Wahyu dari Cinta Kebebasan Yang Tersesat


Kaffah. Satu kata sifat yang dapat mencitakan bagaimana Allah membimbing saya menuju kebenaran-Nya. Ide yang sangat cantik dan berkesan bagi seorang hamba yang baru mengenal agamanya. Bagaimana tidak? Bukannya langsung mengajarkan kebenaran untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah lalu, Allah membiarkan saya larut dengan pikiran-pikiran liar tentang persepsi hidup. Membiarkan saya menciptakan paham-paham yang ternyata sangat menentang ajaran agama saya sendiri. membiarkan saya dalam kebingungan yang menyesatkan. Dan pada klimaks kebingungan itulah, Allah menunjukkan kepada saya bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Sehingga saya dapat dengan mudah untuk menerima wahyu-Nya.

Saya pernah memiliki banyak mimpi. Saya ingin mengelilingi dunia untuk menginjakkan kaki di tiap-tiap benua di dunia. Barangkali, saya dapat menemukan satu yang baru. Saya juga pernah ingin menjadi seorang tabib yang dapat menyembuhkan teman-teman saya yang sakit dengan cuma-cuma. Atau mungkin, saya ingin melepas semua unsur keduniawian saya agar saya dapat dengan bebas mempelajari tentang seni. Karena seorang intelek tidak pernah mengerti arti dari sebuah seni. Tapi itu semua hanyalah sebagai mimpi. Saya sekarang adalah seorang mahasiswi dengan materi studi Aqidah Filsafat.
Awalnya, saya mendapat mata kuliah Pengantar Filsafat dari Bapak Bukhary. Beliau memaparkan isme-isme dalam sudut pandang Barat. Dan saya menyukainya, memahaminya, mencintainya. Saya banyak membaca buku karangan para pemikir Barat. Mereka membahasakan pemahamannya dengan sangat indah, sehingga saya dapat menyerap seluruh pemahaman mereka. Hingga pada suatu saat di semester empat, pada mata kuliah Filsafat Etika, saya dipertemukan oleh mahasiswa-mahasiswi dengan sudut pandang yang sangat Islami. Saya sangat menyesalkan hal ini. Saya pikir, mereka sangat tertutup dan kolot dalam memahami agama Islam. Padahal, dalam Al-Qur’an sendiri telah dijelaskan bahwa agama Islam memegang sikap toleransi antar umat beragama. Yang membuat saya lebih kecewa adalah ketika salah satu di antara mereka meminta saya untuk kembali membaca dua kalimat syahadat. Astaghfirullah, memangnya apa yang telah saya lakukan? Untungnya, Dosen saya dapat mengerti arah pemikiran saya. Saya mencari kontak beliau di Facebook dan menanyakan pendapat beliau mengenai hal tersebut. Beliau berkata bahwa saya sudah cukup bagus, hanya saja teman-teman saya saja yang terlalu subjektif dalam memandang segala hal.
Usaha saya mencari pembelaan tidak cukup sampai disini. Beberapa hari kemudian, saat saya benar-benar kosong, saya memutuskan untuk memabaca sebuah novel karangan Adian Husaini yang berjudul “KEMI Cinta Kebebasan Yang Tersesat”. Subhanallah, ternyata pemahaman saya kemarin memang telah ditolak oleh MUI pada bulan Juli 2005, meski entah apa alasan mereka. Bapak Adian mengatakan secara tersirat bahwa para cendekiawan Barat memang sengat membungkus pemahaman salah mereka dengan menggunakan bahasa yang indah. Seperti yang tercakup dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 112 yang menjelaskan tentang kata-kata indah yang bertujuan untuk menipu, Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Selama ini, saya terlalu bermimpi terhadap perdamaian antar umat beragama, sehingga saya sangat menentang orang-orang yang bersikap ‘benar sendiri’ menanggapi agama lain. Saya pikir, akan lebih baik menanggapi agama-agama manusia secara objektif karena agama lain pun mengajarkan kebenaran. Hanya saja, apa dan bagaimana mereka beragama itulah yang berbeda, intinya kita semua menuju pada Tuhan yang sama. Namun saya sangat salah. Kenyataannya, ketika saya memandang agama di luar peran saya sebagai muslim, berarti saya sudah keluar dari Islam. Lagi pula, sikap objektif saya bukanlah menerima semua pemikiran. Dengan memegang paham ini, saya akan menolak orang-orang yang berlainan paham dengan saya, yang berarti saya sudah tidak objektif. Paham saya ini merupakan paham baru yang menolak semua pemikiran. Paham Plural. Atheis. Astagfirullah.
Pengalaman ini tidak saya jadikan sebagai musibah. Melainkan, suatu wahyu dari Allah. Allah telah mengajari saya dengan kesalahan, kemudian menegur saya dengan kebenaran. Subhanallah. Allah seringkali menggunakan cara ini untuk mengajari saya tentang kebenaran-Nya. Dan karena itu, saya dapat melihat sesuatu tidak hanya dari satu sudut pandang Islam, melainkan juga dari sudut pandang lain. Alhamdulillah. :)

0 Komentar at “Wahyu dari Cinta Kebebasan Yang Tersesat”

Posting Komentar