbee mengatakan bahwa ada tiga tahap pergerakan peradaban; yaitu kelahiran, perkembangan, dan keruntuhan. Terdapat kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun dengan corak yang tidak sepenuhnya sama dengan peradaban yang mendahuluinya. Setiap peradaban baru yang muncul dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari tempat lain. Dengan demikian, memungkinkan setiap siklus baru memunculkan tahap pencapaian yang lebih tinggi. Ini berarti setiap siklus dibangun di atas peradaban yang lain.
3.             Toynbee menyatakan bahwa kehancuran peradaban dapat ditahan. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al-Mahdi, karena usaha untuk menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkin berhasil adalah penggantian suatu kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Hal ini dibuktikan dengan adanya juru selamat masyarakat. Namun demikian, prinsip indeterminisme Toynbee dianggap kurang matang karena adanya kandungan determinisme dalam karyanya. Toynbee mengatakan bahwa peradaban akan menemui kematian. Kebudayaan-kebudayaan tidak mampu memiliki kehendak bebas untuk memelihara dirinya sendiri atau menjamin masa depannya. Ini bertentangan dengan pernyataan teoritisnya bahwa dia termasuk orang-orang yang mempercayai kehendak bebas dan kebebasan manusia.


DAFTAR PUSTAKA


Hasbullah, Moeflih, Filsafat Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012).
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1974).
Rahardjo, Supratikno. Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2002).
http://deviciptyasari.blogspot.com/2013/11/filsafat-sejarah-arnold-j-toynbee-1889.html.
http://en.wikipedia.org/wiki/arnold_joseph_toynbee.


























GLOSARIUM


Disintegrasi                   : Keadaan terpecah belah.
Generalisasi                   : Membentuk gagasan atau simpulan umum dr suatu kejadian.
Indeterminisme             : Ajaran tentang kehendak (kemauan) manusia yg bebas tidak terbatas.
Mahdi                           : Penunjuk jalan (pemimpin).


[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1974), hlm. 186.
[2] Rahardjo, Supratikno, Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2002), hlm. 24.
[3] Ibid, hlm. 27.
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/arnold_joseph_toynbee, diakses pada 30 September 2014.
[5] Hasbullah, Moeflih, Filsafat Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 153-154.
[6] http://deviciptyasari.blogspot.com/2013/11/filsafat-sejarah-arnold-j-toynbee-1889.html, diakses pada 30 September 2014.
[7] Hasbullah, Moeflih, Filsafat Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 157.
[8] Rahardjo, Supratikno, Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2002), hlm. 5-12.
[9] Hasbullah, Moeflih, Filsafat Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 159.

0 Komentar at “SEJARAH DALAM PERSPEKTIF ARNOLD JOSEPH TOYNBEE”

Posting Komentar