Peperangan di
Turki telah usai, namun arwah peperangan masih bersemayam di tiap lorong-lorong
kumuh di antara pemukiman orang-orang. Jendela dan pintu tertutup rapat,
mata-mata lelah waspada menyelinap di antara celah-celah jendela kayu,
memperhatikan gerakan angin gersang yang menerbangkan belukar. Namun Allah tak
pernah diam.. Dia mengutus Malaikat Israfil menghembuskan angin timur Samudra
Hindia untuk mengusir momok yang menakutkan orang-orang Turki.
Angin timur
Samudra Hindia membawa gumpalan awan hitam ke atas kepalaku. Di ujungnya
terdapat bulan setengah purnama yang menggaris tepi lengkungan awan dengan
cahaya kuning, membuatnya terlihat seperti peri cahaya yang terbang menaburkan
serbuk-serbuk ajaibnya. Langit pun enggan menyembunyikan bintang-bintang di
balik awan-awan musim hujan. Namun Hawa tidak dapat menyembunyikan
kesedihannya, bahkan sang rembulan tidak dapat menghapus relung hitam di bawah
mata Hawa.
![]() |
Gambar oleh Aef Sandy |
Di bawah sinar
rembulan, Hawa melihat pantulan dirinya di atas aliran tenang sungai, kemudian
memperhatikan lekat sosok di dalam lika-liku air yang bergelombang. Tatapannya
mampu memekikkan hati siapa saja yang melihatnya. “Alma, aku tidak mengerti
apakah kebijakan Allah telah cukup bijak untuk menjadikan kita dari dua zat-Nya
yang berbeda. Aku adalah angin, berhembus
membawa kesejukan untuk tanah yang gersang.” Kemudian semilir bertiup
melewati celah-celah rambutnya yang terjatuh, memabawanya meruntuhkan bendungan
air di mata Hawa, sehingga setetes air-mata pun jatuh memercik di atas permukaan
sungai..
Di dalam air,
sebagaimana Hawa menghembuskan kesedihannya, Alma beriak memercikkan dirinya ke
wajah Hawa untuk menghapus air-mata yang tersisa. Namun sebelum percikan itu
kembali pada diri Alma, dia menguap kemudian terbang tertiup angin. “Hawa, kita
tau kita tercipta dari dunia yang berbeda, kau adalah angin yang berhembus
bebas di udara, dan aku adalah air yang mengalir indah. Tapi, Hawa, percayalah
bahwa Allah lebih mengetahui segalanya..” Sungai harus selalu jernih, namun
kesedihan Alma membuatnya menjadi air yang keruh. Kemudian gunung mengalirkan
air segarnya ke hulu, mengantarkan Alma yang keruh kepada kehidupan yang
selanjutnya. “Hawa, kesedihanku telah mengubahku menjadi air yang cukup keruh
sebagai air sungai, arus akan membawaku ke laut, dan aku akan hidup sebagai air
laut yang mengarungi dunia luar yang lebih luas. Berhembuslah sebagai angin,
aku akan mengalir sebagai air..”
Hawa terisak,
kemudian berhembuslah topan yang membawanya ke dalam beliung yang berputar
hebat, memporak-porandakan kehidupan tentram di atas bumi. Saat badai telah
usai dan matahari menyibak kabut gelap di langit, saat burung-burung kecil
kembali berkicau di atas cabang pohon yang tumbang dan manusia kembali bangkit
membangun kehidupan, Hawa telah menjelma angin dewasa yang kuat. Dia berhembus
ke lautan lepas sebagai pembawa kesejukan. Ketika Hawa tiba di lautan, dia
bertemu Alma dalam wujud partikel air yang harus diterbangkannya ke awan.
“Alma, aku telah berhembus sebagai angin, dan aku pun tau kau selalu mengalir
sebagai dirimu, namun aku tak pernah tau bahwa kita akan kembali bertemu bahkan
untuk terbang bersama ke awan. Aku merindukanmu, Alma..”
“Aku pun
merindukanmu, Hawa.. Kita mungkin menyesali perbedaan kita, atau berharap agar
diciptakan dari satu zat yang sama, padahal kita tidak pernah mengerti yang
terbaik untuk kita, kecuali Allah yang maha bijaksana.” Kemudian Hawa
menerbangkan Alma ke awan, berhembus sebagai angin dan mengalir sebagai air
untuk bersama-sama menjadi awan di Kerajaan Langit..
22 April 2014
Like
BalasHapusLike too :]
Hapus:)
BalasHapus