Perjalanan Menuju Rumah Allah

Siang ini, langit menawan matahari di balik awan tebal kelabu untuk menemui anak-anak awan yang terlalu takut untuk turun ke bumi dan meninggalkan kerajaan langit. Matahari menghangatkan hati mereka dengan cinta dan kasih, serta menceritakan kebahagiaannya karena dapat memekarkan keindahan bumi; menyibaki kabut pegunungan, menghijaukan dedaunan cemara, atau sekedar memantulkan cahayanya di atas permukaan sungai-sungai kecil. Dan dengan hati yang berbinar, anak-anak awan melepaskan dirinya dari pelukan sang induk awan.

Gerimis mengangkat aroma tanah ke permukaan, menyingkirkan bau anyir yang memekakkan hidung siapa saja yang menemuinya. Vallen menyadari dirinyalah satu-satunya penyebab bau anyir ini. Darahnya sudah berhenti mengalir namun tetap basah karena keringat, tetap tercium kuat seperti pertama mengalir keluar dari perutnya. Dia kembali mencari jalan pulang; menemukan perbatasan, padang pasir, ladang jagung, dan hutan jati.

Di perbatasan, Vallen mengumpulkan sisa-sisa darahnya yang basah, mewadahinya dalam daun bakung, kemudian mengembalikannya ke dalam perutnya. "Tidak ada yang boleh mencium bau darahku selain diriku sendiri," ujarnya. Dia pun menemui padang pasir yang pasir-pasirnya dapat membuat bibirmu kering. Vallen merengkuh segenggam pasir dan membawanya menutupi luka di perutnya. "Pasir ini cukup panas untuk membakar kulitku dan menutup luka di perutku, dia akan menjadi daging yang baru sebagaimana Allah menjadikanku dari tanah." Kemudian dia mendapati sebuah pohon jagung kering, melucuti dedaunannya, dan melekatkannya pada luka di tubuhnya. "Daun-daun ini telah cukup kuat menampung sinar matahari selama masa hidupnya untuk kematangan sebuah jagung muda. Dia pun akan cukup kuat menyembunyikan lukaku sampai kepulihannya tiba." Vallen terus berjalan membelah ladang jagung, tangannya mencengkram lukanya, sementara matanya tajam ke depan. Dia pun sampai di hutan jati. Vallen memungut sebuah ranting kering dan mengikatannya di perutnya. "Jati ini terlalu kokoh untuk lebur bersama tanah. Dia masih kokoh untuk menahan lukaku agar tetap rapat. Vallen meneruskan langkahnya menuju pedesaan.

Allahu Akbar, maha besar Allah dengan segala rahasia-Nya. Waktu telah begitu lama memisahkannya dengan panggilan Allah, sudah terlalu banyak cerita dalam lembar hidupnya setelah terakhir kali dia menikmati gema adzan. Vallen terlalu lemah untuk melangkahkan kakinya beberapa puluh langkah, dia tersungkur ke tanah, dan mengerang pilu. Induk awan kembali menurunkan anak-anaknya ke bumi, kembali mengangkat aroma tanah ini, namun anyir tak tercium lagi. Dan bagai pemantik, Vallen bangkit menyeret kakinya mendekati rumah Allah; memanjakan matanya dengan panorama waduk, rerindangan, dan kicauan burung-burung kecil; membebaskan jiwanya dalam penggadaian dirinya dalam shalat. Dia dan satu shaf wanita renta yang mengabdikan sisa hidupnya untuk Allah yang maha bijaksana. Bahkan burung-burung kecil pun terbang berkicau riang di kubah baitullah.

3 Komentar:

  1. Eh? Tau 'okta' dari mana? Fb nya di sini >> http://facebook.com/vanillastories << Tapi biasanya gabisa di add hehe.. Salam kenal :]

    BalasHapus
  2. Hehe , iya aku kan sering mampir baca di sini.
    Itu bisa di add , di konfir ya ka ^_^

    BalasHapus

Pembaca yang baik selalu meninggalkan kesan :]